DUA isu aktual menarik sekaligus diekspose  dalam editorial Suara Merdeka beberapa hari lalu adalah hukuman mati  bagi koruptor dan apa yang terjadi dalam internal Polri. Selalu saja  hangat kedua isu itu kalau dikemukakan dalam media, dan selalu saja  menimbulkan gejolak publik untuk berpartisipasi di dalamnya. 
Keduanya bisa dibahas secara terpisah, namun bisa dibahas secara  simultan. Selalu saja menimbulkan isu pro-kontra, baik dalam gagasan  hukuman mati bagi koruptor, maupun sikap publik terhadap langkah Susno  Duadji. Etiskah yang dilakukan Susno atas institusi Polri atau justru  merupakan contoh dari langkah memecahkan masalah yang menimbulkan  masalah, karena salah prosedural?
Salah satu kiat dalam memilih macam hukuman bagi koruptor adalah  membayangkan kita masing-masing sebagai koruptor yang sedang diadili.  Lalu kita membayangkan diri kita menghadapi berbagai alternatif hukuman.  Mari kita pikirkan macam hukuman apa yang paling ditakuti atau dibenci  kalau dikenakan pada kita. Kejahatan yang kita lakukan, termasuk  korupsi, bisa diancam pidana mati langsung setelah tidak ada pengampunan  dari presiden. 
Yang kedua, hukuman mati setelah lima tahun menjalani pidana kurungan.  Alternatif lain adalah hukuman seumur hidup di Nusakambangan, atau  hukuman 20 tahun di Nusakambangan. Semua itu masih termasuk jenis  hukuman konvensional, tidak ada yang termasuk gagasan baru. Meskipun  demikian rasanya semuanya itu termasuk ringan, sehingga tidak termasuk  menakutkan.
Hukuman mati rasanya termasuk hukuman yang termasuk ada blessing in  disguise karena hanya sekali merasakan hukuman, lalu mati. Tidak  merasakan lagi penderitaan sebagai hukuman yang akan dirasakan se;ama  masa hidupnya. 
Bisa Disulap Lalu bagaimana dengan hukuman seumur hidup? Hukuman seumur hidup,  termasuk menakutkan karena selama sisa hidupnya kita merasakan hukuman.  Namun dengan berkelakuan baik dan intensitas komunikasi yang baik, bisa  saja mendapat grasi atau pengampunan dari presiden atau remisi yaitu  pengurangan hukuman pada hari-hari tertentu. Bukankah selalu ada hari  besar agama, masih ada Tahun Baru, dan masih ada HUT Kemerdekaan RI? 
Apalagi suasana di penjara bisa disulap menjadi kehidupan nyaman,  seperti dialami oleh Artalyta Suryani, misalnya. Selagi bisa dilakukan  pendekatan kepada pejabat hukum, hukuman kurungan bisa diubah menjadi  lebih ringan. Apalagi hukuman kurungan yang kurang dari 5 tahun, segala  sesuatunya masih mungkin diatur. Setelah masa hukuman itu berlalu,  mereka akan memasuki kehidupan terhormat lagi dengan sisa kekayaan yang  tersimpan, yang diperoleh dengan cara korupsi. 
Salah satu kebutuhan manusia hidup adalah kebutuhan akan harga diri  (self esteem need). Kehilangan harga diri sama artinya dengan hukuman  batin. Apalagi bagi mereka warga kelas menengah ke atas. Tindak pidana  korupsi terutama dilakukan oleh warga kelas menengah ke atas, yang biasa  disebut masyarakat terhormat. Karena itu korupsi digolongkan sebagai  white collar crime karena dilakukan oleh orang berdasi atau berkerah  putih. Sehingga bagi pelaku korupsi lebih cocok hukuman yang berfungsi  merampas hak mendapatkan harga diri, bukan sekadar pidana kurungan.
Kepada mereka harus dikenakan pidana kerja paksa, yang membuat mereka  melakukan pekerjaan kasar atau pekerjaan fisik yang nyaris tidak pernah  dilakukan sebelumnya. Misalnya dipekerjakan di proyek pertambangan batu  bara atau penggalian batu kapur untuk pabrik semen.
Mereka juga bisa dibuang di tempat pengasingan seperti di Tanah Merah di  Digul Atas di Papua. Alternatif lain adalah dibuang ke pulau terpencil  seperti Pulau Buru, tempat Pramoedya Ananta Toer dan tahanan poliik lain  di masa Orde Baru. 
Di sana juga narapidana menjalani proses pemidanaan sejenis kerja paksa.  Namun tentu saja penanganan terhadap koruptor tidak sama dengan tahanan  poltik. Kalau tujuan pemidanaan terhadap tahanan politik dimaksudkan  untuk memisahkan mereka dari kegiatan politik, pemidanaan terhadap  koruptor lebih memberi tekanan batin agar menjadi jera. Oleh karenanya  harus dilakukan tindakan untuk mempermalukan mereka di depan umum. 
Agar terjadi rasa dipermalukan yang lebih nyata sebaiknya hukuman justru  harus dilaksanakan dalam lingkungan masyarakat di tempat mereka hidup  sebelum dipidanakan. Mereka harus melakukan kerja kasar sebagai tukang  sampah, tukang sapu jalan, atau pembersih kota. Dengan kostum khusus  koruptor misalnya, mereka selalu disaksikan oleh warga kota ketika  menjalani hukuman. Barangkali ini yang biasa disebut kerja sosial. 
Apakah hukuman itu tidak terlampau primitif atau terlalu kejam kalau  dilaksanakan dalam zaman modern? Hukuman itu tidak manusiawi. Begitu  barangkali komentar sebaian dari para pembela HAM, tanpa mengingat bahwa  tindak kejahatan koruptor amat tidak manusiawi. Barangkali rasa malu  mereka sudah tidak tersisa lagi memang, sehingga mereka tidak lagi  merasa dipermalukan. 
Ketika mereka dinyatakan bersalah oleh hakim mereka masih tetap jual  tampang, dengan melambaikan tangan kepada wartawan sambil melempar  senyum tanpa sedikitpun menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan di  wajah. Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa malu sehingga mereka pun  tidak merasa dipermalukan ketika diteriaki oleh warga.(10)
— Abu Su’ud, guru besar emeritus Unnes dan guru besar IKIP PGRI Semarang  
Wacana Suara Merdeka 24 April 2010