Fenomena politik yang serba personal tergambar jelas dalam tiga ranah. Pertama, di dalam sidang-sidang Pansus Bank Century, perdebatan selalu dibaca dalam konteks yang sangat personal.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan, pernyataan yang dikeluarkan ataupun perdebatan sengit antaranggota Pansus bukan dipahami sebagai gerak langkah memperjelas substansi persoalan, melainkan sebuah manuver konspiratif untuk menjatuhkan seseorang.
Dengan demikian, tidak aneh jika kemudian proses pengutuban politik di internal Pansus lebih dibangun untuk menyiapkan amunisi guna menyerang atau sebaliknya membangun benteng pertahanan untuk menjaga atau melindungi seseorang.
Kedua, di luar sidang Pansus, berbagai proses politik yang muncul dalam menanggapi kasus Century selalu dibaca sebagai ”serangan dan ancaman terhadap personal”. Begitu pula dengan kritik tajam atas kebijakan Bank Indonesia, Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), ataupun Komite Koordinasi (KK) lebih dibaca sebagai bentuk serangan personal terhadap Boediono, Sri Mulyani Indrawati, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Karena menganggap sebagai ancaman secara pribadi, para elite juga mulai sibuk untuk membuat ”serangan balik” secara personal juga. Dalam konteks ini, wacana pengungkapan kasus manipulasi pajak bukan sesuatu yang berdiri sendiri karena wacana itu muncul berkaitan dengan proses politik yang berjalan di Pansus.
Ketiga, politik yang semakin personal juga tampak dari munculnya simbol-simbol pribadi dalam berbagai aksi unjuk rasa, mulai dari gambar tokoh bertaring sampai dengan dihadirkannya kerbau sebagai simbolisasi karakter personal pemimpin. Berbagai aksi yang menyinggung personal itu justru ditanggapi sebagai ”gangguan” pada wilayah personal pemimpin, seperti pencemaran nama baik dan kewibawaan simbol-simbol negara. Pertunjukan kuasa yang serba personal itu sering kali membuat substansi persoalan yang ingin diperbincangkan justru semakin kabur.
Apa akibat dari politik yang serba personal tersebut? Pertama, dalam politik serba personal, prioritas para elite adalah menjaga kewibawaan dan harga dirinya. Berpolitik merupakan tindakan strategis untuk melindungi diri dan sekaligus menjaga survivalitas sumber daya strategis yang telah diakumulasi. Bahkan, kekuasaan sudah ditempatkan sebagai milik yang sakral.
Kedua, serangan dari ”lawan politik”, termasuk pada posisi, perilaku politik, ataupun kebijakan yang pernah dibuat adalah serangan atas pribadi sehingga seluruh kekuatan harus dikerahkan untuk mempertahankan diri. Imajinasi untuk mempribadikan ancaman itulah yang membuat serangan menjadi bersifat ”zero sum game”.
Ketiga, dalam politik yang serba personal seperti itu, ”cacat personal” adalah sebuah kelemahan yang bisa diungkit setiap saat. Oleh karena itu, apa yang bisa menjadi sumber kelemahan elite politik justru sering kali harus dibiarkan karena sewaktu-waktu kesalahan yang dibuat akan menjadi cacat bawaan yang tiba-tiba bisa dihadirkan untuk menjadi titik kelemahan. Bahkan, mungkin saja dalam politik yang serba personal, kelemahan harus dibuat untuk selanjutnya menjadi sebuah ”investasi” untuk dipersoalkan di kemudian hari.
Keempat, konsekuensi dari membiarkan cacat politik, maka selanjutnya politik didasarkan pada upaya saling mengunci. Politik saling mengunci ini bukan sesuatu yang baru dalam politik Indonesia. Karena sudah dipastikan setiap elite akan dibiarkan memiliki cacat, di mana cacat itulah yang selanjutnya bisa di-”bangkitkan” dan dipergunakan setiap saat sebagai kelemahan dan memaksa proses negosiasi kepentingan politik terjadi.
Cacat yang dibawa elite ini membuat elite sukar untuk keluar dari perangkap transaksional dan selalu mengharuskan ia selalu mengunci ”lawan” politiknya dengan ancaman atas cacat tersebut.
Kelima, pada saat yang bersamaan dengan pengungkapan ”cacat politik”, akan ada semacam strategi yang digunakan oleh elite yang memiliki cacat untuk mentransformasi serangan atas personal menjadi problem institusional. Itu kadang menjadi strategi yang efektif untuk melindungi elite itu karena membuat institusi sekaligus merasa terancam juga.
Hadirnya kembali politik yang serba mempribadi mengharuskan kita mempertanyakan proses demokratisasi yang sedang berjalan secara intensif dalam sebelas tahun terakhir. Di satu sisi, proses liberalisasi politik menghadirkan arus kebebasan dan keterbukaan sehingga berbagai hal bisa dilihat secara ”telanjang”. Bahkan, dalam kasus Century, arus buka-bukaan sudah menggelinding seperti bola salju. Hal itu menghasilkan buah yang positif karena proses interelasi antarelite seperti dipaksa berada dalam rumah kaca yang dapat diamati secara luas.
Bahkan, baru pertama kali dalam sejarah parlemen di Indonesia, di mana dalam sidang-sidang yang digelar, gerak para politisi bisa diliput secara terbuka oleh media. Melalui perantara media itulah, warga masyarakat bisa menyaksikan perdebatan dan sekaligus bisa memberikan penilaian terhadap pertanyaan, pernyataan, ataupun perilaku anggota Pansus. Warga di seluruh pelosok di Republik ini juga bisa ”memamah” berbagai istilah yang sebelumnya sangat asing di telinga mereka: merger, bail out, atau bahkan mulai mengenal singkatan FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek), KSSK, atau KK.
Namun, semua arus liberalisasi itu akan tidak bermakna ketika kebebasan itu diisi oleh sesuatu yang serba personal. Warga masyarakat memang menikmati ”tontonan” politik rumah kaca Senayan, tetapi pada saat yang bersamaan warga seperti sedang menyaksikan tayangan infotainment, di mana perbincangan dan perdebatan yang dimunculkan dalam wacana publik justru sangat berkaitan dengan pribadi. Kalau itu masih terjadi, sulit bagi kita untuk melangkah maju karena mereka sesungguhnya sudah saling mengunci.
AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM
Opini Kompas 17 Februari 2010