KORBAN facebook terus bertambah. Selain kasus Nova-Ari yang membawa ‘’pasangan’’ facebooker itu dari dunia maya ke alam dewasa, ada empat siswa SMAN 4 Tanjungpinang, Kepulauan Riau, yang dikeluarkan dari sekolahnya gara-gara dianggap menghina dan mengancam gurunya lewat facebook.
Demam jejaring pertemanan lewat dunia maya itu juga melanda karyawan swasta, pegawai instansi pemerintah, eksekutif muda, para orang tua, dan berbagai kalangan dalam masyarakat kita. Para pimpinan perusahaan atau satuan kerja pemerintahan dibuat repot oleh ulah bawahannya yang asyik ber-facebook saat jam kerja.
Situs jejaring sosial itu sekarang digunakan para penggemarnya untuk berbagai ekspresi dan keperluan, termasuk pelecehan terhadap institusi, tidak terkecuali partai politik. Menjelang Pemilu 2009, PKS menjadi salah satu korbannya. Di facebook muncul PKS ‘’baru’’ bergambar padi emas diapit dua palu arit emas bertuliskan Partai Komunis Sejahtera. Pembuatnya Muhammad Amin, entah siapa dia.
Di luar negeri, harian The Mail pada Juli 2009 memuat kehebohan posting foto dan profil keluarga kepala dinas rahasia Inggris (M16), Sir John Sawers. Yang upload foto adalah istri Sawers sendiri, mungkin dengan maksud iseng atau pamer saja. Sang istri tentu tidak tahu keisengannya itu mengancam keluarganya.
Banyak di antara kita memasuki dunia virtual untuk memanfaatkan sisi entertainment-nya, belum education-nya. Padahal, Mark Elliot Zuckerberg, pemuda jenius dari New York yang sekarang kaya raya, ketika membuat aplikasi web bernama facebook itu semula untuk sarana komunikasi sesama rekan sekolah. Jadi facebook sebagai pelengkap sarana bersilaturahmi yang halalan thayyiban.
Semua akhirnya bergantung pada motif dan emosi penggunanya. Ideologi pengguna facebook dan juga user internet secara umum menjadi trigger dalam kultur baru era informasi berbasis digital elektronik. Kebebasan berekspresi yang sejatinya sebagai hak manusia yang paling dasar bisa berujung liar atau terkendali.
***
Seorang facebooker bisa menjadi seorang yang selfish pleasure dan bahkan narsis di layar virtual. Atau sebaliknya, dia sengaja ingin mengelabui atau menipu orang lain. Di lain waktu dia bisa menjadi seorang yang fasis-rasis mirip Nazi yang sangat xenophobia atau homophobia. Bisa pula dia tampil sebagai sosok neohumanis yang santun dan cerdas memanfaatkan jejaring itu untuk menjaring teman dan menghimpun informasi yang bermanfaat.
Dunia maya sebagai ranah publik belum seluruhnya disadari oleh penggunanya. Bahkan di negara maju seperti Swedia pun, yang berambisi menjadi negara pertama yang mewujudkan information society, banyak warga yang masih harus difasilitasi dan dilindungi pemerintah. Penduduk yang rentan dan lemah terhadap gempuran informasi dan teknologi komunikasi masih harus dilindungi hak-haknya oleh pemerintah.
Pemerintah RRC harus bertengkar dengan Google karena dia harus melindungi rakyatnya, identitas nasionalnya, dan sekaligus memperkuat pertahanan negaranya atas apa yang disebut McPhail (1987) sebagai ‘’penjajahan elektronik’’.
Indonesia masih sedang berproses untuk mengatur diri agar keterbukaan informasi publik di era multimedia bukan saja mendorong good governance, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan rakyat. Termasuk di dalamnya proses untuk menemukan harmoni antara kebebasan berekspresi dan perlindungan atas hak-hak individu dan institusi sosial.
Pendeknya, globalisasi informasi yang disimbolkan dengan 4C (capitalism, communication, convergence, culture) bisa dilengkapi menjadi 5C (C terakhir adalah control). Itulah kebebasan yang bertanggung jawab.
— A Zaini Bisri, wartawan Suara Merdeka dan Ketua Presidium J-Trend (Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, Demokrasi)
Wacana Suara Merdeka 18 Februari 2010