17 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menikmati Melati dari Aspek Lain

Menikmati Melati dari Aspek Lain

TEGAL telah dikenal luas sebagai kota teh. Di kota itu  terdapat banyak industri pengolahan teh. Sebut saja PT Gunung Slamat yang memproduksi merek Teh Sosro, Teh Poci, Teh Botol, Teh Berko, Teh Terompet, dan Teh Sepatu, PT Tunggul Naga yang memproduksi Teh Dua Tang dan Teh Tjatoet, serta PT Dua Burung yang memproduksi Teh Tong Tji.


Meskipun demikian Tegal tidak memiliki lahan perkebunan teh yang luas. Bahan baku daun teh umumnya diimpor dari Jawa Barat. Teh tegal dikenal karena rasa dan aromanya yang wangi, sepet, legi, dan kentel  (wasgitel) dalam tradisi minum teh yang disebut moci.

Karakteristik teh Tegal yang khas adalah teh melati (jasmine tea), di samping teh hijau dan teh hitam. Teh melati, sesuai namanya merupakan kombinasi antara daun teh (Camellia sinensis) dan kuncup bunga melati (Jasminum sambac).

Pantura Jateng merupakan sentra budidaya melati, terutama di daerah Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Batang hingga Purbalingga.

Kawasan pantura menjadi sentra budidaya melati (varietas melati putih/puspa bangsa) terutama karena karakteristik lahan yang cocok untuk berkembangnya bunga ini, yakni dataran rendah hingga menengah (0-700 meter di bawah permukaan laut/ dpl), dengan kelembaban udara 60-80% serta mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang tahun.

Melati mulai berbunga setelah berumur 7-12 bulan. Setiap tahun melati dapat dipanen selama 12 minggu (3 bulan), dengan time series produksi antara 5 dan 10 tahun setiap batangnya. Kapasitas produksi melati di Indonesia antara 20 dan 25 kg/ ha/ hari selama tiga bulan masa panen.

Pada hari-hari biasa, di kawasan pantura Jateng (bagian barat), rata-rata setiap 1 ha dapat menghasilkan 120 cemong (wadah melati), atau setara dengan 20 kg.

Pada saat naru (panen raya) angka ini bisa melonjak hingga 10 kali lipat menjadi 200 kg. Di Kabupaten Tegal misalnya, lahan budidaya melati tak kurang dari 209 ha, sehingga kapasitas produksinya mencapai 4,1 ton pada hari biasa, atau 41 ton pada saat panen raya.

Petani umumnya menjual hasil budidaya melati kepada pengepul. Setidaknya ada satu pengepul lokal dan tiga pengepul regional di Bandung dan Sukabumi.

Pengepul kemudian menjual melati kepada perusahaan teh atau langsung diekspor ke Singapura. Harga teh sebenarnya ditetapkan Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) atau semacam asosiasi organisasi perusahaan teh. Mereka biasanya mengadakan rapat di Pekalongan.

Meski demikian, harga jual petani umumnya di bawah harga OPS karena mereka menjual kepada pengepul. Saat ini petani hampir tidak memiliki pilihan selain menjual kepada pengepul karena produksi individual petani umumnya dalam skala kecil dan tidak tetap produksinya, kemudian kualitas melati dari petani umumnya masih perlu dilakukan penyortiran (Aksan, 2009).
Kelebihan Produksi Selain itu, pengepul seringkali tidak bersedia membeli petani saat panen raya karena kelebihan produksi yang menyebabkan harga jatuh, selain itu melati bukanlah komoditas yang dapat disimpan lama dalam keadaan segar.

Untuk memberdayakan petani di Tegal misalnya telah terbentuk Kelompok Petani Melati (KPM) Agung Mulia. Agung Mulia dapat menjadi fasilitator petani dengan pihak eksternal (distributor, pembeli akhir, pemerintah daerah hingga lembaga keuangan dan kelompok peduli lain).

Kendala yang umum dihadapi petani adalah kesulitan modal, keterbatasan tenaga kerja saat naru (panen raya), lemahnya posisi tawar penentuan harga, hingga pemanfaatan teknologi pengolahan yang masih terbatas.

Pemerintah daerah dapat menjembatani problem ini, misalnya melalui usaha transfer teknologi pengolahan bahan mentah menjadi bahan baku, seperti mesin suling dari melati segar menjadi minyak atsiri.

Minyak atsiri lebih memiliki nilai keekonomian ketimbang melati segar. Satu liter minyak atsiri di pasaran ekspor dihargai 5 ribu dolar AS atau hampir Rp 49 juta. Untuk memperoleh 1 liter minyak atsiri dibutuhkan 1 ton melati. Bila teknologi ini dapat diakses petani melalui KPM Agung Mulia, dalam satu hari total produksi minyak atsiri yang dihasilkan mencapai 4,1 liter, atau 41 liter pada saat panen raya.

Alih teknologi ini juga dapat menjembatani ketiadaan pilihan petani ketika pengepul tak dapat membeli melati karena kelebihan produksi saat panen raya. Pengolahan minyak atsiri dapat dilakukan di lokasi yang dekat dengan lahan budidaya petani.

Untuk memperluas akses distribusi, petani dapat menjual melati tak hanya kepada pengepul atau perusahaan teh, tetapi juga kepada event organizer (EO). Melati merupakan bahan baku pembuat dekorasi ruang dan banyak dibutuhkan dalam prosesi pernikahan.

Sejumlah pengusaha EO di Solo, Yogyakarta, atau Madiun setiap minggunya membutuhkan setidaknya 190-200 kg melati segar. Peluang ini dapat ditangkap oleh KPM Agung Mulia dan difasilitasi pemerintah daerah.(10)

— Febrie Hastiyanto, Koordinator Kelompok Studi Idea (2008-2009), pegawai Bappeda Kabupaten Tegal
Opini Suara Merdeka 18 Februari 2010