20 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Aksi Forgusta Sebuah Pesan

Aksi Forgusta Sebuah Pesan

AKSI anggota Forum Guru Swasta (Forgusta) Kabupaten Tegal dilakukan secara maraton. Sebuah perjuangan serius.

Sejak 4 Januari 2010, diawali unjuk rasa besar-besaran di DPRD setempat. Dilanjutkan mendirikan tenda keprihatinan, mogok mengajar, dan mogok makan. Praktis selama dua minggu lebih.

Aksi dipicu rencana Pemerintah Kabupaten Tegal mengurangi tunjangan yang biasa mereka terima sebelumnya dengan alasan kondisi anggaran.


Selain itu, karena pemerintah pusat tengah menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang seleksi tenaga honorer untuk dapat diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS), yang dinilai mengandung unsur diskriminasi atas guru swasta di sekolah swasta.

Masalah guru swasta merupakan salah satu dari sederet persoalan pada sektor pendidikan. Persoalan lain adalah masalah ujian nasional (UN) dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mengundang kontroversi.

Kendati kurang mendapat perhatian lebih luas dibanding masalah UN dan UU BHP, menyangkut guru swasta adalah persoalan cukup pelik, kompleks yang tak kunjung terselesaikan hingga 64 tahun Indonesia merdeka.

Keberadaan guru swasta memilki benang merah secara historis dan ideologis. Secara historis, guru swasta Indonseia telah ada sejak prakemerdekaan.

Berdirinya sekolah-sekolah swasta pribumi seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Ma’arif NU dengan guru swasta yang bukan di bawah naungan pemerintah kolonial.

Secara ideologis, sekolah-sekolah tersebut membawa misi yang berbeda dari sekolah kolonial. Sekolah pribumi lebih cocok untuk anak pribumi.

Pola pendidikannya yang tak terpisahkan dengan nilai-nilai budaya nasional. Pendidikan yang dikembangkan para guru swasta pribumi itulah yang menjadi cikal-bakal pendidikan nasional.

Secara empiris, salah satu tokoh Taman Siswa, yaitu Ki Hajar Dewantara menjadi menteri pengajaran pertama pada masa awal kemerdekaan, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Dengan konsep pendidikan yang menekankan niali-nilai dan keteladanan dikenal melalui, ‘’Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tutwuri handayani.” Itu kemudian dijadikan semboyan Departemen Pendidikan Nasional hingga sekarang.
Konsekuensi Indonesia telah berubah menjadi negara-bangsa merdeka. Namun, dikotomi antara guru pemerintah (PNS) dan guru swasta tetap “dipertahankan.” Sudah barang tentu menimbulkan konsekuensi yang berpotensi menimbulkan ekses kurang baik bagi sistem pendidikan di Indonesia. Walaupun di negara lain pun terdapat guru pemerintah dan guru swasta.

Terjadinya dikotomi antara guru pemerintah dan guru partikelir pada masa penjajahan, karena adanya perbedaan ideologi, budaya, dan kepentingan, antara bangsa pribumi dan kaum kolonial. Logikanya, setelah Indonesia merdeka pembedaan itu tidak dibiarkan.

Meskipun tetap memperhatikan unsur hak asasi, misalnya menjamin keberadaan sekolah yang berlatar belakang keagamaan. Semua itu tetap berada dalam satu kerangka, yaitu asas Pancasila, dan satu kepentingan, yaitu kepentingan nasional. 

Apa yang dilakukan oleh para guru swasta bukan berarti nista dengan merengek-rengek minta diperhatikan elainkan lebih sebuah pesan penting atas kelemahan sistem dan kebijakan yang perlu ditinjau kembali.

Buat apa berkomitmen satu tujuan, satu kepentingan sebagai suatu bangsa, kalau di kalangan guru masih terjadi didikotomikan yang berimplikasi pada perbedaan kebutuhan dasar, kesejahteraan, dan berpengaruh secara psikis, dan sosial.

Guru bukan pekerja kasar, tapi bekerja memerlukan olah pikir dan olah hati. Tugasnya mencerdaskan dan membentuk kepribadian anak bangsa. Bagaimana akan bekerja maksimal, jika kebutuhan dasarnya masih terganggu.

Secara nyata, terjadi perbedaan mencolok antara guru PNS dan guru swasta. Tiga hal utama meliputi, kesejahteraan, perlindungan hukum dalam menjalankan tugas profesinya, peningkatan kompetensi guru.

Memang tidaklah bijaksana, apabila guru hanya menuntut hak tanpa memenuhi kewajiban. Persoalannya apakah semua guru sudah dilibatkan, melalui proses dalam sistem yang sama.

Tuntutan para guru swasta yang diekspresikan dalam aksi-aksi adalah dampak dari perlakuan yang berbeda dalam sistem dan kebijakan.

Sesuai konstitusi, maka guru menuntut kepada pemerintah. Sehingga apa yang dilakukan oleh Forgusta betul-betul sebuah pesan buat kita semua, dan pemerintah harus memikirkannya. (10)

— Sumarno, guru swasta asal Tegal, aktivis Koalisi Pendidikan tinggal di Tangerang.
Wacana Suara Merdeka 21 Januari 2010