17 Februari 2010

» Home » Jawa Pos » "Jajan" versus Nikah Siri

"Jajan" versus Nikah Siri

SEJAK beredar kabar masalah nikah siri, kawin mut'ah, serta poligami yang tidak dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah telah menjadi bagian dari draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam draf Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010, respons masyarakat pun cukup beragam. Terlebih lagi bila RUU tersebut disahkan, para pelanggar -yaitu pelaku nikah siri, mut'ah, dan poligami- akan dapat dijerat dengan hukum pidana dan bisa dihukum penjara.

Bila Ketua MK Mahfud M.D. sangat setuju dan mendukung sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan mut'ah, berbeda dengan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim (Jawa Pos,15/2/2010). Menurut Mahfud, praktik nikah siri dan mut'ah telah menimbulkan banyak korban di kalangan perempuan dan anak-anak -karena tidak diakui oleh negara sehingga tidak bisa menjadi ahli waris. Karena itu, perlu ada UU yang melarang praktik nikah siri dan mut'ah. Nikah siri dan mut'ah yang terjadi kerapkali keluar dari konteks ibadah, tetapi semata-mata hanya untuk memenuhi dorongan atau pelampiasan nafsu seksual.

Sebaliknya, menurut Ifdhal Kasim, pasal pidana bagi pelaku mut'ah dan nikah siri dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Perkawinan merupakan hak privasi dan peran negara hanya untuk melegalkannya. Dalam hal ini negara harus bersifat pasif dan tidak ikut menentukan untuk menghormati hak asasi warga negara. Karena itu, pengajuan RUU tersebut, menurut Ifdhal, sebagai bentuk intervensi negara terhadap wilayah privasi warga negara. Akan banyak keterlibatan negara yang mengkriminalisasikan pelaku yang tidak mencatatkan perkawinan mereka.

Komentar lain datang dari Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jatim KH Mutawakkil Alallah. Menurut dia, bila RUU tersebut disahkan menjadi UU, sangat mungkin akan ada protes luar biasa dari masyarakat serta timbul azab yang besar. Azab itu bisa terjadi karena hukum negara sudah bertolak belakang dan menentang hukum agama.

Tentang nikah siri dan poligami, KH Mutawakkil tidak setuju bila harus diancam pidana, karena hal itu akan bertentangan dengan syariah -yang karena tidak memberikan ketentuan untuk mencatatkan di instansi pemerintah. Selain itu, nikah siri dan poligami tidak lain adalah salah satu cara untuk menghindari perzinaan. Sedangkan masalah nikah mut'ah, keabsahannya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama jika batas waktunya (kontrak) tidak disebutkan dalam akad ijab kabul. Tetapi, bila batas waktunya disebutkan, sesuai madzab Syafi'i, hal itu tidak sah. (Surya, 13/2/2010).

Tentu akan lebih banyak pendukung dan penentang RUU ini sesuai dengan latar belakang pemikiran maupun kepentingan masing-masing. Para pendukung mungkin akan lebih banyak memberikan argumentasi berdasarkan sudut pandang hukum agama dan budaya. Sebaliknya, yang menentang akan lebih dominan menyodorkan fakta sosial dampak buruk dilegalitaskannya perkawinan siri, mut'ah, dan poligami di negeri ini.

Jajan Lebih Aman?

Terlepas dari pro-kontra tersebut, memang ada beberapa pasal klausul dalam draf RUU tersebut yang menarik untuk dicermati. Salah satunya sanksi pelaku nikah siri lebih berat daripada pelaku perzinaan. Pada pasal 143 disebutkan bahwa pelaku yang melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan, sedangkan pasal 147 menyebutkan bahwa barang siapa yang menghamili perempuan yang belum nikah dan menolak mengawininya akan dipidana paling lama 3 (tiga) bulan penjara.

Ini pasal yang sangat aneh dan berpotensi memantik reaksi keras dari masyarakat agama. Bagaimana mungkin perilaku yang jelas-jelas menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap seseorang yang telah dihamilinya mendapat ganjaran hukuman lebih ringan daripada pelaku nikah siri dan atau mut'ah? Manakah di antara keduanya yang secara moral dapat dikatakan lebih bermoral?

Dapat dibayangkan bila pencuri "kehormatan" perempuan hanya mendapatkan hukuman setimpal dengan seorang "pencuri ayam". Padahal, sebaliknya pada pasal 146 ditegaskan bahwa pelaku poligami tanpa izin pengadilan dan mereka yang menceraikan istri tidak di depan pengadilan akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman 6 (enam) bulan penjara.

Mencermati pasal-pasal aneh tersebut seorang teman berseloroh, "akan lebih aman jajan di lokalisasi daripada harus nikah siri, poligami ataupun mut'ah". Dengan kata lain, alih-alih untuk melindungi perempuan dari budaya kekerasan patriarkhi, tetapi justru sebaliknya berpotensi lebih banyak merugikan perempuan itu sendiri.

Yang perlu dipertanyakan, misalnya, mengapa tidak ada pasal yang memberikan sanksi kepada laki-laki yang sudah memiliki istri, tetapi masih suka 'jajan' ke lokalisasi? Bukankah sanksi ini penting untuk melindungi keutuhan rumah tangga?

Akhirnya, secara keseluruhan penulis memandang penting regulasi hukum terkait masalah perkawinan ini. Tetapi, lebih penting dari itu ialah mencermati aspek-aspek keadilan agar tidak merugikan masyarakat, tidak bertentangan dengan roh agama dan sekaligus tidak memberi celah untuk melakukan penyimpangan -misalnya jajan ke lokalisasi- yang berkonotasi melecehkan hukum agama. (*)

*). Abd. Sidiq Notonegoro, p engajar di Fakultas Agama Islam Univ. Muhammadiyah Gresik
Opini Jawa Pos 17 Februari 2010