Gerhana Matahari pada 15 Januari 2010 agaknya mirip gerhana kredibilitas kepemimpinan presidensial Susilo Bambang Yudhoyono dalam 100 hari kepemimpinannya.
Gerhana Matahari, pekan lalu, tercatat sebagai yang terlama dalam milenium ketiga (Kompas, 16/1/10), sedangkan gerhana kredibilitas kepemimpinan presidensial SBY juga terlama sejak tahun 2004 dan kebetulan terjadi pada masa pemerintahan keduanya.
Selama ini, ada yang menilai SBY sebagai berdisposisi karakter ”staff’”, bukan posisi ”commander”. Padahal, sejak akhir 2004 ia dipilih rakyat untuk memegang kendali memimpin suatu negeri yang begini luas dan berpenduduk terbanyak keempat dunia.
Berbeda dengan psychological properties seseorang, yang selalu teramati setiap saat, seperti senyuman yang selalu tersungging, psychological dispositions pribadi tertentu hanya muncul, secara terpola, bila mendapat rangsangan pada waktu dan konteks tertentu (Morris Rosenberg, The Logic of Survey Analysis, 1968).
Seorang pekerja staf akan menampilkan respons yang berbeda dengan pemimpin yang berkarakter commander (komandan). Seorang pemimpin berdisposisi komandan, dengan tegas menunjuk arah yang dituju, memilih dengan cermat para pembantu yang mumpuni di bidang masing- masing, dan memberi kebebasan penuh kepada mereka untuk berkiprah maksimal menuju arah yang telah ditunjuk.
Sebaliknya, respons lumrah seorang yang terbiasa menjadi staf, termasuk pada saat krisis, adalah menelaah dulu rambu- rambu birokrasi secara njelimet. Pencermatan rambu-rambu aturan birokrasi itu bila perlu ditandai warna-warna tinta berbeda untuk menunjukkan derajat dan status yang berbeda dari berbagai pasal dan ayat perundang- undangan. Karena itu, kecenderungan normatif sangat menonjol pada pekerja staf. Mereka cenderung lambat mengambil keputusan, apalagi tindakan konkret.
Pekerja staf selalu dibayangi perhitungan safety first. Mereka baru berani bertindak bila benar- benar terjamin aman. Karena itulah, sama sekali tidak mengherankan bila seseorang yang berdisposisi staf selalu membutuhkan waktu lama sekali sebelum akhirnya bertindak. Di pihak lain, para komandan tidak pernah enggan mengambil risiko yang sudah diperhitungkan (calculated risk-takers) dengan timing yang tepat dan terukur.
Kredibilitas mendung
Pada periode pertama pemerintahannya, kredibilitas SBY banyak tertolong gerak cepat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan berbagai program penyelamatan rakyat kecil, serta kebijakan keuangan yang cerdas, lugas, dan bersih oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Begitu peran kunci kedua bintang pendongkrak kredibilitas SBY ini absen atau goyah dalam masa pemerintahan kedua karena JK berpisah jalan dengan SBY dan Sri Mulyani ikut tercemar karena ”tertipu” oleh otoritas Bank Indonesia dalam skandal Bank Century, tak pelak lagi kredibilitas SBY mulai menurun perlahan tetapi pasti. Berbagai survei pendapat publik menunjukkan penurunan popularitas SBY secara signifikan.
Paling kurang ada tiga faktor kunci penyebab kian mendungnya kredibilitas presidensial SBY. Pertama, ditempatkannya orang- orang yang kredibilitas moral dan profesionalitasnya diragukan publik. Sedikitnya ada empat pejabat kunci kabinet yang kredibilitas moralnya dipertanyakan. Keempatnya, sebelumnya adalah pemimpin kolektif sebuah yayasan yang menerima sumbangan senilai 1 miliar dollar AS dari seorang buron koruptor. Publik cenderung menyamakan harkat integritas moral mereka dengan Jaksa Urip yang disuap oleh Ayin. Ironisnya, Jaksa Urip masuk penjara, sedangkan keempat orang itu malah masuk kabinet pada posisi kunci pula.
Kedua, tumpulnya kepekaan dan tiadanya prioritas dalam penggunaan dana negara. Salah satu yang paling ironis adalah dianggarkannya pembelian mobil super mewah bagi para menteri seharga hampir tiga kali lipat harga mobil dinas kabinet sebelumnya. Ini bukan contoh baik bagi asketisme yang menjadi tradisi para founding fathers republik ini, selain juga contoh tak sedap bagi tekad menurunkan emisi karbon yang dicanangkan SBY sendiri di KTT Perubahan Iklim Kopenhagen, Desember.
Belum lagi penyediaan pesawat kepresidenan serta renovasi pagar istana. Anehnya, biaya setara beribu-ribu sekolah dasar dan puskesmas itu disetujui oleh seorang Menkeu yang terkenal hati-hati dan lugas dalam pembelanjaan uang negara. Bantahan Juru Bicara Presiden bahwa SBY tak tahu-menahu dengan pos-pos belanja mewah tersebut justru semakin memendungkan kredibilitas presidensial SBY.
Akhirnya, yang tak kurang penting adalah kurang terlihatnya sikap untuk berdiri di depan. Dalam hampir 100 hari terakhir, alih-alih melindungi bawahan dan mengambil alih tanggung jawab sebagai komandan tertinggi RI, Presiden malah cenderung membantah keterlibatannya dalam kasus dan heboh Bank Century. Ia justru terkesan mengorbankan bawahannya.
Tamrin A Tomagola Sosiolog
Opini Kompas 21 Januari 2010