Ketika anak saya menceritakan dengan bangga bila anak seorang petinggi negeri terpilih menjadi anggota DPR, saya jelaskan kalau dia keliru. "Apanya yang harus dibanggakan? Bukankah itu sesuatu yang wajar. Justru menjadi aneh kalau dia tidak terpilih sedang bapaknya berada di puncak kekuasaan. Sang anak mestilah memiliki segalanya untuk dapat terpilih menjadi anggota DPR," jawab saya dengan ringan.
Tentu saja dia tidak merasa aneh atas jawaban saya itu. Bagaimana dia merasa aneh, karena saya pun baru menjadi anggota DPR menjelang usia 50 tahun. Tatkala zaman sudah berubah. Ketika para petinggi undur diri dari Senayan. Dan keluarga-keluarga para petinggi pun menarik diri. Pada masa itu, perilaku tersebut mendadak menjadi musuh publik. Semua orang mengecamnya. Istilah KKN menjadi tema yang harus diperangi. Dan ketika itulah saya beroleh kesempatan.
Kini, tiga musuh besar itu sudah mulai dilupakan orang. Para petinggi tak malu lagi menampilkan anak-anak mereka. Tidak hanya di pusat, tapi juga di daerah-daerah. Orang-orang di sekitarnya mendorong. Apa salahnya kalau mereka punya kemampuan, demikian dalihnya. Anak-anak petinggi kembali muncul ke permukaan. Banyak di antaranya yang memperoleh kemenangan. Bahkan menjadi pengumpul suara terbanyak. Malahan ada yang mendapat penghargaan. Ternyata masa yang sebentar itu hanya transisi. Ketika kehidupan kembali normal, tiga musuh yang diperangi itu kembali subur. Bahkan berani pula dibantah orang. Bahwa "soal garis keturunan" bukanlah hanya perilaku di sini, tapi juga di seantero dunia. Negara yang suka menjadi acuan berdemokrasi pun menerapkannya.
Lagi pula tidak hanya anak-anak para petinggi. Juga para artis. Jumlahnya pun cukup banyak. Dapat dikatakan Senayan kini bertabur selebritis. Bisa jadi semua ini semacam arus balik terhadap para politisi kita. Mungkin saja keadaan ini dipicu oleh bermunculannya para politisi yang dianggap busuk. Kalau bukan tertangkap tangan menerima suap, juga dihujat akibat perselingkuhan. Ngomongnya saja yang memperjuangkan rakyat, nyatanya yang diperjuangkan hanya kepentingannya sendiri. Rakyat tetap saja merana. Nasibnya tak banyak berubah.
Semuanya itu sah-sah saja. Siapapun berhak mewakili rakyat. Termasuk rakyat secara langsung. Bukankah kita pernah mengalami hal ini tatkala memasuki reformasi. Bukankah persyaratan untuk menjadi wakil rakyat itu telah dirumuskan pada saat pendaftaran anggota legislatif. Sepanjang syarat itu terpenuhi, maka siapa saja berhak menjadi wakil rakyat. Anak petinggi boleh, anak rakyat bisa, artis juga boleh, apalagi mereka yang bergelar doktor.
Pada akhirnya, maka posisi itulah yang menentukan, apakah seseorang pantas menjadi wakil rakyat atau tidak. Termasuk untuk bersuara kepada rakyat, mengemukakan pendapat di ruang sidang, atau berucap kepada media massa. Dan kini catatan-catatan itu mulai terkuak. Seorang wakil rakyat tidak mengetahui bila UN itu adalah ujian nasional, disangkanya ujian negara. Repotnya lagi Balibo yang menjadi judul film itu disangkanya di Filipina, padahal di Timor Leste, tulis sebuah majalah yang dikenal akurat. Lain lagi ulah temannya yang lain. Di kala wartawan mengejar komentarnya soal "human trafficking", dia menjawab ringan kalau itu urusannya Menteri Perdagangan. Wartawan yang bertanya itu pun kelabakan. Tentu saja masih banyak ulah lainnya yang bisa dicatat. Yang menarik, ketika hal-hal sepele semacam itu digugat para wartawan. Yah, maklumlah. Kan baru belajar!, jawabnya ringan. Sama halnya anak petinggi yang diuraikan di atas, pernah juga dijelaskan bapaknya agar si anak diberi kesempatan untuk belajar politik.
Itulah yang saya tegaskan pada anak saya yang berbangga atas terpilihnya anak petinggi menjadi wakil rakyat. Alangkah berdosanya kita jika menjadikan wakil rakyat itu sebagai ajang belajar. Karena DPR itu adalah tempat untuk memikirkan nasib rakyat. Tempat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan itu bisa dilakukan melalui tiga fungsi DPR, yakni fungsi legislasi melalui penyiapan undang-undang yang menjadi aturan penyelenggaraan negara, fungsi budget yakni penganggaran negara, serta fungsi kontrol atau pengawasan terhadap jalannya pemerintahan negara.
Pada prinsipnya DPR itu adalah representasi rakyat. Karena itu prinsip utama untuk menjadi anggota DPR adalah memahami secara utuh tentang rakyat. Bagaimana prinsip-prinsip dasar yang kita sepakati membangun bangsa. Apa yang dipikirkan rakyat, bagaimana mereka mengidealkan kesejahteraan yang mereka cita-citakan, lantas bagaimana DPR berjuang untuk mencapainya.
Karena itu, seseorang yang terpilih menjadi anggota DPR memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Artinya, DPR itu adalah tempat untuk mempraktikkan ilmu yang dimiliki untuk melakukan tugas-tugas di atas. Bukan tempat atau ajang belajar. Bisa kita bayangkan betapa ruginya negeri ini jika seseorang yang menjadi anggota DPR baru memulai belajar. Nilai seorang anggota DPR itu mahal sekali. Saya tidak tahu berapa modal yang dihabiskan seseorang untuk menjadi anggota DPR. Mungkin Rp1 M, Rp2 M, Rp5 M, atau bahkan ada yang bercerita menghabiskan lebih dari jumlah itu. Sesudah menjadi anggota DPR, maka negara menyediakan anggaran tidak kurang dari Rp50 juta setiap bulan. Dalam daftar resmi gaji dan tunjangan yang diterimanya memang hanya Rp28/bulan. Tapi seorang anggota DPR mengaku bila menerima Rp40/bulan. Karena di samping gaji dan tunjangan itu masih ditambah lagi dengan honor-honor, baik honor penyusunan undang-undang, biaya komunikasi intensif, uang saku perjalanan, dan tunjangan lainnya. Kalau dihitung dengan fasilitas yang diterimanya seperti laptop dan kebutuhan kantor lainnya, perumahan beserta isinya, para staf, dan sebagainya, mungkin bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap bulan.
Memang tak ada seorang pun yang sempurna. Saya juga ikut meningkatkan pengetahuan ketika menjadi anggota DPR. Sepanjang namanya manusia, pasti memiliki kekurangan. Karena itu ada istilah "long life education", belajar sepanjang hayat. Jangan berhenti belajar. Tapi tentulah yang dipelajari itu ilmu-ilmu lanjutan. Mengisi kekurangan yang ditemui dalam perjalanan.
Bahkan ketika menjadi keluarga Senayan, kita perlu mempelajari hal-hal baru di lingkungan tersebut. Pengetahuan tentang ruangan, dari ruang sidang, perpustakaan, klinik, tempat parkir, dan semacamnya. Termasuk juga mengetahui teman baru yang menjadi anggota DPR. Dengan mengenal teman akan memudahkan kita bekerja sama, termasuk berkomunikasi dengan sopan santun serta menyesuaikan diri. Memahami orang lain amat penting, karena banyak juga anggota DPR yang hanya mengenal dirinya sendiri. Kalau teman sendiri tidak kita kenal, bagaimana mungkin kita mengenal lingkungan kita, atau mengenal rakyat yang kita wakili.
Karena itu, pesan saya kepada anak saya itu, biarlah anda belajar dulu tentang kehidupan ini, tentang rakyat dan bangsa kita, dan tentang negeri ini. Sembari bekerja, rintislah dulu pemahaman itu dari bawah. Ketika suatu saat sudah memahaminya, sudah menguasainya, barulah berjuang menjadi wakil rakyat, menjadi anggota DPR. Biarlah kita menjadi anggota DPR setelah berusia lanjut, tapi kita dapat memberi makna akan kehadiran kita di situ. Bisa jadi orang mendapatkan kedudukan ketika usia masih teramat muda, tapi semua itu akan menjadi percuma tatkala dia tidak memberi sumbangan apa-apa atas jabatan dan posisinya itu.
Oleh Baharuddin Aritonang Pengamat sosial
Opini Media Indonesia 17 Februari 2010