20 Januari 2010

» Home » Kompas » Berakhirnya "Era TNI"

Berakhirnya "Era TNI"

Berakhirnya tahun 2009, berakhir pula aroma TNI dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Sekalipun masih ada nama-nama purnawirawan TNI, tetapi tidak terasa kaitannya dengan keperkasaan TNI. Presiden SBY telah menuntaskan reformasi TNI, dan TNI tidak lagi berada di depan.
Mewakili aspirasi rakyat tentang kondisi ini, benarkah TNI tak dibutuhkan lagi oleh masyarakat? Bagi yang merasa masih perlu, harus meninjau ulang kemampuan TNI.


Dua TNI
TNI wadag (tampil fisik) yang bersenjata berbeda dengan TNI nurani (sarat nilai). Era 1945- 1965, TNI unjuk prestasi dengan nilai dan karya. Mereka dihormati rakyat, dibutuhkan pemuka masyarakat kendati dibenci politisi. Sementara pada era 1968- 1998, TNI unjuk kekuasaan ikut Soeharto. Mereka ditakuti rakyat, dibutuhkan cukong dan membikin iri hati para politisi. Di era Reformasi, peranannya menurun dan berakhir pada tahun 2009.
Kemenangan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945, mengantar Kolonel Sudirman (pimpinannya) menjadi Panglima Besar TNI. Anggota Laskar Muhamadiyah Purwokerto mampu menyatukan laskar lain ke dalam tubuh TNI untuk berkarya bagi bangsanya. Ia pernah tercemari saat berhubungan dengan insan politik (Tan Malaka) dan berhadapan dengan Soekarno, tetapi dari situ muncullah semboyan ”Politik TNI adalah politik Negara (Soekarno-Hatta)”.
Ketangguhan TNI sangat bermanfaat untuk meningkatkan percaya diri bangsa dalam menghadapi Belanda yang memakai kekuatan teknologi, dan didukung Sekutu. Bukan cuma itu, dikembangkannya kesisteman berdasarkan kemampuan senyatanya sebagai bangsa, disebut sishankamrata. Sistem tersebut dikawal seperangkat santi-aji made in Indonesia, seperti Dharma Pusaka dan Pinaka Baladika, antara lain berisi Sapta-Marga, 11 Kepemimpinan, dan banyak lagi (bandingkan dengan sekarang, yang semua serbabuatan asing). Di sisi teknik lahir ”ilmu gerilya” beserta antinya, yang kemudian digunakan oleh Vietnam untuk mengusir Amerika Serikat.
Karya itu membuat TNI dicintai rakyat, tetapi dianggap ”setan desa” oleh para politisi. Sampai pada saatnya, TNI (AD) menolak adanya Angkatan V yang membuat PKI marah besar, berujung pada pembunuhan tujuh pahlawan revolusi.
Sejak 1968, mereka menjadi ABRI. Dari sekadar stabilisator dan dinamisator di tengah rakyat menjadi penguasa di atas rakyat. Masuk gelanggang kekuasaan menjadi Muspika, Muspida, dan seterusnya. Titah Presiden, satu- satunya software yang harus dipatuhi. Hardware, digunakan- nya Babinsa sampai Kodam (aparat teritorial) yang telah terlembaga. Akibatnya, Sapta Marga tidak efektif ketika UUD 1945 (marga kesatu) diamandemen pun TNI tidak merasa dipecundangi.
Komandan koramil mendua pribadinya ketika harus menjabat Muspika. Dulu, dinamisator masyarakat, menjadi agen untuk perubahan sistem (konteks ruang, alat, dan kondisi juang), tetapi dijadikan agen intelijen untuk abadinya kekuasaan. Setelah 30 tahun, budaya memenangkan hati rakyat (teritorial) ternyata kalah oleh konsep ”agen kekuasaan yang memata-matai rakyat”.
Masihkah diperlukan?
Akibat menduanya kepribadian tersebut terlihat ketika pensiun. Predikat ”pejuang tak kenal menyerah” sulit direalisasikan, apalagi saat era-Reformasi berjalan dan Soeharto telah tiada. Ajakan kalangan pemuda kepada purnawirawan untuk mengatasi kezaliman kekuasaan parpol yang mengatasnamakan demokrasi, ditolaknya. Mereka sulit menunjukkan kecintaannya kepada rakyat.
Kini, di tengah hangatnya kemelut politik cicak-buaya sampai skandal Bank Century, mungkinkah TNI aktif come back? Perlu waktu panjang untuk itu. Ada tiga masalah. Satu, TNI tidak nyaman dengan pendekatan hukum yang sekarang harus diikuti. Dua, manajemen tidak match antara software dan hardware. Tiga, kecintaannya kepada rakyat diragukan.
Ketiga hal tersebut terlihat dalam satu kasus, penggusuran ”kompleks militer” yang terjadi di mana-mana. Purnawirawan tetap digusur kendati urusan berada di tangan pengadilan. Penggusuran itu jelas menunjukkan tidak disiplinnya ”manajemen perumahan” di kalangan TNI. Seolah tanpa perencanaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Bila terhadap purnawirawan saja sulit menghargainya (apalagi menghormati), rasionalkah rakyat mengharapkan untuk dicintai oleh TNI?
Tanpa dicintai rakyat, tentara itu mungkin ABRI yang tidak peduli pada rakyat dari mana ia berasal. Pak Dirman pernah berucap ”Saya lebih suka berjuang bersama rakyat di desa dan hutan” (1948). Peluang untuk dibutuhkan masih terbuka luas, misalnya lewat penanggulangan bencana dan menjauhi kekuasaan.
S Roch Basoeki M Ketua M-3, Masyarakat Musyawarah Mufakat
Opini Kompas 21 Januari 2010