16 Februari 2010

» Home » Okezone » Benang Kusut Bisnis dan Politik

Benang Kusut Bisnis dan Politik

BISNIS dan politik adalah dua kegiatan yang saling berkaitan. Bisnis dapat menunjang politik, demikian juga sebaliknya. Aktivitas bisnis dapat dimudahkan karena adanya kegiatan politik pada tingkatan negara.

Sebaiknya, politik dapat dipermudah karena adanya kegiatan bisnis. Tanpa adanya kegiatan bisnis, domestik dan internasional, politik kenegaraan tidak akan mungkin dapat berjalan. Sebaliknya, kegiatan bisnis juga berjalan baik jika kondisi politik domestik dan internasional amat kondusif dan mendukung.

Bayangkan jika tidak ada bisnis di bidang transportasi dan telekomunikasi, bagaimana pemimpin negara dapat mempertahankan keutuhan negara? Adanya bisnis di kedua bidang itu telah mempermudah pemerintah di sebuah negara untuk mempertahankan kedaulatan nasional dalam arti yang luas. Politik dan bisnis dalam arti yang lebih sempit juga saling mendukung.

Para pebisnis besar, menengah, dan kecil akan berlomba-lomba untuk mendukung aktor dan atau partai politik yang kira-kira akan menang di dalam pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden langsung, pilkada gubernur, bupati, wali kota, dan sebagainya. “Bantuan dana kampanye” dari para pengusaha/pebisnis itu tentu tidak gratis karena dalam aktivitas politik semacam itu memang berlaku slogan “tidak ada makan siang yang gratis” (no free lunch).

Dari sisi teori politik, pendanaan semacam itu dapat dikategorikan sebagai bribes and kickback (sogokan dana agar bisnis mereka dipermudah). Timbal balik ekonomi yang didapat pelaku bisnis dari para politikus/pejabat negara dapat berupa konsesi bisnis melalui tender-tender pemerintah, keringanan pajak, kebijakan negara/pemerintah daerah dan peraturan yang memudahkan bisnis mereka, tetapi tidak terbatas pada kemudahan untuk memperoleh dana dari institusi perbankan.

Kaitan antara bisnis dan politik dalam kategori yang sempit itu bagaikan gurita yang sulit dilepaskan oleh para politikus, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dana kampanye. Aktivitas tersebut bahkan sudah merambah soal proses politik di parlemen yang terkait dengan fit and proper test untuk jabatan-jabatan yang basah atau penuh uang. Tengok misalnya isu skandal suap soal dukung-mendukung mengenai siapa yang akan menjadi Gubernur, Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI).

Kita belum tahu, apakah isu benar adanya atau tidak, tetapi dalam kasus Miranda Swaray Goeltom, isu tersebut sempat merebak. Dalam bahasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kongkalikong atau kolusi antara pejabat publik dan pelaku bisnis ini akan dihabisi karena hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan perusakan pada sistem pemerintahan yang bersih.

Secara lebih tegas, Presiden SBY mengaitkan soal bagaimana pelaku bisnis berupaya menyogok para pejabat publik agar pajak perusahaan tidak sebesar yang seharusnya dibayar oleh para pelaku bisnis. Jika benar Presiden ingin membasmi korupsi dan kolusi di bidang perpajakan, ini suatu hal yang amat positif.

Namun, kalau ini dikaitkan dengan soal perseteruannya dengan “mantan pembantunya” (mantan Menko Kesra Aburizal “Ical” Bakrie) yang kini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pertanyaannya, mengapa soal utang pajak perusahaan-perusahaan milik keluarga besar Bakrie yang konon nilainya mencapai Rp2,1 triliun ditambah denda yang katanya mencapai Rp6 triliun itu tidak diselesaikan saat Aburizal Bakrie masih menjabat sebagai menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu I (2004–2009)?

Mengapa soal kemplang-mengemplang pajak itu yang adalah soal teknis perpajakan tidak dilontarkan oleh Direktur Jenderal Pajak saja dan harus dilontarkan oleh Presiden? Mengapa pula hal itu tidak diajukan ke pengadilan atau diselesaikan melalui perundingan antara Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak yang mekanisme resminya sudah ada? Pertanyaan lain yang patut dikemukakan ialah, apakah Partai Demokrat dan pasangan SBY-Boediono pada masa kampanye Pemilu 2004 dan 2009 bersih dari “bantuan dana kampanye” para pelaku bisnis?

Pertanyaan ini patut dikemukakan lantaran asumsi yang saya ajukan ialah tidak ada pasangan calon presiden/wakil presiden atau partai-partai politik yang 100 persen bersih atau tidak menerima dana bantuan kampanye dalam bentuk apa pun dari para pelaku bisnis. Para pasangan dalam berbagai pilkada juga kemungkinan besar mendapatkan dana bantuan kampanye dari para pelaku bisnis di pusat ataupun daerah.

Besar kecilnya tergantung pada kedekatan pribadi, kedekatan politik atau probabilitas kemenangan yang akan diraih partai atau para kandidat presiden/ wakil presiden serta kepala daerah pada pemilihan umum legislatif pusat/ daerah atau pemilihan presiden/ wakil presiden atau pilkada langsung.

Persoalan dana bantuan politik ini merupakan suatu hal yang wajar asalkan transparan dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kita sampai kini juga masih bertanya apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan akuntan publik telah melakukan audit atas dana-dana kampanye itu secara benar. Soal bisnis dan politik ini anehnya baru mengemuka dan menjadi headline di berbagai surat kabar Ibu Kota setelah Presiden SBY melontarkan hal itu saat memberikan amanat pada Rapat Pimpinan Polri beberapa hari lalu.

Isu ini juga tidak melulu mengenai bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, melainkan terkait kuat dengan soal tarik ulur dukungan di Pansus DPR dalam kasus skandal Bank Century. Baik SBY maupun Aburizal Bakrie tentu memiliki kartu truf yang bisa mereka mainkan untuk melemahkan lawannya.

Anehnya soal tekan-menekan politik bukan terjadi antara penguasa dan lawan politiknya, melainkan di antara dua penanda tangan kontrak politik, yaitu antara SBY sebagai penguasa negeri dan Ical sebagai penguasa Partai Golkar. Dua tokoh politik ini juga sama tidak sterilnya dalam soal dana bantuan politik.

Bukan mustahil Aburizal Bakrie pada Pilpres 2004 dan 2009 termasuk pelaku bisnis sekaligus pejabat negara yang perusahaan keluarganya memberi bantuan dana kampanye pada pasangan SBY–JK (2004) dan SBY– Boediono (2009). Tekanan Partai Golkar dalam Pansus Bank Century juga bukan mustahil mengandung unsur politik untuk menekan SBY agar memberi ruang pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono dan memecat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan bukan murni ingin membangun pemerintahan yang bersih seperti yang dilontarkan Aburizal Bakrie bahwa “orang yang tidak benar harus diganti”.

Dengan kata lain, baik SBY maupun Aburizal Bakrie sama-sama tidak murni ingin membangun pemerintahan yang bersih di dalam pernyataan-pernyataan politik mereka, melainkan bagaimana mendapatkan dukungan rakyat atas motif politik di balik pernyataan-pernyataan politik yang aduhai indahnya itu. Kita tunggu saja apakah SBY dan Ical dapat berdamai kemudian.

Jika mereka tidak dapat berdamai, bukan saja SBY, Partai Demokrat, dan Partai Golkar saja yang akan merugi, melainkan koalisi pemerintahan secara keseluruhan. Namun, jika dianalisis lebih dalam lagi, yang paling merugi adalah SBY karena akan semakin sulit ia mengelola dukungan dari koalisi politik yang semakin rapuh itu. Walau Partai Demokrat memiliki 148 kursi, terbesar di DPR, sebagian besar anggotanya atau lebih dari 90 persen bukanlah politisi ulung yang mampu mengarahkan proses politik di parlemen.

Maklum jam terbang mereka masih kurang dari 10 tahun, kalau tidak dapat dikatakan masih sebagai “politisi balita”. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan yang pemimpinnya tidak jarang bagaikan crying baby dan politisi pendukung utamanya bagaikan “politisi balita” yang masih belajar berpolitik? Jawabannya tentu bukan pada syair lagu ciptaan SBY: “Ku Yakin Sampai di Sana”.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 16 Februari 2010