PADA puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Palembang, 9 Februari lalu, Presiden SBY sempat menyaksikan penandatanganan MOU antara Ketua Umum PWI Margiono, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, dan Direktur UNESCO tentang pendirian Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI).
Bukan itu saja, Presiden SBY bahkan berkenan memberikan kuliah perdana bagi para mahasiswa sekolah tersebut. Dengan gamblang beliau menyatakan bahwa insan pers memiliki ruang yang luas untuk mempersatukan dan membangun bangsa Indonesia ke depan.
Jajaran PWI pun boleh berbangga hati. Gagasan SJI yang sudah lama dipikirkan, setidaknya sejak M. Nuh masih menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi, pada akhirnya kesampaian juga. Bahkan, yang memberi kuliah perdana adalah presiden sendiri.
Masih Asing
Bagi kebanyakan telinga orang Indonesia, SJI terasa asing. Sekolah yang memfokuskan diri pada masalah jurnalistik memang tergolong masih baru. Beberapa perguruan tinggi kita ada yang sudah memiliki disiplin ilmu tentang kemediaan seperti penyiaran (broadcasting), komunikasi (communication), dan seterusnya, namun yang spesifik tentang jurnalistik rasanya belum ada.
Itulah sebabnya, mayoritas atau bahkan hampir seluruh wartawan dan insan pers kita bukanlah "orang sekolahan". Dalam arti mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai tentang jurnalistik.
Kalau banyak lulusan IPB Bogor yang menjadi wartawan, hal itu bukan berarti mereka memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik. Benar bahwa mereka lulusan perguruan tinggi, namun disiplin ilmunya adalah pertanian yang jauh dari dunia kewartawanan. Demikian pula lulusan perguruan tinggi lain pada umumnya.
Mengapa disiplin ilmu jurnalistik jarang dikembangkan di sekolah atau perguruan tinggi kita? Banyak argumentasi yang melandasinya. Antara lain, usia negara kita relatif masih muda bila dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, misalnya. Karena itu, banyak profesi yang pengembangannya secara alamiah (naturalistik) bukan secara ilmiah (scientific). Profesi jurnalis atau wartawan juga demikian halnya.
Di negara-negara yang sudah "berumur" seperti AS dan Eropa, profesi jurnalis didekati secara ilmiah untuk meningkatkan profesionalisme dalam menjalankan profesi. Itulah sebabnya, di AS dan Eropa banyak lembaga pendidikan yang mengembangkan disiplin ilmu jurnalistik.
Ilustrasi konkretnya: di AS ada Department of Journalism at the Pennsylvania State University, School of Journalism at Michigan State University, Journalism Institute at New York University, Journalism Programme at Emory University. Sementara di Eropa ada London School of Journalism (Inggris), Deutsche Journalistenschule (Jerman), Ecole Supérieure de Journalisme de Paris (Prancis), Faculty of Journalism at Moscow State University (Rusia), dan sebagainya.
Kalau kita cermati, di negara-negara maju memang banyak bentuk di perguruan tinggi untuk mengembangkan disiplin jurnalistik tersebut. Ada yang berbentuk institut, sekolah, fakultas, jurusan, bahkan ada yang berbentuk program.
Meski demikian, kalau kita lihat di AS, misalnya, pada umumnya bentuk sekolah yang paling banyak dipilih. Sebut saja University of Kansas, Indiana University Bloomington, University of Oregon, University of South Carolina, Ohio University, University of Texas, Michigan State University, dan sebagainya. Semuanya memilih bentuk sekolah dalam mengembangkan disiplin jurnalistik. Bahkan, Point Park University yang dulu mengembangkan disiplin jurnalistik dalam bentuk jurusan, Department of Journalism, mengubahnya menjadi bentuk sekolah, School of Journalism.
Dikembangkannya Sekolah Jurnalistik Indonesia yang notabene berbentuk sekolah dan bukan berbentuk fakultas atau jurusan atau yang lain bukan tidak mungkin salah satu argumentasinya adalah terinspirasi kecenderungan di negara-negara maju tersebut. Hal seperti itu tidak akan mengurangi nilai SJI sendiri, tetapi justru memberikan tambahan nilai lebih.
Dua Pendekatan
Mengingat SJI relatif baru di Indonesia, kiranya pengembangannya nanti tidak mungkin dilakukan secara akademis murni sebagaimana terjadi pada sekolah dan perguruan tinggi jurnalistik di negara-negara yang sudah "berumur" seperti AS dan Eropa. Kiranya pengembangan SJI ke depan akan dilakukan melalui dua pendekatan sekaligus, masing-masing pendekatan akademis (academical approach) dan pendekatan empiris (empirical approach).
Pendekatan akademis dikembangkan berdasarkan teori-teori jurnalistik, komunikasi, teknologi informasi, dan sebagainya, yang ada dalam buku-buku pintar. Misalnya Teori Moore yang menekankan pentingnya kecepatan dalam menyebarkan informasi. Teori Metcalafe yang menekankan pentingnya mengoptimalisasi jejaring dalam meningkatkan produktivitas, dan sebagainya.
Berbagai teori tersebut memang sangat diperlukan untuk dimiliki dan diaplikasi oleh seorang jurnalis alias wartawan. Berbagai teori tersebut tentu mendukung profesionalisme dirinya.
Para pengajar teori akademis tersebut adalah ilmuwan yang menguasai berbagai teori dalam buku pintar. Mereka bisa seorang jurnalis, tetapi mungkin saja bukan seorang jurnalis. Bahkan, bisa juga orang yang tidak mengetahui dunia kewartawanan secara integral.
Pendekatan kedua, yaitu pendekatan empiris, dikembangkan berdasarkan pengalaman empiris yang diperoleh di medan laga yang notabene dunia jurnalistik itu sendiri. Misalnya, bagaimana pengalaman meliput berita di tengah-tengah demonstran, meliput berita di medan perang, menggali informasi dari pejabat yang mahal bicara, menyiarkan berita di tengah situasi politik yang kurang mendukung, dan sebagainya.
Para pengajar pengalaman empiris tersebut adalah orang-orang yang memiliki pengalaman jurnalistik, seperti wartawan senior, jurnalis perang, dan sebagainya. Mereka adalah jurnalis sejati yang sangat mengerti dan pernah merasakan pahit getirnya menekuni profesi sebagai jurnalis. Kita punya banyak narasumber untuk mengajar dalam hal ini. Sebut saja Rosihan Anwar, Dahlan Iskan, dan Jacob Oetama, yang memang dibesarkan dan sekaligus membesarkan dunia pers Indonesia.
Pendekatan akademis dan pendekatan empiris bukan dua hal yang saling bertentangan, tetapi justru saling menopang. Kalau saja pengelola SJI mampu memadukannya secara harmonis, kiranya kita boleh berharap untuk mendapatkan wartawan profesional di masa depan! (*)
*). Prof Dr Ki Supriyoko, SDU, MPd , direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan mantan anggota Dewan Kehormatan PWI Jogjakarta
OPini Jawa Pos 16 Februari 2010
16 Februari 2010
Sekolah Jurnalistik Indonesia
Thank You!