Namun, belakangan ini, alih- alih membantu pemerintah mereduksi berbagai kontroversi politik yang terjadi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) justru menjadi salah-satunya sumber kontroversi. Kemkominfo turut memberikan kontribusi sedemikian rupa sehingga seratus hari pemerintahan SBY adalah ”seratus hari penuh kontroversi”.
Kontroversi dimulai ketika Menkominfo mengintrodusir Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyadapan. Berbagai pihak menolak RPP ini karena dianggap kontraproduktif bagi upaya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sangat tergantung pada fungsi penyadapan. Kontroversi RPP Penyadapan belum reda, publik dikagetkan oleh munculnya RPP Lembaga Penyiaran Publik yang hendak meleburkan RRI dan TVRI ke dalam satu lembaga penyiaran baru tanpa benar-benar mempertimbangkan perbedaan sejarah, karakteristik, dan fungsi keduanya, bahkan tanpa terlebih dahulu mengajak ”rembukan” pimpinan TVRI-RRI. RPP ini juga mengancam independensi lembaga penyiaran publik karena mengatribusikan otoritas kepada Kemkominfo untuk mengintervensi urusan-urusan internal lembaga penyiaran baru itu.
Kontroversi RPP Lembaga Penyiaran Publik belum berlalu, Kemkominfo mengintrodusir Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia yang lebih kontroversial lagi. Hingga tulisan ini selesai ditulis, ada 5.000 orang menolak RPM ini di akun S.O.S Internet di jejaring sosial Facebook. Sebanyak 1.850 orang menyalurkan dukungannya lewat akun Tolak RPM Konten. Belum lagi reaksi kritis dari lembaga otoritatif, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Dewan Pers.
RPM Konten Multimedia ditolak karena tidak kompatibel dengan karakteristik dan kompleksitas dunia multimedia, mengandung muatan-muatan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat, serta bertendensi untuk menempatkan Kemkominfo sebagai rezim kontrol untuk media online. Merujuk pada Undang-Undang Pers dan UU Penyiaran yang juga menjadi konsideran RPM Konten Multimedia, jelas sudah bukan saatnya lagi pemerintah menempatkan diri sebagai pengontrol atau pembina ranah media. Kontrol ranah media diserahkan kepada publik, yang manifestasinya, antara lain, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
RPP Penyadapan, RPP Lembaga Penyiaran Publik, dan RPM Konten Multimedia menunjukkan Kemkominfo melaksanakan perumusan kebijakan yang kurang lebih bersifat sepihak, eksklusif, dan kurang partisipatoris. Rencana kebijakan menjadi kontroversial karena tidak memenuhi harapan publik tentang regulasi yang kompatibel terhadap prinsip-prinsip demokrasi, serta mengancam fundamen kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat. Situasi ini tercipta karena unsur-unsur publik tidak benar-benar dilibatkan dalam perumusan rencana kebijakan.
Jika pun unsur-unsur publik telah dilibatkan, sejauh mana intensitasnya? Di sini kita dapat mengidentifikasi tiga kelemahan terkait dengan absennya prinsip perumusan kebijakan yang partisipatoris. Pertama, idealnya unsur-unsur publik dilibatkan dalam perumusan kebijakan sejak dari tataran penggalian ide. Publik turut menentukan apakah suatu kebijakan benar-benar perlu dilahirkan dengan mempertimbangkan relevansi dan konsekuensinya. Namun, yang sering terjadi, tampaknya juga terjadi dalam RPM Konten Media, publik baru dilibatkan dalam fase uji publik ketika draf kebijakan telah selesai disusun oleh tim kementerian. Tentu berbeda antara melibatkan publik ketika draf kebijakan sudah jadi dan ketika kebijakan baru pada tataran ide.
Kedua, publik dilibatkan secara simbolik dan formal saja, sekadar untuk memenuhi syarat perumusan rencana kebijakan ”telah melibatkan publik”. Unsur-unsur publik tidak menjadi bagian dari tim yang menyusun rencana kebijakan, tetapi menjadi outsider yang secara insidental diundang untuk memberi masukan. Jelas berbeda sekali kontribusi insider yang secara intens terlibat dalam perumusan pasal demi pasal dengan outsider yang hanya memberikan masukan ketika mendapat undangan. Tidak ada jaminan masukan-masukan publik sebagai outsider benar-benar diadopsi dalam perbaikan draf kebijakan.
Ketiga, sejauh ini berkembang persepsi di kalangan eksekutif bahwa masukan masyarakat hanya relevan untuk proses pembahasan RUU. RPP dan RPM adalah ranahnya otoritas eksekutif sehingga menjaring masukan masyarakat bukanlah sebuah imperatif. Yang terjadi kemudian adalah perumusan RPP dan RPM yang sepihak dan eksklusif. Padahal, jelas sekali partisipasi publik mutlak dilakukan pada semua level perundang-undangan yang menyangkut kemaslahatan publik. Partisipasi publik baru kurang relevan jika sebuah kebijakan murni menyangkut urusan internal badan publik.
Legitimasi sebuah kebijakan bukan hanya diukur dari substansi finalnya, tetapi juga dari proses pembahasannya. Apakah proses pembahasan telah dilakukan secara transparan dan partisipatoris? RPM Konten Multimedia lemah dalam hal legitimasi substansi dan legitimasi proses. Oleh karena itu, wajar jika menuai kontroversi.
Jika kontroversi terus terjadi, lalu bagaimana dengan kontribusi Kemkominfo dalam membangun citra pemerintahan yang komunikatif dan mempunyai sensibilitas publik? ”Lebih baik ribut sekarang daripada nanti sudah ditandatangani baru timbul resistensi,” demikian ujar pejabat Kemkominfo tentang RPM Konten Multimedia. Keributan sekadar diperkirakan, tetapi tidak dicegah.
Agus Sudibyo Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
Opini Kompas 18 Februari 2010