20 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Pasang Surut Kesejahteraan Petani

Pasang Surut Kesejahteraan Petani

Kondisi ketidakadilan ini harus secepatnya diakhiri.  Pembangunan pertanian harus memfokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan petani

SETELAH ditunggu sekian lama akhirnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan diumumkan pemerintah menggantikan Inpres Nomor 8 Tahun 2008. Inpres yang antara lain memuat ketentuan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras tersebut mulai berlaku 1 Januari 2010.


Menurut Inpres tersebut HPP gabah kering panen (GKP) naik dari Rp 2.400 menjadi Rp 2.640/kg, gabah kering giling (GKG) naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 3.300/kg.

Di tengah kondisi tingkat produksi padi nasional yang cukup tinggi, kabar kenaikan HPP tersebut tentu sangat ditunggu petani karena membayangkan kesejahteraan mereka akan ikut naik.  Menurut prediksi BPS yang dituangkan dalam angka ramalan III (ARAM III), produksi padi nasional tahun  lalu mencapai 63,84 juta ton GKG (BPS, 2009). Benarkah kabar tersebut serta merta disambut rasa gembira petani?

Ternyata jawabannya tidak! Mengapa hal itu bisa terjadi?
Teori sosial-ekonomi klasik maupun modern sepertinya menemui jalan buntu ketika diminta menjelaskan tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan negeri ini.  Betapa tidak, ketika  harga berbagai komoditas tanaman pangan di pasar internasional stabil tinggi, tingkat produksi komoditas pangan dalam negeri dilaporkan pemerintah mencapai puncak prestasi selama beberapa dekade, namun semua kondisi tersebut tidak otomatis menjadi kawan seiring bagi peningkatan kesejahteraan petani.

Memang, bangsa kita sering hanya berhenti pada angka-angka statistik keberhasilan yang cenderung semu, menina bobokan, dan kadang asimetris. Ketika BPS melaporkan produksi beras tahun 2008 naik 5,46 persen dari tahun 2007, pada saat yang sama lembaga itu juga melaporkan bahwa nilai tukar petani (NTP) padi Juni 2008 mengalami penurunan 6,05 poin dari NTP Juni 2007 menjadi 93,95. 

Begitu pula saat ARAM III 2009 meramalkan bahwa produksi padi nasional 2009 akan memecahkan rekor selama beberapa dekade, namun angka  NTP tanaman pangan Agustus 2009 hanya sebesar 95,04.  Artinya, petani tanaman pangan masih harus tombok dalam usaha tani mereka.

Melihat kondisi seperti itu tentulah ada yang kurang pas dalam kebijakan pembangunan pertanian selama ini.  Peningkatan produktivitas yang diupayakan petani hanya menuai kondisi paradoksal.  Penguasaan teknologi dan produktivitas fisik yang tinggi tidak diimbangi nilai moneter memadai karena harga yang diterima petani relatif rendah.  Dalam kondisi paradoksal tersebut, para petani menerima bagian kecil dari nilai tambah kenaikan produktivitas tersebut. 

Nilai tambah terbesar, yaitu nilai tambah perubahan bentuk (form utility), nilai tambah tempat (place utility), dan nilai tambah karena waktu (time utility), dinikmati oleh para pelaku nonusahatani.  Mereka ini notabene bukan petani, seperti para pedagang sarana produksi, tengkulak penebas gabah, atau bahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diberi  amanah sebagai public service obligation (PSO) dari pemerintah.

Harga barang-barang kebutuhan pangan pokok seperti beras dan gula yang naik beberapa hari terakhir ini lebih dinikmati oleh para pedagang dan tengkulak. Untuk gula misalnya, dana talangan yang dikeluarkan investor untuk membeli gula petani saat musim giling hanya Rp 5.300/kg. Saat ini gula tersebut dijual oleh investor sangat tinggi mencapai Rp 11.000/kg, keuntungan yang didapat mencapai 50%.

Kondisi ketidakadilan ini harus secepatnya diakhiri.  Pembangunan pertanian dalam era Kabinet Indonesia Bersatu II ini seyogiyanya harus memfokuskan pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan petani.  Sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, petani harus ditempatkan sebagai subyek dalam setiap kebijakan yang ditempuh, bukan sebagai objek yang cenderung dimarginalkan keberadaannya.

Untuk mewujudkan semua itu diperlukan keberpihakan serta komitmen moral dan politik yang tinggi dari semua penentu kebijakan.  Misalnya, untuk memperoleh pendapatan yang relatif tinggi, maka para petani tidak cukup dijamin dengan HPP yang memadai, tetapi momentum kebijakan tersebut juga harus tepat.

Dulu pemerintahan Orde Baru selalu mengumumkan kebijakan perberasan yang memuat kenaikan HPP gabah/beras setiap bulan Oktober dan berlaku mulai 1 Januari tahun berikutnya. Semua itu dimaksudkan agar para petani dapat melakukan hitung-hitungan ekonomi secara rasional sebelum mereka menanam padi.

Penetapan Inpres 7/2009 yang baru diumumkan awal 2010 itu sudah agak terlambat. Namun jika dibandingkan dengan penetapan Inpres Nomor 1 Tahun 2008 masih lebih baik.  Inpres Nomor 1 Tahun 2008 baru ditetapkan tanggal 22 April 2008.  Saat itu puncak panen rendengan di sentra-sentra produksi padi Tanah Air telah lewat.

Gabah hasil panen petani sudah berada di tangan tengkulak, para petani tidak dapat menikmati kebijakan heroik tersebut. Keterlambatan ini menjadi salah satu pertanda bahwa keberpihakan serta komitmen moral dan politik para penentu kebijakan pembangunan pertanian terhadap para petani masih sangat kurang.

Selain itu, untuk mengantisipasi terjadinya surplus produksi beras dalam negeri serta meraih momentum harga di tingkat dunia yang cukup tinggi, maka sudah saatnya HPP gabah/beras ditetapkan dalam dua kualitas.  Perlu ditetapkan beras medium setara IR-64 kualitas 3 dan beras premium dengan kadar patahan maksimal 10 persen. 

Kebijakan HPP dengan satu kualitas (single quality) seperti yang saat ini tertuang dalam Inpres 7/2009, tidak mendorong petani dan pengusaha penggilingan padi berusaha meningkatkan kualitas gabah dan berasnya. 

Penetapan HPP dengan dua kualitas diharapkan memacu petani dan pengusaha rice mill menghasilkan beras kualitas premium yang harganya lebih mahal untuk diekspor ke luar negeri. Saat ini keberpihakan dan komitmen moral politik para penentu kebijakan terhadap peningkatan kesejahteraan petani  tengah diuji.(10)

— Toto Subandriyo, alumnus IPB, dan MM Unsoed
Wacana Suara Merdeka 21 Januari 2010