17 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Bahasa Lampung Kini

Bahasa Lampung Kini

Agus Sri Danardana
Mantan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
KEPUNAHAN bahasa akhir-akhir ini semakin mencemaskan banyak pihak. Bahasa yang punah itu umumnya adalah bahasa ibu kaum minoritas. Oleh sebab itu, sejak tahun 1991 UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Sedunia yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Peringatan itu dimaksudkan untuk senantiasa menyadarkan kita akan pentingnya mempertahankan bahasa ibu dan mengupayakan terhindarnya kepunahan yang, jika tidak dicegah, cenderung kian laju prosesnya.


Tulisan Andrew Dalby, Language in Danger (2003) menyebutkan bahwa setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa. Separuh dari 5.000 bahasa di dunia saat ini akan lenyap dalam satu abad ke depan. Dia mengingatkan bahwa kepunahan bahasa berarti hilangnya khazanah ungkapan yang mencerminkan cara pandang penuturnya terhadap dunia. Beralihnya penggunaan bahasa minoritas ke beberapa bahasa dominan dapat mengubah penafsiran terhadap dunia.
Keprihatinan itu sudah menjadi perhatian dunia. Oleh sebab itu, tidak terbatas pada para linguis dan pemerhati bahasa saja, para pejabat pemerintahan pun ikut-ikutan gelisah karena isu itu dapat menjadi isu sosial dan politik. Tidak terkecuali pejabat di Indonesia. Dalam sambutan pembukaan Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat (yang dibacakan oleh Husodo Hadi) di Bandar Lampung, 12 November 2007, Gubernur Lampung pun menyuarakan keprihatinan itu.
Hingga kini belum diketahui secara pasti jumlah penutur bahasa Lampung. Jika didasarkan pada jumlah ulun Lampung: 17% dari 7 jutaan penduduk Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung diperkirakan berjumlah sekitar 1,190 juta. Hal itu, menurut Multamia Lauder, menunjukkan bahasa Lampung masih berada di zona aman dari ancaman kematian dan kepunahan karena masih digunakan oleh lebih dari sejuta orang.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa akhir-akhir ini ditengarai jumlah ulun Lampung yang tidak lagi menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di lingkungan keluarganya terus bertambah. Mereka banyak yang "mengalihkan" bahasa ibu anak-anaknya, dari bahasa Lampung ke bahasa Indonesia. Jika hal ini terus terjadi sudah dapat dipastikan bahasa Lampung akan semakin mendekati kepunahan.
Keadaan dan masalah yang dihadapi bahasa Lampung dewasa ini sudah banyak diungkapkan dalam berbagai diskusi, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, di forum akademik maupun nonakademik. Di satu sisi, dari waktu ke waktu muncul keprihatinan (baik dari pakar, pemerhati, maupun pecinta bahasa Lampung) akan menyusutnya jumlah penutur, menyusutnya pemakaian bahasa, dan menyurutnya minat mempelajari bahasa Lampung. Di sisi lain, muncul pula keinginan untuk menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa daerah yang eksis di daerahnya sendiri.
Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan identifikasi akar masalahnya. Salah satu penyebab "terpinggirkannya" bahasa Lampung dalam "pergaulan keseharian" masyarakat Lampung, terutama generasi mudanya, adalah kekurangmampuan bahasa Lampung untuk memenuhi kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kondisi seperti itu, ada kecenderungan penutur "lari" ke bahasa lain, biasanya bahasa kedua, sebagai wahana penyampai gagasan yang memungkinkan komunikasi berjalan lebih lancar.
Jika bahasa kedua yang dipilih adalah bahasa yang lebih dominan-- misalnya, jumlah penuturnya lebih besar atau fungsi pemakaiannya lebih luas--pergeseran itu dapat berlangsung sangat intens. Dalam banyak kasus kematian bahasa, dominasi bahasa besar menjadi faktor penting.
Gagasan untuk mengatasi masalah yang dipaparkan di atas pun sudah banyak diusulkan. Salah satu usulan pemecahan yang pernah diajukan adalah penggarapan di jalur pendidikan, yakni pengembangan kurikulum, bahan ajar, tenaga pendidikan, dan sarana pendidikan, pemanfaatan program pendidikan perguruan tinggi, dan penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di sekolah. Semua itu dapat digolongkan ke dalam upaya pembinaan bahasa Lampung karena bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pemakai bahasa Lampung. Sayang, gagasan-gagasan itu belum semua diimplementasikan. Bahkan, beberapa gagasan yang sudah diimplementasikan pun tidak berjalan lagi.
Seiring dengan itu, juga perlu dilakukan upaya pengembangan bahasa Lampung yang bertujuan meningkatkan kemampuan bahasa itu sebagai alat ekspresi yang sesuai dengan fungsinya. Untuk itu, perlu dilakukan pembakuan (ejaan) serta penyusunan (kamus dan buku tata bahasa) Lampung.
Ejaan, baik dengan aksara Lampung maupun dengan aksara Latin, perlu dikembangkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Masalah penyerapan kata ke dalam bahasa Lampung akan banyak menimbulkan masalah dalam hal lafal dan tulisannya. Aksara Lampung memang cukup untuk melambangkan bunyi-bunyi asli bahasa Lampung. Namun, untuk bunyi-bunyi pada bahasa lain yang (akan) menjadi sumber penyerapan ke dalam bahasa Lampung, penggunaan huruf Latin menawarkan lebih banyak lambang. Bahasa Lampung tidak dapat menghindari penyerapan kata dari bahasa lain, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Dalam hal itu, umumnya kata diserap melalui bahasa Indonesia.
Perlu ada sikap apakah kata-kata seperti profesor, universitas, dan ijazah akan diserap ke dalam bahasa Lampung. Jika tidak akan diserap, penulisannya mestinya diperlainkan, misalnya dengan dimiringkan. Kalau diterima, perlu disepakati apakah lafalnya akan disesuaikan dengan tata bunyi bahasa Lampung. Jika disesusaikan, tidak perlu ada perubahan lambang dengan aksara Lampung. Namun, jika lafalnya mengubah tata bunyi yang ada, akan diperlukan modifikasi aksara Lampung.
Saran untuk menyusun buku tata bahasa dan kamus dapat dikatakan sudah terwujud. Beberapa buku, hasil penelitian bahasa Lampung (baik oleh Unila maupun Kantor Bahasa), sudah terbit. Pertanyaannya, sejauh mana buku-buku itu telah berhasil memerikan kaidah yang berlaku pada bahasa Lampung saat ini dan seberapa jauh dapat dijadikan referensi untuk pengajaran bahasa di sekolah. Perlukah buku-buku lain yang lebih menjabarkannya dan bersifat praktis sehingga mungkin patut dipertimbangkan sebagai buku tata bahasa sekolah.
Kamus-kamus juga sudah banyak yang diterbitkan. Namun, agaknya dilema pada kamus ini adalah bahwa yang praktis biasanya jauh dari memadai, sedangkan yang lengkap sering tidak terjangkau harganya. Usaha pembakuan ataupun kodifikasi bahasa Lampung tampaknya masih belum memuaskan.
Selain penyusunan kamus dan tata bahasa, pengembangan bahasa juga bersangkutan dengan pengayaan kosakata. Oleh sebab itu, kosa kata bahasa Lampung harus dikembangkan agar dapat berfungsi tidak hanya sebagai bahasa sosial budaya masyarakat, tetapi juga sebagai syarat terbukanya ruang pemakaian bahasa Lampung yang lebih luas.

Opini Lampung Post 18 Februari 2010