Oleh Setia Permana
PERCEPATAN pembenahan lembaga Polri secara radikal, tak bisa ditunda-tunda lagi seiring dengan terbongkarnya kasus korupsi oleh pegawai pajak Gayus Tambunan yang melibatkan oknum polisi. Terbongkarnya makelar kasus di institusi kepolisian, seyogianya menjadi agenda dan energi percepatan reformasi Polri. Polri jangan terkesan dan terjebak seputar pembelaan korps kelembagaannya. Kesan itu terekam kuat pada awal-awal kasus ini dibongkar Komisaris Jenderal Susno Duadji.
Pembelaan diri institusi itu tak cukup untuk kepolisian. Namun, yang terpenting dan krusial adalah bagaimana kasus-kasus tersebut terselesaikan secara bermakna (cepat) seiring dengan grand strategy reformasi Polri itu sendiri. Salah satu komponen terpenting dalam reformasi Polri, sesungguhnya bagaimana merekonstruksi kembali kepercayaan publik terhadap Polri yang nyaris berada pada titik nadir. Mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi ini, hakikatnya adalah menata ulang kelembagaan dan mental serta perilaku Polri.
Memang, butuh ketulusan untuk me-reform diri Polri. Salah satunya adalah membongkar kasus yang ada di internal Polri itu sendiri (benar atau tidak benar). Ikhlaskan Polri terus dihujat dan dikritik publik demi perbaikan Polri. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan harus dijadikan momentum pembersihan (makelar kasus dan perilaku pongah) di organisasi Polri, beserta lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya. Langkah baik dan cepat akan membawa simpatik yang tak terhingga dari publik. Sebaliknya, apabila Polri tidak aktif, malah reaktif terhadap tuduhan makelar kasus, berarti Polri menyimpan bom waktu bunuh diri terhadap reformasi yang dicanangkannya.
Dalam grand strategy Polri 2005-2025, tahun ini merupakan tahun terakhir bagi Polri dalam menjalankan reformasi tahap pertama, yaitu trust building (membangun kepercayaan) dan dukungan publik dalam mengemban tugas dan fungsinya secara benar dan profesional. Tentu saja kita terhentak ketika terkuak makelar kasus di tubuh Polri. Karena di tahun ini pula, sesungguhnya merupakan tahap evaluasi internal seiring dengan hujatan dan kritikan publik terhadap lembaga kepolisian. Tantangan dan ujian penyelesaian setiap kasus, sesungguhnya sudah di depan mata, tinggal apakah ada kesungguhan dan keuletan Polri itu sendiri.
Kasus di internal Polri yang tengah menjadi sorotan publik dewasa ini merupakan peluang sejarah yang potensial untuk menorehkan langkah tahap berikutnya, yaitu tahap partnership building (membangun kemitraan). Oleh karena itulah, menyelesaikan kasus di internal Polri, sesungguhnya merupakan entry point tahap kedua (2010-2014). Artinya, bila variabel-variabel tahap pertama tersebut berjalan dengan baik dan efektif, berarti tahap kedua dipastikan dapat berjalan. Akan tetapi kalau trust building tidak berjalan dengan efektif, bisa dipastikan agenda tahap kedua terkendala. Siapa pun boleh mengatakan, reformasi Polri berjalan di tempat.
Terkuaknya penyalahgunaan kewenangan jabatan di tubuh Polri menunjukkan reformasi Polri dalam membangun kebercayaan publik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Artinya, pertama, krisis kepercayaan publik selama ini terhadap Polri, menemukan kebenarannya. Sedangkan trust building dan dukungan publik, sebagai desain reformasi Polri, justru menuai goncangan yang datang dari internal tubuh kepolisian. Taruhan kewibawaan Polri, hakikatnya dikonstruksi Polri sendiri dengan mengembalikan simpati publik dengan cara menyelesaikan kasus internal di kepolisian. Mengingkari keniscayaan itu berarti Polri dapat dipastikan tak sungguh-sungguh memperbarui dirinya.
Kedua, gurita makelar kasus di kepolisian merupakan momentum percepatan reformasi di tubuh Polri, manakala Polri sendiri dapat memaknai itu sebagai bagian yang harus segera dituntaskan dan tak terpisahkan dari agenda reformasinya. Penyelesaian terhadap makelar kasus di kepolisian secara transparan dan akuntabel adalah taruhan reformasi Polri selanjutnya. Tanpa mampu menyelesaikan kasus di internal, jangan terlalu banyak mimpi partnership building menjadi kenyataan yang membumi. Polemik tentang makelar kasus antara ada dan tiada mestinya diinsafi sebagai focus of interest pembenahan rezim Polri.
Jadi, "pertarungan" kalau memang disebut demikian, antara Susno Duadji dan Mabes Polri, sesungguhnya titik persoalannya bukan terletak antara Susno dan Mabes Polri. Akan tetapi, Polri sebagai institusi yang establish dalam ketatanegaraan, dan sejak Tap MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri, Tap MPR No. VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, secara pasti menggiring atau mengarahkan Polri pada perubahan struktural, instrumental, dan kultural. Secara struktural hemat struktur dan kaya fungsi; aspek instrumental, bagaimana Polri ini bermuara pada filosofi dan doktrin Polri untuk mendefinisikan kembali jati dirinya, dan membangun kemandiriannya; perubahan kultur, artinya, perubahan cara pikir, cara pandang, serta perilaku dan sikap yang memang menunjukkan karakter jati diri polisi sipil.
Perubahan rezim Polri tersebut ditandai dengan Polri mempunyai sikap kesipilan, tidak menunjukkan sikap yang garang, menghargai hak-hak sipil, membela kepentingan publik (rakyat banyak) bukan kepentingan penguasa, serta tunduk terhadap prinsip-prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi, serta check and balances). Dengan demikian, reformasi kultural Polri, berada dalam tataran sikap dan mental sipil (bukan militeristik), tidak berpihak kepada pemerintah misalnya dengan alasan menjaga stabilitas keamanan, sekaligus tidak korup.
Tamparan-tamparan yang datang dari internal institusi Polri sendiri, atau dari masyarakat, mesti diinsafi sebagai roda percepatan reformasi Polri dalam memacu kemandirian dan mengembalikan kepercayaan publik. Polri jangan terus-menerus "disandera" oleh citra negatif di mata masyarakat, dan Polri juga, tidak berlindung di balik kewenangan dalam menjaga kerahasiaan dengan fungsi secrecy-nya. Buka seterang-terangnya kasus yang tengah menjadi sorotan publik demi didedikasikan terhadap kepentingan reformasi Polri yang bermaslahat untuk rakyat, bangsa, dan negara tercinta.***
Penulis, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Opini Pikiran Rakyat 24 April 2010