20 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Pemberantasan Mafia Hukum di Negara Kleptokrasi

Pemberantasan Mafia Hukum di Negara Kleptokrasi

Di tengah keprihatinan publik atas ketidakberdayaan para penegak hukum dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau abuse of power for privates gain, Presiden Yudhoyono menabuh genderang perang melawan mafia hukum. Pencanangan pemberantasan mafia hukum ini dijadikan sebagai prioritas teratas program 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Selama ini, mafia hukum merupakan batu sandungan yang paling utama dalam pemberantasan korupsi.


Demi menindaklanjuti program itu, Presiden Yudhoyono membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum lewat Keputusan Presiden No 37 Tahun 2009. Satgas yang dibentuk presiden dan baru dilantik itu memiliki tugas dan wewenang khusus untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar upaya pemberantasan mafia hukum berjalan lebih efektif. Satgas adalah tim presiden, yang berada di bawah presiden, serta bertanggung jawab langsung kepada presiden. Itu berbeda dengan KPK dan lembaga peradilan lainnya yang merupakan komisi negara independen dan lembaga yudikatif yang juga bersifat independen.

Mafia hukum di negara kleptokrasi

Kini, meski baru mulai menjalankan tugasnya pascapelantikan belum lama ini, satgas sudah mulai menunjukkan sebuah prestasi yang cukup menarik lewat aksi penggeledahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu dengan menemukan 'kamar hotel berbintang' di dalamnya dan dihuni 'si Ratu Suap' Arthalyta Suryani dan 'Ratu Narkoba' Limarita. Namun, apakah ke depan satgas akan berhasil dengan terus mengukir prestasi, mengingat mafia hukum itu sendiri, sebagaimana halnya korupsi, dalam praktiknya sudah begitu mengakar? Itulah pertanyaan yang beriringan dengan munculnya kecurigaan, jangan-jangan program ini hanyalah suatu taktik politik pencitraan yang mengesankan Presiden benar-benar serius memenuhi janji politiknya, yakni melakukan pemberantasan korupsi secara keras.

Lagi pula, mafia hukum itu sendiri merupakan tindakan dari para pihak yang merugikan negara dan pihak lain, seperti makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi dan pihak-pihak lain, seperti pungutan yang tidak semestinya. Dan para mafioso hukum itu ada di kepolisian, pengadilan, departemen-departemen, pajak, dan bea cukai. Dan semua itu sudah berjalan dalam jaringan yang sangat kuat dengan bungkusan yang menyerupai sindikat mafia yang sangat rapi dan memiliki sistem kerahasiaan tersendiri.

Ironisnya, jika ada pihak lain, yaitu para penegak hukum dan pejuang hukum idealis, yang berusaha secara proaktif membuka tabir mafia hukum, mereka bukan saja dianggap sebagai pengganggu yang perlu diwaspadai, melainkan sebagai penyakit yang harus segera disingkirkan. Dengan demikian, aksi jahat mereka dalam menggerogoti uang negara dan merugikan pihak lain dengan mempermainkan hukum tetap berjalan dengan lancar dan aman.

Celakanya, fenomena konspiratif yang terjadi alam jaringan mafia hukum itu kerap juga terjadi di jajaran eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Itu tersebar mulai tingkat pusat hingga daerah. Bahkan, jejaring mafia hukum ini begitu mengakar di seluruh lapisan birokrasi, seperti dalam jajaran eksekutif yang memiliki kuasa dalam mengelola berbagai proyek strategis dan pengadaan barang yang biasa di-mark up dengan anggaran yang selalu ditilap di sana sini. Semua itu tidak lebih juga sebagaimana terjadi dalam jejaring korupsi yang mewabah dan mengakar dengan melibatkan para pihak, mulai pejabat tinggi negara, aparatus birokrasi, anggota parlemen, hingga politikus.

Baik mafia hukum maupun jejaring korupsi, semuanya menyatu dan menyenyawa secara sempurna dalam negara yang disebut negara kleptokrasi. Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy) yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan dan korupsi yang mewabah (a government characterized by rampant greed and corruption) Amich Alhumami (2005).

Istilah kleptokrasi seperti diuraikan ini menjadi sangat populer setelah digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang merujuk pada a ruler or to official whose primary goal is personal environment and who possesses the power to gain private fortunes while holding public office.

Artinya, kleptokrasi dalam sebuah negara tidak lebih sebagai suatu pemerintahan yang diwarnai atau yang sarat dengan aneka praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dan penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal sehingga sistem pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para kleptomaniak, pengidap penyakit kleptomania.

Dalam psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan berulang-ulang, meskipun sebenarnya ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya. Jadi, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak serakah. Dan, sungguh mengerikan jika di negeri ini, khususnya di kalangan pejabat negara, politikus, para penegak hukum, para aparatus birokrasi, dan orang-orang yang berstatus sosial sebagai pemimpin masyarakat mengidap penyakit kleptomania. Kepada mereka sulit diharapkan dapat menjadikan jabatan publik untuk secara intensif mengabdi kepada masyarakat. Mereka tentu hanya berusaha memperkuat atau memperlebar kekuasaan dan memperbanyak modal untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompok.

Mulai dari keluarga presiden

Karena itu, supaya Presiden Yudhoyono bebas dari tudingan bahwa penabuhan genderang perang melawan mafia hukum itu hanyalah taktik politik pencitraan, keseriusan, ketegasan, dan kerja keras Presiden dan para anggota satgas sangat dibutuhkan. Apalagi, apresiasi publik terhadap pemberantasan korupsi masih tetap tinggi. Dalam hal ini, Presiden diharapkan memimpin sendiri peperangan melawan mafia hukum dan mengendalikan langsung kerja Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Sebagaimana filsuf Hobbes dalam bukunya Leviathan XVIII menegaskan perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong. Karena itu, harus ada kekuasaan untuk memaksakan hukum. Jika tidak, jangan bermimpi soal fungsionalisasi hukum dan tegaknya keadilan.

Ketegasan Presiden dalam memimpin pemberantasan mafia hukum yang setali tiga uang dengan pemberantasan korupsi ini, pertama-tama harus ditujukan kepada para pejabat, khususnya terhadap anggota kabinet dan para pemimpin departemen yang dibawahkannya langsung, bahkan kepada anggota keluarga, orang-orang dekat, dan dirinya sendiri. Sulit diharapkan keberhasilan dalam aksi pemberantasan mafia hukum dan atau membasmi korupsi jika keluarga dan lingkungan terdekat presiden tidak tersentuh secara keras oleh pedang hukum dan samurai keadilan. Komunitas terdekat presiden merupakan figur-figur sentral, yang menempati posisi atas-strategis yang menjadi contoh dan cermin moral bagi masyarakat seluruhnya.

Patut diingat ungkapan yang sangat populer di Afrika, ikan membusuk selalu mulai dari kepala lalu menular ke buntut, tidak pernah sebaliknya. Bobroknya moral bangsa selalu dimulai dari tataran elite negeri, tidak pernah dimulai dari rakyat. Kelompok elite negeri adalah cermin yang dapat memantulkan cahaya kepada seluruh rakyat, tidak pernah sebaliknya.

Oleh Thomas Koten Direktur Social Development Center
Opini Media Indonesia 20 Januari 2010