20 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » UMK dan Apresiasi untuk Kepala Daerah

UMK dan Apresiasi untuk Kepala Daerah

Oleh Muhammad Sidarta

Pekerja atau buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Upah diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkannya, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh dengan menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.


Penetapan upah minimum kota/kabupaten (UMK) 2010 masih banyak yang belum mencapai 100 persen KHL. Hal ini memicu ketidakpuasan buruh dan mengganggap kebijakan pemerintah tidak mampu melindungi upah buruh. Indikatornya mudah dilihat, masih seringnya terjadi gejolak buruh setiap menjelang penetapan UMK di berbagai daerah.

Begitu juga bagi pengusaha, melalui wakilnya yang duduk di Dewan Pengupahan, mereka keberatan menaikan UMK 100 persen KHL dengan berbagai alasannya. Bagi pengusaha yang merasa tidak mampu, mereka menggunakan celah yang dilegalkan UU Ketenagakerjaan, yang memperbolehkan menangguhkan pembayaran UMK. Bahkan, ada perusahaan yang tidak membayar UMK sesuai dengan penetapan gubenur sejak lahirnya UU Ketenagakerjaan 13/2003 sampai sekarang. Patut dipertanyakan, apa benar perusahaan tersebut tidak mampu, atau sengaja menghindari membayar UMK yang telah ditetapkan pemerintah?

Terlepas dari fenomena yang ada, UMK Jawa Barat 2010 telah ditetapkan dengan Keputusan Gubenur Jawa Barat Nomor  561/Kep.1665-Bangsos/2009 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010, tertanggal 20 November 2009, atas rekomendasi Dewan Pengupahan dan Bupati/Wali Kota, mulai berlaku 1 Januari 2010.

Persoalan yang mendasar adalah penegakan hukum yang sangat lemah. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan pengawasan dengan tegas dan benar, untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap UMK yang telah ditetapkan. Masalah yang sering dikeluhkan pemerintah, baik daerah maupun pusat, adalah kurangnya sumber daya manusia sebagai tenaga pengawas. Menurut hemat penulis, yang kurang adalah tenaga yang memenuhi standar kompetensi dan moral.

Harus disadari bersama bahwa masalah ketenagakerjaan/perburuhan sangat kompleks dilihat dari berbagai aspek. Untuk menanganinya diperlukan pemimpin yang berani, jujur, tegas, bijaksana, dan adil untuk melindungi dan menyejahterakan setiap warganya. Oleh karena itu, gubenur layak memberi apresiasi terhadap bupati/wali kota yang telah merealisasikan rekomendasi UMK 99 persen KHL atau lebih.

Apresiasi atau penghargaan diharapkan dalam bentuk bantuan APBD yang mencukupi. Hal ini dimaksudkan agar bupati/wali kota mampu meningkatkan standar kompetensi tenaga pengawas ketenagakerjaan dan membantu serikat pekerja/serikat buruh dalam meningkatkan kompetensi. Dengan demikian, hal tersebut diharapkan mampu memacu bupati/wali kota yang gagal merekomendasikan UMK 100 persen KHL, pada 2011 nanti mampu merekomendasikan UMK 100 persen KHL plus laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Gagasan

Melihat kondisi objektif ketenagakerjaan di Jawa Barat, penulis mencoba menyampaikan beberapa gagasan sebagai solusi ideal. Pertama, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota, sebelum kondisi ideal dapat dicapai, hendaknya membentuk dewan pengawas ketenagakerjaan/perburuhan yang melibatkan para pemangku kepentingan ketenagakerjaan/perburuhan, ditambah pakar dari akademisi yang dipandang kredibel dan kompeten, untuk melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan/perburuhan.  Dengan demikian, tidak lagi terjadi pelanggaran di wilayah Jawa Barat pada dunia ketenagakerjaan/perburuhan.

Kedua, saatnya pemerintah berani melakukan reformasi total birokrasi, regulasi untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi setiap warganya, serta menjamin tidak ada pungutan liar yang membebani pengusaha. Dengan demikian, para pengusaha mampu menyejahterakan pekerja/buruh beserta keluarganya. Diharapkan pemerintah juga memberikan apresiasi/penghargaan bagi perusahaan yang taat asas dan perundang-undangan, serta memberi sanksi yang tegas bagi yang melanggar.

Ketiga, aparat penegak hukum, termasuk yang sangat dikeluhkan oleh para pekerja/buruh yang berurusan dengan penegakan hukum. Aparat dipandang tidak profesional dan tidak adil. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus meningkatkan profesionalismenya untuk memberikan rasa keadilan bagi setiap warga masyarakat.

Terakhir, ke depan semua pemangku kepentingan ketenagakerjaan/perburuhan harus memiliki spirit yang sama untuk mewujudkan kepastian berusaha dan kepastian kerja. Ini dalam rangka meningkatkan produktivitas perusahaan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, bagi pekerja/buruh di Jawa Barat. Dengan demikian, dunia ketenagakerjaan/perburuhan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan sektor informal di wilayah Jawa Barat.***

Penulis, pengamat perburuhan dan masalah sosial, tinggal di Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 21 Januari 2010