Oleh Deddy Mulyadi
Ketika mengikuti dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI pada 2 Februari 2010, salah satu wacana bahasan adalah terkait dengan revisi UU No. 32 Tahun 2004 pada poin pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), khususnya pemilihan gubernur. Meskipun belum ada keputusan final, tetapi ada kecenderungan pemilihan gubernur akan dilakukan oleh perwakilan DPRD saja.
Hal tersebut merangsang pertanyaan besar bagi penulis, apakah pemilihan gubernur oleh DPRD itu kemudian membawa pemerintahan daerah provinsi menjadi lebih efektif dan kuat di mata masyarakat? Ataukah, pemilihan gubernur melalui perwakilan DPRD itu menjadi salah satu langkah memberangus kedaulatan rakyat (demokratisasi) yang diberikan kepada rakyat beberapa tahun belakangan ini?
Fakta menunjukkan, dalam praktik pemilihan gubernur langsung, banyak terjadi hubungan dan koordinasi kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang kurang mulus, sehingga efektivitas kerja relatif terganggu. Banyak gubernur ”membandel” terhadap pemerintah pusat karena merasa posisinya kuat setelah dipilih langsung rakyat. Ini tentunya memiliki efek negatif terkait dengan NKRI dan keberlanjutan program-program pembangunan nasional.
Selain itu, pemilihan gubernur secara langsung, tidak dimungkiri, menghabiskan biaya besar atau terjadi inefisiensi anggaran daerah. Contoh, pemilukada DKI Jakarta menghabiskan Rp 148 miliar, pemilukada Jabar Rp 160 miliar, dan lain-lain. Jika ditotal, dana yang besar itu bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan masyarakat di daerah.
Jadi wacana yang ditawarkan agar pemilihan gubernur dilakukan melalui perwakilan DPRD bisa dibenarkan. Apalagi gagasan tersebut secara normatif tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena dalam UUD 1945, hanya presiden dan wakil presiden yang secara tegas disebut dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan calon (Pasal 6A). Sementara untuk pemilihan gubernur, dipilih secara demokratis (Pasal 18, ayat 4). Yang mengatur gubernur dipilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil adalah UU 32/2004, Pasal 56 (1). Itu berarti, UU 32/2004, sejauh ini, tidak sinkron dengan UUD 1945. Jika pemilihan gubernur tetap secara langsung seperti sekarang, seharusnya lebih dahulu dilakukan amademen terhadap UUD 1945. Akan tetapi, kalau itu yang dilakukan, maka bangsa ini salah dalam kehidupan ketatanegaraan karena konstitusi disesuaikan dengan perundang-undangan di bawahnya, bukan sebaliknya.
Jika pemilihan gubernur melalui perwakilan DPRD menjadi opsi, akan terjadi kemunduran dalam demokratisasi di daerah. Terutama terkait dengan, pertama, legitimasi dari rakyat karena pemilihan gubernur secara langsung adalah prasyarat penting bagi peletakan sistem pemerintahan yang demokratis yang merupakan roh gerakan reformasi 1998. Jika diubah lagi, rakyat bisa marah dan berlaku anarkis karena merasa kedaulatan yang diberikan kepadanya ”diambil kembali” oleh perwakilan di DPRD. Berdasarkan pengalaman masa Orde Baru, pemilihan gubernur yang bersifat elitis oleh perwakilan di DPRD kerap kali menelikung aspirasi masyarakat di akar rumput.
Kedua, pemilihan gubernur melalui DPRD akan mengurangi pertanggungjawaban kepada rakyat. Hal ini karena mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD berkecenderungan menciptakan ketergantungan yang berlebihan gubernur kepada DPRD (legislative heavy). Dengan demikian, gubernur lebih meletakkan akuntabilitasnya pada anggota dewan ketimbang pada rakyat. Impak negatifnya adalah timbul politik uang atau ”perkoncoan elitis” antara gubernur dan anggota dewan. Laporan pertanggungjawaban dapat menjadi ”komoditas bisnis” yang ”diperjualbelikan” kedua belah pihak. Pemilihan gubernur langsung, setidaknya, meminimalisasi atau bahkan meniadakan fenomena tersebut. Sebab, akuntabilitas merupakan obligasi moral yang berharga sebagai wujud penciptaan legitimasi politik di mata rakyat (konstituennya).
Ketiga, pemilihan gubernur melalui DPRD akan menurunkan kualitas kesadaran politik masyarakat (partisipasi masyarakat) yang mulai tumbuh. Padahal, partisipasi masyarakat yang tinggi akan menjadi modal politik dalam keberlangsungan proses pembangunan dan pelayanan yang prima bagi masyarakat daerah. Oleh karena itu, pemilihan gubernur langsung dengan kualitas partisipasi yang baik merupakan pilihan yang berguna.
Cita-cita melakukan pembaruan sistem pemilihan gubernur yang ideal memang diharapkan. Namun, ada hal-hal yang perlu dimaknai dengan penuh kehati-hatian oleh pemerintah pusat, kementerian dalam negeri, dan para konseptor dalam melakukan revisi terhadap UU 32/2004.
Perlu digarisbawahi, demokrasi di daerah bukan sekadar mekanisme atau prosedur pemilihan gubernur secara langsung atau melalui perwakilan DPRD. Yang perlu ditekankan adalah substansinya, yaitu isi, tujuan, tingkah laku, bentuk komunikasi, dan interaksi. Selain itu, ada juga tata nilai yang terkandung di dalam praktik sistem pemilihan gubernur, yaitu etika dan moralitas elite politik dan masyarakat politik yang berkeadaban demokratik, seperti kesantunan berpolitik, toleransi, komitmen, kejujuran, dan keterbukaan. Meskipun diakui, sistem dan prosedur pemilihan gubernur yang baik merupakan hal yang penting --yaitu sebagai instrumen untuk mencegah pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional--- tetapi sistem dan prosedur baru dipercaya berjalan tanpa distorsi oleh perilaku elite politik dalam hal money politics dan/atau oleh ketidaksantunan atau ketidakberadaban masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pesan kami untuk konseptor ataupun pembaru kebijakan tentang pemilihan gubernur, bersikaplah yang arif dan benar untuk kebaikan bangsa dan negara tercinta. Selamat berjuang!***
Penulis, Ketua STIA LAN Bandung /Guru Besar Administrasi Negara.
Opini Pikiran Rakyat 18 Februari 2010