Di antara figur sentral itu adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mantan Gubernur Bank Indonesia (saat ini Wakil Presiden) Boediono, mantan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Darmin Nasution, dan Marsillam Simanjuntak.
Selama pemanggilan tokoh sentral tersebut, suasana riuh rendah benar-benar menyelimuti Pansus. Selain karena posisi politik mereka, terdapat pertentangansejumlah keterangan yang dikemukakan. Bahkan ada keterangan yang menunjukkan pergeseran drastis. Ada kecurigaan, pergeseran keterangan sengaja dilakukan untuk menyulitkan Pansus dalam pena- rikan kesimpulan akhir.
Salah satu contoh pergeseran itu terkait peran Marsillam Simanjuntak dalam skandal pengucuran dana talangan kepada Bank Century. Keterangan Marsillam pada 13 Desember 2009 menyatakan, kehadirannya dalam rapat-rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) sesuai tugas yang diberikan Presiden kepada Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R). Marsillam secara tegas menyatakan, Presiden meminta dirinya bekerja sama dengan KSSK dalam kapasitas sebagai Kepala UKP3R. Penegasan Marsillam dibenarkan Sekretaris KSSK Raden Pardede (Republika, 19/1).
Namun, dalam perkembangannya, Istana membantah keterangan Marsillam dan Raden Pardede. Bantahan disampaikan Juru Bicara Presiden. Tegasnya, kehadiran Marsillam adalah dalam kapasitas penasihat Menteri Keuangan dan bukan perintah Presiden. ”Suara sumbang” Istana itu menyulut perdebatan luas di kalangan masyarakat. Apalagi, pascabantahan istana, sejumlah aktor yang dinilai berperan penting dalam skandal Century ”memperbaiki” keterangan mereka.
Berdasarkan perkembangan ini, beberapa anggota Pansus mengusulkan agar Presiden juga dihadirkan untuk memberikan keterangan. Dalam berbagai perspektif, usul menghadirkan Presiden jadi masuk akal. Paling tidak, usul ini sejalan dengan pernyataan Presiden untuk menyelesaikan kasus ini sampai ke akarnya. Apalagi, mantan Wapres Jusuf Kalla juga telah hadir memberikan kesaksian.
Sebetulnya, jika semua anggota Pansus mau dan mampu menempatkan secara benar posisi presiden dalam sistem presidensial, seharusnya sejak awal sudah disepakati dan diagendakan kehadiran Presiden. Dalam sistem presidensial, presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga pusat kekuasaan negara. Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif, tetapi juga merambah ke kekuasaan lain di luar eksekutif.
Dengan rentang kekuasaan yang begitu luas, jika dalam sistem parlementer obyek utama yang diperebutkan adalah parlemen, dalam sistem presidensial obyek utamanya adalah presiden (Hendarmin D, 2007). Bahkan, Douglas Verney (1992) menyatakan, meski dalam sistem presi- densial tak satu pun lembaga negara yang menjadi fokus kekuasaan, peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibandingkan
peran kelompok, organisasi, atau parpol yang ada dalam negara.
Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintah, presiden adalah pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tak hanya sekadar memilih anggota kabinet, tetapi juga punya peran sentral dalam pengambilan keputusan di kabinet. Terkait hal tersebut, Arend Lijphart (1999) menyatakan, keputusan-keputusan penting dalam sistem presidensial dapat saja dibuat oleh presiden dengan atau tanpa pertimbangan anggota kabinet.
Merujuk pendapat itu, dalam sistem presidensial menjadi tidak masuk akal jika anggota kabinet dapat mengambil keputusan sendiri di luar pengetahuan presiden. Apalagi kalau keputusan yang diambil sangat strategis serta punya implikasi politik dan memberikan dampak luas bagi masyarakat. Jika diletakkan dalam kerangka sistem pemerintahan, posisi presiden berbeda dengan perdana menteri dalam sistem parlementer yang tidak memungkinkan perdana menteri membuat semua keputusan penting tanpa melibatkan anggota kabinet.
Sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut, UUD 1945 menempatkan presiden sebagai figur sentral. Setidaknya, posisi sentral itu dapat dibaca dari ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Konsekuensi logis ketentuan Pasal 4 Ayat (1) tersebut, UUD 1945 menempatkan wakil presiden dan menteri-menteri negara hanya sebagai pembantu presiden.
Jika dikaitkan dengan skandal Century, sebagai figur sentral, bangunan logika yang menolak kehadiran Presiden SBY sangat lemah. Pernyataan Sri Mulyani pada minggu-minggu pertama terbentuknya Pansus sebangun dengan logika posisi presiden dalam sistem presidensial. Secara substantif, Sri Mulyani menegaskan, semua tindakan Menkeu dalam pengucuran dana talangan ke Century tetap berada dalam kerangka sistem presidensial.
Logika posisi presiden dalam sistem presidensial menjadi salah satu alasan urgen kehadiran Presiden SBY di Pansus Century. Selain alasan itu, kehadiran tersebut juga menjadi keniscayaan karena banyak keterangan yang hanya mungkin diluruskan dan dilihat secara utuh jika Presiden SBY hadir.
Kehadiran Presiden SBY tidak hanya memberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi atas sejumlah keterangan yang mungkin saja merugikan. Yang tak kalah pentingnya, kehadiran Presiden SBY memungkinkan Pansus mengambil kesimpulan secara lebih obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun, penarikan kesimpulan yang keliru berpotensi menghancurkan keinginan untuk menyelesaikan skandal Century sampai ke akar-akarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara;
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Opini Kompas 21 Januari 2010