Politik memang tidak mengenal kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik individu atau kelompok.
Sekokoh apa pun koalisi yang dibangun, diperkuat dengan penandatanganan kontrak politik antarelite politik, bila hanya didasari kepentingan strategis mereka yang berkoalisi tanpa didukung oleh ideologi dan program kabinet yang solid, akan hancur saat kepentingan politik yang mereka perjuangkan mulai tampak berbeda.Fenomena politik ini amat kasatmata terjadi pada koalisi partai-partai politik pendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Hanya karena perbedaan kepentingan politik terkait dengan posisi masing-masing partai anggota koalisi pada Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Hak Angket Bank Century, koalisi partai yang dibangun Yudhoyono bersama Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kini mulai retak dan menjurus pada pecah kongsi.
Secara garis besar, koalisi partai pendukung pemerintah itu kini terbagi ke dalam dua kubu besar. Kubu pertama yang setia mendukung pemerintah, yaitu PD dan PKB, dalam pemandangan awal fraksi di dalam Pansus itu berpendirian bahwa pemberian dana talangan (bail out) terhadap Bank Century dilakukan demi mencegah krisis perbankan dan ekonomi nasional sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tidak ditemukan unsur melawan hukum.
Sebaliknya, kubu kedua yang kritis terhadap pemerintah dan ingin ”mengingatkan sahabat dan kawan sekoalisi”, yaitu Golkar, PKS, PAN, dan PPP, menduga kuat ada penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum dalam proses bail out.
Pansus sendiri kini sudah beranjak dari soal merger dan bail out Bank Century ke soal ke mana saja dana bank tersebut mengalir. Fenomena yang menarik ialah adanya dana yang mengalir ke rekening-rekening fiktif atau asli tetapi palsu di mana uang tersebut ternyata bukan milik dari nama-nama pemilik rekening. Selain itu, mengapa pula mereka yang sah memiliki rekening tabungan biasa atau deposito perbankan di Bank Century justru belum mendapatkan pengembalian dana dari bank tersebut.
Di sini para anggota Pansus harus jeli, apakah ini soal pelanggaran perbankan biasa atau ada unsur politik terkait aliran dana untuk kampanye partai politik atau pasangan calon presiden/wakil presiden tertentu pada pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden pada 2009.
Jika ternyata dugaan pelanggaran itu terbukti, kita masih menunggu bagaimana pendapat akhir DPR yang merupakan rangkuman dari pandangan masing-masing anggota Pansus. Pada pemandangan awalnya, posisinya ialah dua partai (PD dan PKB) menilai tidak ada pelanggaran, sedangkan tujuh partai (Golkar, PKS, PAN, PPP ditambah tiga partai non-koalisi, yaitu PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Gerindra) menilai ada pelanggaran dan dugaan perbuatan melanggar hukum. Kita lihat saja pandangan akhir masing-masing fraksi pada 17 Februari 2010.
Posisi fraksi dapat saja berubah pada 4 Maret 2010 saat masa kerja Pansus berakhir dan hasilnya dilaporkan pada sidang paripurna DPR. Bisa saja posisi menjadi 1:8 jika PKB membelot ke mayoritas, 3:6 jika PAN bergabung dengan PD dan PKB, 4:5 jika PAN dan PPP bergeser mendukung PD dan PKB, atau lebih tragis lagi 0:9 jika semua fraksi di dalam Pansus menilai ada pelanggaran dalam soal merger, bail out dan penyaluran dana Bank Century. Kemungkinan yang terakhir tersebut mungkin walau sulit untuk terjadi.
Selain itu, Ketua Pansus Bank Century Idrus Marham menuturkan, jika ditemukan dugaan tindak pidana korupsi, Pansus akan merekomendasikan membawa kasus skandal Bank Century ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika ternyata antara proses politik melalui Pansus dan proses hukum melalui KPK memiliki kesimpulan yang sama, yaitu terdapat dugaan pelanggaran hukum, ini berarti sudah memenuhi syarat ”pelanggaran hukum” dan atau ”perbuatan tercela” yang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 7A dan 7B dapat diproses menuju pemakzulan, baik terhadap wakil presiden atau presiden dan wakil presiden.
Untuk menyelesaikan problem internal koalisi, baik Presiden Yudhoyono maupun PD lebih menonjolkan pendekatan power dan ancaman terhadap kawan dan lawan politiknya ketimbang pendekatan merangkul atau lebih akomodatif. Ancaman soal penegakan hukum terhadap mereka yang mengemplang pajak, menerima suap saat proses tes kepatutan dan kelayakan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, menerima gratifikasi saat anggota DPR melakukan kunjungan ke luar negeri, atau korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi yang dilakukan Departemen Sosial merupakan penekanan agar politisi Golkar, PDI-P, dan PPP lebih luwes di dalam Pansus.
Menjawab ancaman itu, baik politisi dari Golkar maupun PPP yang merupakan anggota koalisi tidak takut, mereka malah balik mengancam Yudhoyono dan PD dengan mengatakan akan atau siap keluar dari koalisi. Di sini berlaku peribahasa, jika terjepit, semut yang terinjak pun akan menggigit.
Penyelesaian konflik di dalam internal koalisi seharusnya dilakukan Yudhoyono melalui cara berdialog langsung dengan para elite partai pendukung koalisi. Melalui proses ini akan terjadi kesepahaman dan penyelesaian politik yang saling menguntungkan, apakah bentuknya symmetric win-win solution ataupun asymmetric win-win solution. Pendekatan zero sum game menuju pada win-lose atau lose-lose solutions tentunya tidak menguntungkan koalisi.
Bagi rakyat keseluruhan, jika koalisi ini pecah kongsi, ini akan menimbulkan iklim yang baik di dalam sistem politik Indonesia, di mana akan ada kesejajaran kekuatan antara eksekutif dan legislatif sehingga proses checks and balances dapat berjalan normal. Namun, bagi Presiden Yudhoyono, ia akan sulit mengelola pemerintahan di dalam situasi anggota DPR dari partainya yang belum memiliki kecanggihan di dalam berpolitik.
Opini Kompas 18 Februari 2010