Oleh Nana Jiwayana
Terungkapnya kasus mutilasi beberapa anak jalanan di Jakarta beberapa waktu lalu yang dilakukan tersangka ”Babe” semakin memperjelas anak jalanan sangat rentan menjadi korban pelecehan seksual, kekerasan, eksploitasi, bahkan pembunuhan. Kehidupan jalanan yang keras menempatkan anak jalanan sebagai kelompok subordinatif bagi kelompok-kelompok lain yang lebih superior yang juga berkecimpung di dunia jalanan. Tak jarang pihak yang mengeksploitasi anak jalanan tersebut berasal dari pihak yang dianggap dekat dengan mereka. Pada kasus mutilasi di Jakarta, misalnya, Babe bukanlah orang asing bagi para korban. Babe dikenal sebagai orang tua asuh para korban. Pelaku bahkan menjadikan tempat tinggalnya sebagai tempat tinggal bagi para korban.
Ironisnya lagi, impitan ekonomi yang sangat menyengsarakan, sedangkan lapangan pekerjaan sulit didapat, memaksa banyak orang tua menyeret anak-anaknya untuk jadi anak jalanan. Mereka dipaksa menjual cobek, mengamen, membersihkan kaca mobil, mengemis, bahkan mungkin menjadi penjambret. Eksploitasi anak jalanan sudah dilakukan juga oleh sindikat jalanan.
Sebenarnya, siapa pun yang mengeksploitasi anak jalanan, semuanya tidak memberi perbedaan bagi anak jalanan. Sebab, anak jalanan tetap saja selalu berada dalam posisi sebagai budak. Mereka tidak lagi memliki kebebasan dan hak sebagai anak manusia sesuai dengan usia mereka. Mereka dipaksa menanggung beban besar yang terlalu berat untuk anak seusia mereka. Hak hidup wajar sesuai dengan usia mereka, hak mendapatkan pendidikan, hak bermain tanpa intimidasi dan diskriminasi, serta hak-hak lainnya sudah lagi tidak mereka dapatkan.
Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun terus saja merangkak naik. Sebagai contoh, di Kota Bandung, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kota Bandung tahun 2007, terdapat enam ribuan anak jalanan. Pada 2008, jumlah anak jalanan meningkat menjadi delapan ribuan. Jumlah tersebut tampaknya semakin membesar di tahun 2009, mengingat dengan mudahnya kita menemukan anak-anak jalanan di berbagai penjuru di Kota Bandung ini.
Dipilihnya ”profesi” anak jalanan semata-mata karena menjadi anak jalanan tidak memerlukan keahlian khusus. Asalkan mau menengadahkan tangan dengan wajah memelas, anak-anak sudah bisa menjadi pengemis jalanan. Untuk mengamen pun tidak harus hebat memainkan alat musik dan memiliki suara bagus. Asalkan bisa memetik gitar atau memainkan ”kecrekan” dari tutup botol dan bergumam, anak-anak sudah bisa menjadi pengamen jalanan dan menghasilkan uang. Kemudahan menjadi anak jalanan ini didukung pula oleh tindakan masyarakat yang ”berbaik hati” memberikan uang kepada mereka, ditambah belum optimalnya perhatian pemerintah menanggulangi persoalan ini.
Diperlukan usaha optimal serta menyeluruh dari pemerintah guna memotong rantai perbudakan anak jalanan, dan hal ini perlu melibatkan banyak pihak. Usaha pertama dalam menanggulangi persoalan anak jalanan ini adalah perlunya dilakukan analisis sosial guna mencari sumber utama yang menyebabkan membanjirnya anak jalanan ini. Penanggulangannya seharusnya lebih difokuskan untuk memberikan solusi dari persoalan impitan ekonomi tersebut. Usaha penanggulangannya sebenarnya bisa melalui banyak cara, di antaranya memberikan program pelatihan keterampilan usaha serta memberikan dana untuk modal usaha bagi orang tua anak jalanan. Program ini harus dijalankan dengan pengawasan dan bimbingan ketat agar tujuan pemberian modal dan pelatihan keterampilan itu tidak diselewengkan. Dengan termilikinya kemampuan dalam bentuk keterampilan usaha ditambah dukungan modal usaha, diharapkan orang tua anak jalanan bisa menghidupi diri dan keluarganya sehingga nantinya berimbas pada berkurangnya anak jalanan.
Selain itu, pemerintah juga harus menindak tegas sindikat jalanan yang mengeksploitasi anak jalanan. Dengan ditindaknya sindikat tersebut, ancaman terhadap anak jalanan dalam bentuk eksploitasi dan kekerasan akan berkurang. Dengan demikian, pemaksaan anak-anak agar turun ke jalan yang dilakukan sindikat tersebut akan turut berkurang sehingga nantinya akan berkorelasi dengan berkurangnya jumlah anak jalanan.
Usaha lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah membangun pusat peduli anak jalanan dalam bentuk gedung atau rumah singgah terpusat yang nantinya bisa difungsikan sebagai pusat pendidikan dan trauma centre bagi anak jalanan. Memang ada LSM atau organisasi independen yang menyediakan rumah singgah, tetapi belum terkoordinasinya rumah singgah tersebut menjadikan penanggulangan anak jalanan belum berjalan optimal. Pemusatan rumah singgah ini, selain untuk mempermudah koordinasi dalam usaha memberikan layanan kepada anak jalanan, juga untuk meminimalisasi bentuk eksploitasi tersembunyi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang berkedok memberikan layanan rumah singgah.
Aturan pemerintah yang melarang masyarakat memberikan uang kepada anak jalanan belum berjalan efektif dalam mengurangi jumlah mereka. Persoalannya, aturan itu tidak diikuti dengan sanksi yang tegas dan juga tidak ada wadah terpusat bagi masyarakat untuk memberikan bantuan. Dengan berdirinya wadah bagi anak jalanan yang terpusat, pemerintah pun nantinya bisa menghimpun dana dengan lebih efisien bagi penanggulangan anak jalanan ini. Semua usaha tersebut harus dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak. Dengan demikian, penanggulangan yang sinergis ini bisa membuahkan hasil, yaitu semakin berkurangnya anak jalanan yang berkeliaran di jalanan. Semoga.***
Penulis, Koordinator Litbang Ecosoc Universitas Pendidikan Indonesia
Opini PIkiran Rakyat 21 Januari 2010