23 April 2010

» Home » Kompas » Reformasi Tanpa Ideologi

Reformasi Tanpa Ideologi

Dalam pengertiannya yang populer, ideologi adalah sebuah doktrin, cita-cita, ataupun kepercayaan yang dijadikan acuan dan pedoman bagi sebuah gerakan sosial untuk mewujudkan cetak biru masyarakat yang diidealkan. Sebuah gerakan ideologis akan sukses jika mampu membangkitkan militansi pendukungnya karena tertarik akan cita-cita sosial yang ditawarkan sehingga muncul kohensi dan militansi para pendukungnya.
Tanpa adanya ”musuh bersama” yang mengikat anak bangsa, ideologi biasanya akan pudar pelan-pelan. Perseteruan Barat dan Timur, misalnya, saat ini tak lagi militan karena ideologi kapitalisme dan sosialisme kian membaur.
Di Indonesia, gerakan ideologis di panggung nasional yang militan pernah terjadi dua kali. Pertama, gerakan kemerdekaan yang puncaknya pada proklamasi kemerdekaan 1945 dan, kedua, gerakan komunisme yang memperoleh counter ideologi Islamisme dan Pancasila pada 1965. Dua peristiwa itu telah mengantarkan perubahan cetak biru sosial-politik secara spektakuler. Setelah itu, ayunan pendulum ideologi keagamaan cenderung berada di garis tengah. Namun, secara ekonomi muncul ideologi baru yang sangat radikal, yakni kapitalisme global yang merobohkan dan meluluhlantakkan ekonomi tradisional dengan segala implikasinya.


Generasi peralihan
Ketika bangsa-bangsa lain telah memasuki era sains dan teknologi modern, Indonesia masih bersikukuh dengan pendekatan ideologis dalam merespons beragam tantangan ekonomi dan politik sehingga secara empiris bangsa ini secara ekonomi kian tertinggal.
Beberapa pemimpin dunia sudah mengarahkan masyarakatnya pada scientific based society (masyarakat berbasis sains) yang menghargai profesionalisme, transparansi, dan efektivitas kerja sehingga ketika mengangkat pejabat publik tidak semata berdasarkan pertimbangan balas budi. Sayangnya, kultur politik kita masih lebih senang mempertimbangkan mayoritas-minoritas, etnisitas, kelompok politik, dan perkoncoan sehingga banyak jabatan strategis pemerintah diisi oleh orang-orang yang tidak kapabel semata untuk menjaga stabilitas politik yang sangat konsumtif.
Pasca-Soeharto adalah masa transisi yang mengakhiri jajaran tokoh ’45 dan ’66. Durasi ini seakan dibagi-bagi agar mereka memperoleh jatah untuk berkuasa meski hanya sebentar karena pada Pemilu 2014 tiba giliran lapisan generasi baru yang lahir dan tumbuh pada era kapitalisme dan pasar bebas. Mereka dibesarkan oleh kampus dan iklim budaya global, bukannya anak kandung ideologi kemerdekaan ataupun keagamaan yang kental. Dalam jumlah yang kecil memang masih ada dan tetap akan ada kelompok ideologi keagamaan ini yang diragukan loyalitasnya pada Pancasila dan Indonesia.
Dengan munculnya fenomena global networking society dan kian melemahnya identitas lokal dan nasional, pemerintah mesti menciptakan ideologi baru yang menyatukan kepentingan semua anak bangsa dan menjadi pengikat kohesi emosi dan cita-cita bersama, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1945 dan 1966. Di sinilah peluang dan panggilan strategis Presiden SBY untuk mengantarkan masa peralihan generasi dan ideologi ini demi masa depan Indonesia. Dalam konteks ini SBY dan Partai Demokrat (PD) bisa didorong untuk menjadi model bagaimana membangun partai politik yang cerdas, bersih, santun, dan progresif untuk menampung aspirasi dan dedikasi generasi baru yang militan, bersih, dan visioner.
Setelah PD selesai kongres, SBY sebagai Presiden dan negarawan sebaiknya mengambil posisi yang sama dengan semua parpol untuk mempersiapkan Pemilu 2014 yang hasilnya benar-benar menjanjikan bagi masa depan bangsa. Segera dibentuk anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kredibel sehingga Pemilu 2014 nanti menjadi garis demarkasi dan landasan tinggal landas untuk menuju Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan sejahtera. Kalau SBY berhasil menyederhanakan jumlah parpol menjadi paling banyak sepuluh, itu sudah suatu prestasi historis.
Terungkapnya berbagai skandal korupsi di kalangan polisi, jaksa, Direktorat Jenderal Pajak, dan DPR mesti dimanfaatkan sebagai momentum bagi SBY untuk melakukan perbaikan secara radikal dan mewariskan kultur pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kalau tidak, ibarat bengkel kendaraan, pemerintah ini bisanya hanya sibuk bongkar, tetapi tidak bisa pasang. Berhasil menangkap sederet koruptor masa lalu dan yang tengah berjalan, tetapi tidak berhasil membangun institusi baru untuk dibanggakan pada generasi penerus.
Kita ingin sekali tiga tahun ke depan ini muncul suasana kabatinan baru yang segar, optimistis, dan penuh antusias untuk mengakhiri era transisional yang semrawut, hiruk-pikuk, dan mahal. Bangsa ini memerlukan ideologi baru yang menimbulkan antusias, semangat juang, dan mampu mengikat kohesi bangsa tanpa menghilangkan keragaman agama dan budaya. Ini merupakan salah satu tantangan yang mesti dijawab oleh pemerintahan SBY. Kita merindukan pikiran-pikiran cerdas dan penuh inspirasi dari komunitas politisi di Senayan, dari kalangan menteri dan para intelektual kampus serta LSM.
Rakyat sudah lelah dengan wacana yang penuh gugatan, tetapi tanpa alternatif solusi. Berita media massa selama ini penuh dengan kejutan, tetapi bukan kejutan gagasan yang mencerahkan. Kita memerlukan ideologi yang mendorong terwujudnya Indonesia cerdas, Indonesia sehat, dan Indonesia sejahtera.
Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Opini Kompas 24 April 2010