17 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Stop Kekerasan di PT Kedinasan

Stop Kekerasan di PT Kedinasan

Oleh Agus Wibowo

Beredarnya video rekaman kekerasan senior kepada junior di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Apalagi, orang tua yang kebetulan menyekolahkan putra putrinya di perguruan tinggi (PT) itu. Mereka khawatir, jangan-jangan anaknya juga mendapatkan perlakuan serupa. Apa yang memicu tindak kekerasan itu? Langkah apa saja yang mesti dilakukan pemangku kepentingan guna meminimalisasi kekerasan di perguruan  tinggi kedinasan?


Tindak kekerasan senior terhadap junior memang tidak hanya terjadi di STIP. Kasus serupa sebelumnya pernah terjadi di perguruan tinggi kedinasan DLLAJ dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Penyebab penganiayaan para taruna itu, kebanyakan hanya kesalahan ringan dan sepele. Misalnya karena korban melakukan kesalahan pada saat latihan membawa bendera pusaka, tidak mengenakan atribut seragam, tidak mengenakan topi, terlambat masuk masuk kelas, dan sebagainya.

Harus diakui, selain belum tertatanya sistem kurikulum, perguruan  tinggi kedinasan masih memegang teguh budaya militeristik; terutama menyangkut kedisiplinan.

Meminjam teori Johan Galtung (2003), kekerasan di perguruan  tinggi kedinasan itu sudah merepresentasikan dua model kekerasan. Pertama,  kekerasan langsung pada pelaku utama pendidikan yang bersifat horizontal: individu vis a vis individu lain. Kedua, bentuk kekerasan struktural sekaligus kultural, yang mewujud dalam kerangka pendidikan, pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan. Kekerasan ini bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui aparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat.

Jika dilihat dari kacamata ekonomi sosial, kekerasan di beberapa perguruan tinggi kedinasan terjadi karena model pendekatan pendidikan bersifat top down (dari atas ke bawah). Selain dengan karakter dasar mendikte, pendekatan seperti itu berasumsi, pendidik adalah pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai, sehingga tidak dapat dibantah. Paradigma yang dilegalkan adalah disiplin seragam, ketat ideologi, disiplin perintah sehingga taruna tidak mendapat kesempatan untuk banyak bertanya; apalagi membantah! Pendekatan itu mirip dengan metode  mendidik anjing dengan sistem reward and punishment, agar si anjing menjadi setia dan tunduk pada tuannya. Pendekatan top down, sistem militer, dan metode yang selama ini dipakai dalam perguruan tinggi kedinasan telah banyak menelan korban, dan harus secepatnya dihentikan.

Jika tidak mau berbenah, kata Prof Ryas Rasyid (2010), perguruan tinggi kedinasan sebaiknya ditutup agar tidak timbul korban yang lebih banyak lagi. Lebih dari itu, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja di berbagai bidang. Itu karena animo orang tua menyekolahkan putra putrinya ke perguruan  tinggi kedinasan  bukan karena mutu pendidikannya, tetapi karena jaminan pekerjaan setelah lulus nanti.

Menurut Inu Kencana (2010), pendekatan dan kurikulum di perguruan tinggi kedinasan perlu diubah. Pendekatan sistem perguruan tinggi memang cocok dalam pendidikan kemiliteran; karena militer butuh kekompakan dan ketaatan pada perintah. Akan tetapi, bagi perguruan tinggi kedinasan, pendekatan itu sangat tidak sesuai. Pasalnya, yang akan dilayani lulusan perguruan tinggi kedinasan adalah masyarakat sipil.

Sudah saatnya pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat bekerja sama memperbaiki perguruan tinggi kedinasan. Benar perguruan tinggi kedinasan masih dibutuhkan untuk mendidik pamong praja yang profesional di bidangnya, tetapi bukan dengan sistem yang kental kekerasan. Mestinya, proses pendidikan dibentuk dalam kultur yang humanis atau bottom up. Kedisiplinan memang penting, bahkan harus lebih ditingkatkan karena itu adalah kunci dari sukses. Akan tetapi, disiplin bukan diterjemahkan sebagai alur top down yang sangat kaku. Pola seperti itu hanya akan membahayakan keselamatan para taruna.

Esensi dasar pendidikan adalah wahana membentuk jati diri dan prilaku dalam koridor kognitif (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku). Lingkungan, kurikulum, metode, dan kultur budaya merupakan unsur-unsur yang bertalian erat dengan outcome pendidikan itu sendiri. Perguruan tinggi kedinasan yang dikelola secara humanis, toleran, tetapi tidak meninggalkan disiplin akan melahirkan output siswa yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan tetap mengedepankan kedisiplinan. Lain halnya dengan sistem pendidikan top-down, militeristik, yang akan melahirkan output taruna stereotip, menjilat atasan, beringas, dan mencari-cari kesempatan balas dendam.

Belajar dari kasus kekerasan di beberapa perguruan tinggi kedinasan, sistem pengawasan harus lebih diperketat. Misalnya, dengan memperbanyak kamera pengawas dan CCTV tersembunyi, serta satuan keamanan di tempat-tempat kegiatan taruna. Selain untuk preventif, monitor pengawas diperlukan untuk memantau kegiatan taruna. Hasil pengawasan selanjutnya dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan; agar kampus bisa merancang strategi yang cepat dan tepat. Akhirnya, cukuplah kasus kekerasan di STIP dan IPDN menjadi kejadian terakhir dalam pendidikan kedinasan. Kita tidak mau lagi generasi harapan bangsa satu-persatu mati dengan cara mengenaskan. Semoga.***

Penulis, penulis Buku Malpraktik Pendidikan (2008), mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Opini Pikiran Rakyat 18 Februari 2010