Oleh Suharizal
Dalam waktu dekat, Kementerian Dalam Negeri segera menyerahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) menyangkut pemerintahan daerah ke DPR untuk dibahasn bersama. Salah satunya RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah (Pemilukada). Isu krusial yang banyak mendapat soroton publik menyangkut pemilihan gubernur yang tidak lagi dipilih secara langsung, tetapi kembali dipilih DPRD.
Biaya pemilihan gubernur yang sangat mahal menjadi salah satu pertimbangan. Provinsi Sumatra Utara dan Jawa Timur misalnya, menghabiskan anggaran hampir Rp 1 triliun. Padahal APBD mereka masing-masing Rp 2,7 triliun dan Rp 5,9 triliun. Di luar biaya resmi tersebut, diyakini para kandidat menghamburkan dana ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Sementara gaji yang diterima gubernur setiap bulan hanya Rp 8,7 juta. Posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan kewenangan gubernur yang terbatas dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki bupati atau wali kota, menjadi alasan pembenar bagi Kementerian Dalam Negeri untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD.
Alasan keliru
Pemilukada langsung tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi, tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Melalui pemilukada langsung, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya pemimpin yang terpilih mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam meningkatkan pertumbuhan demokrasi dan jalannya pemerintahan di daerah.
Pada titik inilah pemilukada langsung menjadi pilihan strategis dibandingkan dengan pemilukada tak langsung melalui DPRD. Apalagi bila kita telaah lebih jauh salah satu raison d’etre pemilukada langsung adalah tercipta tata cara dan mekanisme yang sama antara pemilihan presiden dan wakil presiden dan tata cara dan mekanisme pemilukada langsung.
Dalih pemilihan gubernur langsung amat mahal tidak cukup kuat untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD. Mahalnya pemilukada sesungguhnya karena dianggap sebagai pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus. Mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang berulang, sampai kampanye jorjoran. Pemilukada adalah ”projek besar” yang harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma projek pemilukada.
Penggabungan pemilukada adalah solusi yang bisa dikembangkan untuk mengatasi problem anggaran. Penggabungan bisa satu provinsi atau bahkan penggabungan secara nasional. Pemilukada yang berlangsung serentak lebih efisien dari segi waktu, biaya, dan dampak sosial politiknya. Ke depan, hanya ada tiga hari pemilu, yaitu pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilukada.
Menyangkut posisi gubernur memang amat dilematis. Di satu sisi, gubenur melaksanakan urusan desentralisasi yang menjadi domain fungsinya sebagai daerah otonom dan fungsi pelayanan di provinsi (concurrent system), pada sisi lain bertanggung jawab atas urusan dekonsentrasi dalam kedudukannya selaku wilayah administratif yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Gubernur yang tetap menjalankan fungsi pelayanan (walaupun terbatas), tetap membutuhkan legitimasi yang kuat. Pemilukada langsung adalah pilihan yang tidak bisa ditawar guna memperoleh legitimasi tersebut. Bila tetap memaksakan pemilihan gubernur tidak secara langsung, menghapus pemerintahan di tingkat provinsi (termasuk DPRD provinsi) adalah pilihan yang harus ditempuh.
Jika gubernur dipilih DPRD tanpa melakukan perubahan mendasar atas arsitektur pembagian kewenangan pusat-daerah, status provinsi, dan kedudukan gubernur, baik dalam hierarki pemerintahan ataupun dalam konteks otonomi daerah, akan memunculkan persoalan lain yang amat serius.
Pertama, dapat dipastikan bupati dan wali kota semakin sulit ”dikontrol” gubernur. Konflik kepentingan provinsi dengan kabupaten/kota semakin terbuka lebar dan sulit dihindari karena dualisme penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Kepala daerah membutuhkan legitimasi tersendiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat.
Kedua, tidak ada jaminan politik uang dan politik dagang sapi di DPRD akan dapat dibendung atau diminimalisasi. Tentu saja anggaran pemilukada, khususnya yang akan dikeluarkan calon akan menjadi pemicu sikap koruptif gubernur terpilih. Sulit berharap paradigma kepemimpinan daerah berubah menjadi semakin demokratis, peka terhadap persoalan rakyat, partisipatif dalam pengambilan kebijakan, transparan dalam anggaran, dan akuntabel dalam tugas dan kewajiban.
Ketiga, dualisme sistem pemilukada, merancukan sistem politik di tingkat daerah. Partai politik sebagai elemen terpenting semakin terpinggirkan.
Di luar itu, sistem demokrasi perwakilan lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen politik di tangan segelintir orang di DPRD (oligarki). Sistem ini jelas akan menutup ruang partisipasi bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Ini jelas suatu kemunduran besar dan penzaliman atas cita-cita reformasi.***
Penulis, kandidat Doktor Hukum Tata Negara Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 18 Februari 2010