16 Februari 2010

» Home » Republika » Akkalarapangeng

Akkalarapangeng

Abdul Majid
(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Dalam kehidupan berbangsa, kita mengenal ada istilah (1) budaya nasional, dan (2) budaya lokal. Salah satu ciri budaya adalah bahasa. Dengan demikian, bahasa pun, ada yang dianggap sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, dan ada pula yang dianggap bahasa lokal (misalnya, ada-adanna To Ogi). Bahasa lokal itu dimasukkan ke dalam bingkai kearifan lokal (istilah yang dipopulerkan sekarang), karena hanya komunitas masyarakat lokal itu saja yang tahu karena ia merupakan bahasa ibu.

Bahasa lokal itu terlembagakan menjadi adat yang bernilai luhur, karenanya diwariskan secara turun-temurun kepada generasi mereka. Satu di antaranya adalah akkalarapangeng. Kata itu biasa saya dengar dalam bahasa komunitas Bugis dan status umumnya kata itu merupakan nasihat dari orang terpandang.

Bugis adalah salah satu etnis suku bangsa yang besar di tanah air kita, yang kebanyakannya berada di Sulawesi Selatan.

Sepengetahuan saya, akkalarapangeng artinya mengandaikan diri, menyerupakan diri, memisalkan diri (misalnya, 'Seandainya saya seperti dia'). Akkalarapangeng tidak selalu diucapkan di sembarang tempat dan keadaan, tetapi hanya akan kita peroleh jika kita mengikuti pertemuan-pertemuan terbatas dengan orang-orang terpandang dalam kehidupan masyarakat setempat.

Akkalarapangeng biasanya dimunculkan sebagai nasihat bila ada seseorang yang selalu mengkritik orang lain. Apalagi, kritik yang diucapkannya pun, setelah didalami oleh ahlinya terkadang tidak memiliki data pendukung yang faktual dan jelas.

Hanya, 'katanya', dan 'katanya' lagi. Misalnya, ''Bapak Itu melakukan perbuatan yang tidak baik kepada Bapak Anu, sehingga Bapak Anu marah kepada Bapak Itu,'' katanya Bapak X.

Setelah dicek kebenarannya, ternyata, Bapak X tidak pernah mengatakan tentang itu. Balum lagi, 'katanya' itu tidak memberikan jalan keluar yang terbaik agar permasalahannya selesai dengan baik. Kritikannya tidak konstruktif.

Apa yang saya perlu kemukakan di dalam tulisan ini, untuk mengemukakan istilah orang Bugis (To Ogi) itu, untuk kita ketahui bersama adalah karena, yang pertama, adanya fakta dalam beberapa pemberitaan dan tayangan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, di mana ada sekelompok orang yang hanya menyalahkan orang lain dan menyampaikannya melalui cara-cara yang kurang terhormat. Misalnya, mengata-katai seseorang di depan orang banyak, bahkan ungkapannya disampaikan ke mana-mana tanpa melihat apakah orang yang ditemuinya itu pantas tidak mendengarkannya.

Kedua, mereka yang selalu mengkritik itu, mungkin, terlalu egois juga untuk terlalu memaksakan agar sesuatu hal menurut cara berpikir dan maunya mereka sendiri, tanpa ada pertimbangan, jangan-jangan orang yang dipersalahkan itu lebih tahu masalahnya dari mereka. Cara-cara seperti itu membuat seseorang lupa bahwa dari mana latar belakang adat, sosial, agama, etnis, serta pendidikan yang memengaruhi dan mendorong seseorang untuk bersikap seperti itu.

Ketiga, jangan-jangan juga mereka yang sering mengkritik itu lupa bahwa adanya sesuatu tindakan atau kebijakan yang dilakukan orang yang dikritik, entah itu karena ia seorang pejabat publik, publik figur, ataukah orang-orang terpandang dalam komunitas masyarakatnya, di dalam menentukan tindakan atau kebijkannya terikat oleh aturan-aturan yang tidak menyeluruh dan mutakhir karena sifatnya terlalu normatif.

Sehingga, yang bersangkutan tidak bisa leluasa berinovasi, apalagi harus mempertimbangkan aspek dan cakupan yang lebih luas untuk kepentingan dan kehidupan masyarakat yang majemuk (pluralis).

Keempat, boleh jadi suatu tindakan atau kebijakan seseorang yang dikritik itu tidak sempat diberikan akses yang lebih luas ke luar wilayah lingkungan kerjanya untuk berkomunikasi kepada khalayak umum, karena yang bersangkutan memang dibatasi oleh aturan-aturan teknis yang menyebabkan akses itu sempit, terbatas, atau memang dibatasi.

Dari empat pemahaman saya tersebut di atas yang terbatas itu, ada sesuatu yang ingin saya komunikasikan kapada kita semua. Pertama, dalam menjalani kehidupan ini tidak ada orang yang luput dari kekurangan dan kesalahan.

Maka, bagaimana jika berpikir positif dan jernih bahwa orang tersebut adalah saudara saya juga yang harus diperbaiki dengan cara: (1) Dia mungkin memang kaliru, sayalah yang benar, (2) jika memang kitalah yang benar, mengapa kita tidak rela untuk memanfaatkan atau menyampaikan kebenaran yang ada pada kita itu untuk menutupi kakurangan atau kesalahannya. Bukankah kita telah pandai berucap 'saling memberi dan menerima'. Saatnyalah kita buktikan!

Kedua, bila kita jujur pada diri sendiri, boleh jadi kita berkata ilmu dia dan saya memang berbeda. Perbedaannya terletak pada dasar, konsep, teori, dan mungkin penerapan dan ukuran-ukurannya. Lalu, mengapa kita tidak berprakarsa untuk memperkaya yang dikritik itu dengan perbedaan yang ada pada pengkritik.

Bukankah kita pandai mengatakan bahwa 'perbedaan itu adalah rahmat'. Bahkan, prinsip hidup itu kita yakini berasal dari manusia pilihan dan terhormat, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang mayoritas diikuti oleh masyarakat kita di tanah air?

Ketiga, dalam kehidupan yang beragam karena adat, ilmu, kepentingan, dan derajat ini terkotak-kotak atau parsial memandang sesuatu. Tetapi, kita sebagai bangsa Indonesia sudah saatnya menggerakkan semua potensi komponen bangsa kita, untuk bukan hanya bijaksana, tetapi juga bijaksini. Artinya, dalam banyak hal komunikasi yang baik dan sehat itu adalah tidak perlu memaksakan kehendak sendiri-sendiri, melainkan yang paling bijak adalah memahami pihak siapa teman (jangan mempergunakan 'lawan!') berbicara kita saat itu.

Keempat, marilah kita membuka komunikasi yang bisa diakses dan terakses oleh siapa pun dengan cara-cara yang penuh kesantunan dan akhlak mulia.
Jangan sampai status sosial atau apa pun yang sejenisnya, membuat hidup kita ini semakin tidak nyaman, tidak harmonis, dan apalagi saling mencurigai.

Bukankah kita sering dan fasih lidah berbicara: Jabatan adalah amanah; Jabatan hanya sementara; Hidup ini terkadang di atas dan terkadang di bawah; Hidup di dunia ini hanya sekali.

Dan kelima, boleh jadi ada satu hal yang sering kita tidak sadari bahwa bangsa kita terdiri atas beragam etnik, perilaku, adat, agama, kekayaan daerah, dan mungkin itu pulalah sering kita menggunakan kata majemuk atau pluralis.

Negara kita ini luas bentangan wilayahnya. Untuk mengoordinasikan, menyinergikan, dan sejenisnya keragaman itu bukan masalah yang mudah.

Opini Republika 17 Februari 2010