UJIAN nasional (UN) sebagaimana yang akan digelar di Kota Semarang, masih menuai pro dan kontra. Evaluasi peserta didik yang dilakukan satuan pendidikan atau guru, telah berjalan secara berkala, menyeluruh, dan transparan. Namun kredibilitasnya pudar, saat kuasa sang pemerintah dalam bentuk ujian nasional turun di sana.
Sebenarnya, peran pemerintah dalam melaksanakan UN yang kemudian ditugaskan melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), hanyalah impikasi pelaksanaan dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Pasal 58 Ayat (2) menyatakan, bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Hal inilah yang memberi mandat kepada pemerintah, untuk tetap melaksanakan ujian nasional.
Penilaian internal yang telah dilakukan guru dan satuan pendidikan, belumlah sempurna sebagai suatu alat evaluasi, sebelum adanya penilaian eksternal, yang dilakukan oleh lembaga mandiri (BSNP), untuk menilai pencapaian hasil pembelajaran dengan menggunakan standar tertentu, yaitu standar kompetensi lulusan (SKL), untuk memperoleh pengakuan dan pertanggungjawaban secara lebih luas.
Memang secara umum tujuan dari pelaksanaan ujian nasional sangatlah mulia yaitu bentuk akuntabilitas publik dari penyelenggara pendidikan, mengendalikan mutu pendidikan, sebagai motivator bagi siswa untuk belajar lebih baik, sebagai media seleksi dan penempatan bagi siswa, dan yang terakhir sebagai media untuk mendiagnostik permasalahan pendidikan di Indonesia.
Namun, semua idealisasi itu sering terkubur dengan fakta atau lebih tepatnya fenomena ketakutan yang dialami siswa ataupun orang tua dalam menghadapi ujian.
Presiden boleh saja mengimbau, agar siswa dan orang tua tidak usah cemas dalam menghadapi ujian namun siswa dan orang tua tentu tidak akan serta merta menerima petuah itu sebagai titah yang harus segera terlaksana, sebab semua itu menyentuh langsung nasib dari mereka.
Seorang guru pernah mengatakan, takkan ada kemuliaan tanpa ada perjuangan. Bahwa ujian nasional yang merupakan salah satu penilaian eksternal dari pemerintah yang digunakan untuk mengumpulkan data pencapaian prestasi belajar peserta didik dalam memenuhi SKL, menjadi suatu motivasi bagi siswa, guru, dan orang tua untuk menjadikan proses belajar mengajar sebagai wahana peningkatan diri dan lahan mendiagnostik kemampuan dan kekurangan pada siswa atau satuan pendidikan.
Tanpa pemicu ujian nasional, sangatlah berat mengangkat dunia pendidikan kita pada jenjang yang lebih baik. Ini berkaitan dengan kultur, yang mengajarkan kepada bahwa kita hidup di daerah yang subur makmur, kita hidup dalam kubangan air susu. Stigma yang membawa siswa untuk terlena dalam ketenangan.
Padahal, sesungguhnya tantangan persaingan antarnegara semakin ketat. Menjadi tuan di kandang sendiri, laksana katak dalam tempurung, bukanlah suatu pilihan yang bijaksana. Ketentraman karena tidak berbuat sesuatu apa pun yang menanggung risiko, justru merupakan bahaya yang besar.
Berlawanan Dunia pendidikan saat ini memang sedang mengalami masa yang berlawanan dalam dirinya. Di satu sisi, kurikulum tingkat satuan pendidikan yang menuntut guru agar bersifat profesional dalam menghasilkan hasil belajar, terusik dengan fakta bahwa tidak semua hasil belajar menjadi acuan kelulusan siswa.
Meskipun, secara teori, semua hasil belajar dijadikan acuan dalam kelulusan, namun hampir semua sekolah menutup mata dalam hal ini. Jika hasil belajar dalam bentuk prestasi belajar siswa baik maka otomatis semua komponen lain akan baik. Di sinilah letak kontradiksi yang ada dalam dunia pendidikan.
Karena itu, tidaklah salah jika beberapa sekolah berubah fungsi menjadi lembaga bimbingan belajar (bimbel). Hanya materi UN yang mendapat perhatian seksama karena itu menyangkut hajat orang banyak.
Tidak hanya siswa yang berkepentingan untuk lulus, guru, dan satuan pendidikan juga memiliki kepentingan untuk meluluskan siswanya. Semakin banyak siswa yang lulus, maka semakin tinggi bargaining position dari suatu satuan pendidikan.
Memang tidaklah etis, jika ada pihak-pihak yang lebih memperparah sistem pendidikan ini dengan menjanjikan adanya bocoran-bocoran soal ujian. Semua itu tidak hanya merendahkan dunia pendidikan, namun juga secara tidak langsung memberi racun atau candu kepada siswa untuk berbuat curang.
Sikap tak terpuji tersebut, dapat membawa kehancuran tidak hanya di dunia pendidikan, bahkan dapat merambat ke sistem pemerintahan, berbangsa, dan bernegara. Anggapan bahwa uang dapat melegalkan segala cara, terbukti telah terungkap pada kasus percaloan di lembaga penegakan hukum, seperti fenomena gunung es.
Semua pihak berhadap UN kali ini menjadi ajang penilaian akuntabilitas dari masing-masing satuan pendidikan, dapat meningkatkan hasil belajar dan pengendali mutu secara nasional. (10)
— Tri Tjandra M SPd, Wakil Kepala SMA Kesatrian 1 Semarang
Wacana Suara Merdeka 18 Februari 2010