16 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Tanah dalam Konflik

Tanah dalam Konflik

Safari Daud
Dosen IAIN Raden Intan Lampung
SENGKETA tanah di Indonesia bukanlah persoalan sederhana, berbagai kasus kekerasan dalam usaha pemilikan tanah telah menimbulkan keresahan sosiologis. Sebagaimana data yang diberitakan media massa, sengketa tanah telah menjadi warisan konflik yang berkepanjangan dan melelahkan, belum ada solusi tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Ketidaksetaraan selalui mewarnai akhir sengketa tanah, ranah ini terus dipertahankan dan jauh dari mainstream keadilan dan kemanusiaan.


Penulis mempelajari 13 data berita dari media massa nasional selama kurun waktu 2005--2009, dari 13 berita tersebut ditemukan lima jenis konflik tanah dalam kurun waktu tersebut. Konflik masyarakat dengan pemerintah sebanyak 3 kasus, konflik masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah sebanyak 3 kasus, konflik masyarakat dengan militer sebanyak 4 kasus, konflik antarmasyarakat sebanyak 2 kasus, konflik masyarakat dengan perusahaan sebanyak 1 kasus. Terkait dengan hal ini, penulis memaparkan keterkaitan sosiologis antara sengketa tanah dan teori konflik dan apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini.
Aspek Teoritis
Akar historis teori konflik dapat ditarik dari Marx yang menghasilkan tesis adanya kesenjangan di bawah kapitalisme dan bagaimana upaya menghilangkan kesenjangan tersebut (George Ritzer & Douglas J. Goodman: 2009). Materialisme historis Marx sesungguhnya menjelaskan kontradiksi-kontradiksi historis.
Pengaruh Marx dalam sosiologi disebabkan ia membawa teori dialektika dari lingkup filsafat ke lingkup studi relasi-relasi sosial yang tumbuh di dunia material. Materialisme historis sebenarnya lebih mengarah kepada konsep sejarah manusia dan tidak mengenal "blok kanan" dan "blok kiri". Kalangan sosiolog berpendapat bahwa teori Marx meyakinkan dan dapat diterima secara rasional.
Tanah adalah basis analisis materialisme historis Marx, menurut dia tidak ada status kepemilikan tanah dalam masyarakat awal, perkembangan sejarah manusia akhirnya menghasilkan relasi-relasi sosial yang ditandai tumbuhnya beberapa golongan tuan tanah dan sejumlah besar penggarap tanah yang mengolah tanah tersebut dan memperoleh sebagian hasil panen sebagai pengganti jerih payah mereka. Penemuan teknologi yang lebih tinggi dalam kapitalisme berhubungan dengan beberapa orang kapitalis yang mampu menginvestasikan mesin-mesin yang mahal, pabrik-pabrik dan sejumlah besar pekerja yang diupah. Secara eksplisit teori ini menggambarkan dua kelompok; zaman feodal melahirkan kelompok pemilik dan kelompok penggarap, zaman teknologi melahirkan kelompok pemodal dan kelompok pekerja.
Analisis pergulatan dua kelompok inilah yang selanjutnya memunculkan penamaan "teori konflik" yang sebelumnya belum disebutkan sebagai nama teori. Salah satu kontribusi utama "teori konflik" adalah bagaimana ia meletakkan dasar bagi teori yang lebih setia pada karya Marx.
Konflik Tanah
Terkait dengan sengketa tanah, teori materialisme historis Marx masih relevan dalam proses sejarah sengketa tanah di Indonesia. Secara kronologis, tanah mulai menjadi kendali dalam kekuasaan ketika dipegang oleh kalangan adat (tuan tanah) yang dikemudian dikenal dengan feodalisme. Feodalisme dalam perangkat yang sama diteruskan dalam kendali kolonialisme yang kadangkala keduanya bekerja sama dan kadangkala berkonflik.
Periode kemerdekaan, tanah masuk dalam kendali negara. Periode pasar bebas, tanah berada di bawah kendali negara dan pasar (kapitalisme). Apabila dibuat periodisasi, sejarah kendali tanah dapat dijelaskan dalam periode kendali tuan tanah, periode kendali kolonial, periode kendali negara dan periode kendali negara dan pasar. Dalam hal ini, dasar kepemilikan tanah lebih didasarkan atas struktur kekuasaan.
Sebuah disertasi yang ditulis oleh Mustain menjelaskan tentang sejarah sengketa tanah di Indonesia secara spesifik antara petani di Desa Tirtoyudo, Simojayan dan PTPN XII Kalibakar. Menurut Mustain, konflik berlangsung sejak beroperasinya perkebunan zaman kolonial Belanda, Jepang, agresi Belanda, kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru serta era Reformasi. Konteks konflik di sini menurut penulis Disertasi disebabkan oleh problematika dualisme hukum (legal gaps) yang dalam prosesnya menyebabkan cultural conflict.
Ia menemukan konflik antara rakyat petani dan PTPN XII yang didukung negara bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan atau penguasaan tanah dengan justifikasi yang didasarkan pada dasar logika hukumnya sendiri. Hukum negara yang positivistik. Legal formal, prosedural berhadapan dengan hukum rakyat yang lokal dan nonformal.
Dilihat dari konflik kelas yang dicetuskan Marx, konflik tanah di Indonesia dalam kurun 2005--2009 dapat dijelaskan terjadi antara masyarakat versus negara, masyarakat versus negara dan perusahaan, dan masyarakat versus militer. Teori konflik yang dicetuskan Ralf Dahrendotf dapat menjelaskan sengketa tanah dari aspek penggunaan otoritas yang bersifat dikotomis antara otoritas negara berhadapan dengan subordinat masyarakat, otoritas perusahaan berhadapan dengan sub-ordinat masyarakat, kemudian otoritas militer dengan subordinat masyarakat.
Apabila dijelaskan secara keseluruhan, ada proses struktur konflik yang begitu kuat di mana negara berada dalam otoritas yang paling kuat, kemudian otoritas tersebut terbagi kepada perusahaan, militer, pemimpin elite lokal, subordinatnya adalah masyarakat yang pada posisi terakhir berada dalam supersubordinat. Semua struktur subordinat dan supersupordinat diharuskan tunduk secara tegas kepada negara. Gambaran seperti ini membentuk piramida ketundukan secara kaku.
Menurut Dahrendotf, karena setiap asosiasi pada dasarnya berusaha mempertahankan pada posisi dominan. Maka terjadilah kolusi dalam usaha memperkuat masing-masing otoritas, dan pembagian otoritas yang bersifat saling melindungi. Dengan demikian, teori kolusif inilah yang sebenarnya relevan dengan konflik tanah di Indonesia selama ini. Wallahualam

Opini Lampung Post 19 Februari 2010