Oleh MUHAMAD HUSEN
Arsitektur Kabinet Indonesia Bersatu jilid II masih tetap mempertahankan kementerian seperti kabinet sebelumnya. Termasuk portofolio Kementerian Kelautan dan Perikanan yang kini dinakhodai seorang entrepreneur terkemuka, mantan kepala daerah yang berhasil sekaligus memiliki jaringan politik luas dan kuat di tanah air. Di awal tugasnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mencanangkan visi menjadikan Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Hasrat tersebut tampaknya berangkat dari realitas sekarang perikanan tangkap Indonesia berada pada peringkat keempat dunia sedangkan budidaya di urutan ketiga.
Kesadaran untuk menjadikan kelautan dan perikanan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi sudah banyak disuarakan masyarakat setelah pertanian dianggap gagal mempertahankan predikat Indonesia sebagai negara swasembada beras. Produk perikanan diperoleh dari hasil tangkapan di laut dan perairan umum serta budidaya. Namun, eksistensi perikanan budidaya sepertinya sering disepelekan. Buktinya, setiap kali membicarakan potensi sumber daya ikan, yang terbayang dalam benak kebanyakan orang baik pejabat di pusat dan daerah, termasuk pengelola perbankan serta para pelaku usaha hanyalah perikanan tangkap. Padahal potensi perikanan budidaya memiliki kemampuan sama bahkan lebih.
Harus diakui, Indonesia masih kalah langkah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Cina tengah habis-habisan mengembangkan industri perikanan budidaya karena menyadari sektor ini adalah kunci memenangi persaingan dunia yang kian ganas.
Walaupun produksinya menempati urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India, posisi Indonesia sebenarnya hanya sepertiga belasnya Cina. Pada 2007 negara kita baru 3 juta ton sementara Cina 40 juta ton. Padahal kajian pakar, dari potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan 82 miliar dolar AS per tahun, perikanan budidaya bisa menghasilkan 61,9 miliar dolar AS (75,5 persen) melebihi nilai produksi akuakultur dunia 2002 (60 miliar dolar AS). Sedangkan perikanan tangkap (termasuk di perairan umum) hanya memberi peluang sekitar 16,2 miliar dolar AS.
Malah statistik perikanan mengungkap tren produksi perikanan tangkap nasional menurun dari 81,95 persen pada 1999 menjadi 52,03 persen pada 2009 terhadap produksi nasional. Sebaliknya, budidaya meningkat dari 18,05 persen pada 1999 menjadi 47,97 persen pada 2009. Demikian pula laju pertumbuhannya selama 2005-2009 hanya 2,95 persen per tahun, sementara pertumbuhan perikanan budidaya 21,93 persen. Oleh karena itu, manakala ada keinginan menjadi penghasil produk perikanan terbesar, tiada lain harus mengandalkan budidaya.
Pekerjaan rumah yang paling menantang bagi pemerintah ke depan adalah memberdayakan perikanan budidaya, bagaimana memacu bangkitnya budidaya ikan secara produktif, kompetitif, dan berkelanjutan, apalagi berbasis ekonomi kerakyatan.
Geliat keterampilan pembudidaya ikan lele di Parung-Bogor dan Indramayu (Jabar), Sleman dan Kulon Progo (Yogyakarta), Klaten, dan Sawit-Boyolali (Jateng), Pare-Kediri dan Gondang-Tulungagung (Jatim), ataupun di Pematang Bandar-Simalungun (Sumut) menjadi pertanda kemampuan menggolkan visi yang dicanangkan. Dengan petakan lahan seluas tidak lebih dari 100 meter persegi, dengan air terbatas, dalam tempo tiga bulan menghasilkan berton-ton lele siap dipasarkan. Tiap hektare lahan dapat memproduksi lele 800 ton per tahun. Dengan demikian, hanya butuh 56.000 hektare lahan (23,5 persen dari lahan budidaya ikan air tawar di tanah air) untuk budidaya lele, sudah bisa menggeser posisi Cina karena produksi diperkirakan mencapai 45 juta ton/tahun. Patut diteladani dan diberi acungan jempol, Gubernur Jateng (kala itu Mardiyanto), yang mengapresiasinya dengan memberikan julukan Kampung Lele bagi Dukuh Mangkubumen, Desa Tegalrejo, Kec. Sawit-Boyolali karena melihat rakyatnya sejahtera berkat lele.
Kini, masyarakat tengah berharap pada sosok menteri kali ini, dari kiprah serta pengalaman beliau selama memimpin Gorontalo dua priode sebagai Gubernur Jagung serta mendapat predikat provinsi dengan belanja publik terbaik dari Bank Dunia akan membawa angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya budidaya ikan di negeri ini.
Ada beberapa agenda makro yang mesti menjadi perhatian semua pihak dalam memberdayakan budidaya ikan. Pertama, perbaikan fungsi intermediasi perbankan dan lembaga keuangan nonbank, terutama bagi pembudidaya ikan skala kecil. Implementasinya dapat dilakukan dengan memberikan kredit melalui penurunan tingkat suku bunga komersial berikut persyaratan lunak. Kedua, diperlukan pengawasan dan pengendalian serius terhadap unit-unit penangkaran sehingga benih-benih ikan yang beredar terjamin kualitasnya, sekaligus segera menerapkan ”good aquaculture practices”. Ketiga, perbaikan dan pengembangan infrastruktur. Perbaikan infrastruktur harus difokuskan pada kawasan budidaya yang relatif tertinggal dan harus mengedepankan prinsip keberimbangan sehingga mampu mempersempit disparitas di antara kawasan. Keempat, semua pelaku agar memiliki pengertian dan persepsi sama tentang prinsip-prinsip budidaya ikan berkelanjutan. Selayaknya pemda diberi pemahaman agar pandangan terhadap perikanan tidak sebatas keyakinan individual tetapi yang lebih penting adalah keyakinan struktural. Kelima, menuntut adanya peningkatan kualitas SDM dan iptek. Pengalaman empiris membuktikan, kesejahteraan suatu bangsa amat ditentukan oleh penguasaan iptek bangsa bersangkutan.***
Penulis, pengurus Masyarakat Perikanan Nusantara, pengurus DPP HNSI.
Opini Pikiran Rakyat 21 Januari 2010