20 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Susno Duadji dan Pandora skandal Century

Susno Duadji dan Pandora skandal Century

Susno Duadji memang “sakti”. Dia bisa melenggang bebas meskipun dituding melanggar kode etik dan terancam pemecatan akibat memberikan kesaksian bagi Antasari Azhar dalam perkara pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

Tindakan Susno itu diselesaikan secara internal. Apakah hal ini berkaitan dengan statusnya sebagai “saksi mahkota” pada skandal Bank Century yang sedang diusut Dewan Perwakilan Rakyat?
Jika demikian, Susno bagai Pandora. Dalam mitologi Yunani, Pandora adalah perempuan pertama yang hadir di bumi. Pandora diciptakan oleh para dewa dan diutus untuk membebaskan manusia dari segala kemalangan yang terjadi. Tapi, pada versi yang lebih populer dikisahkan bahwa Pandora adalah hukuman bagi manusia yang telah belajar menggunakan api yang dicuri Promotheus dari tahta para dewa. Pandora memiliki kotak yang jika terbuka akan menimbulkan bencana bagi manusia.


Dalam konteks Susno, kotak Pandora itu adalah segala hal yang berkenaan dengan aliran dana talangan yang diterima Bank Century. Sebagai pembawa kotak Pandora, Susno memiliki banyak rahasia tentang kisruh Century. Jika rahasia tersebut diungkap, maka malapetaka pun akan menyerang secara frontal pihak-pihak tertentu yang diduga kuat menerima dana talangan itu. Pada titik itulah bisa dimengerti kenapa Susno menciptakan istilah “cicak melawan buaya” sebagai ekspresi kemarahan karena pembicaraannya via telepon disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak mengherankan apabila kata-kata “goblok” yang ditujukan kepada KPK meluncur dari mulutnya. Susno, sebagai petinggi kepolisian, merasa bahwa KPK itu berprestasi dan mendapat dukungan dari banyak pihak tidak terlepas dari kontribusi pihak kepolisian. Cicak yang dimaksud Susno adalah KPK. Sementara itu buaya tidak lain adalah polisi. Boleh jadi Susno sekadar berkeinginan menciptakan ibarat yang bersifat komparatif. Namun, kemungkinan pula, Susno sengaja melahirkan metafora.
Sebuah metafora, jelas Jonathan Crowther (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 1995: 734), adalah penggunaan secara imajinatif kata atau frasa untuk menunjukkan bahwa kata atau frasa itu memiliki kualitas yang sama dan membuat deskripsi secara lebih bertenaga. Cicak sebagai metafora adalah lembaga yang kecil, lemah, dan gampang dilenyapkan. Sebaliknya, buaya dalam kedudukan metaforik adalah institusi yang sangat besar, kasar, buas, dan tidak segan-segan membunuh.

Fabel masa kini
Metafora yang diciptakan Susno ternyata tidak berhenti sebagai perbandingan belaka. Justru “cicak melawan buaya” membesar sebagai gerakan sosial. Metafora itu bertransformasi sebagai kisah mengenai binatang lemah yang diliputi kejujuran menentang binatang besar yang dikuasai kerakusan. Tanpa sadar Susno berhasil melontarkan ide untuk sebuah fabel masa kini tentang gerakan antikorupsi. Fabel adalah jenis cerita yang secara ringkas dan jelas menampilkan figur aneka binatang untuk mewakili perwatakan manusia. Fabel juga bertutur tentang pelajaran moral. Apa yang dianggap baik dan terpuji direpresentasikan dalam sosok cicak. Apa yang ditempatkan sebagai buruk dan tercela diwakili buaya.
Kualitas fabel yang dikemukakan Susno, tentu saja, tak sepadan dengan fabel Animal Farm (1945) yang ditulis George Orwell (1903-1950). Dalam fabel tersebut, Orwell bertutur tentang babi bernama Napoleon yang berhasil melakukan revolusi terhadap sebuah peternakan. Babi Napoleon yang pada awalnya menyuarakan spirit emansipasi (pembebasan), kemudian bertindak sangat otoriter dan melakukan represi (penindasan) terhadap sesama binatang. Sangat jelas fabel Orwell merupakan satire terhadap revolusi kaum Bolshevik yang terjadi di Rusia. Inilah fabel yang memakai perspektif kaum tertindas untuk menguliti ambisi dan kecongkakan kaum revolusioner yang culas. Sebaliknya, fabel yang diciptakan Susno adalah ekspresi kemarahan dari kaum yang sangat berkuasa karena merasa direcoki sekelompok orang lemah.
Terdapat sisi lain yang pantas dikemukakan ketika Susno melontarkan gagasan fabel “cicak melawan buaya”, yaitu persoalan kesadaran berbahasa. Pilihan ungkapan cicak untuk KPK dan buaya untuk polisi pasti dimaksudkan Susno untuk memberikan efek pemaknaan yang spesifik. Buaya (polisi) tentu dipandang Susno sebagai lembaga negara yang begitu besar dan sangat cerdas. Cicak (KPK) dipandang Susno sebagai lembaga yang sangat goblok, kecil, dan tidak tahu berterima kasih. Sebagai figur yang sangat berkuasa karena menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Susno beranggapan tidak ada satu pihak pun yang boleh mengganggu kewenangannya. Urusan kejahatan dan menangkap para penjahat hanya Susno yang menjadi ahlinya.

Arena pertarungan
Di situlah kemampuan berbahasa Susno sangat mudah dibaca. Bahasa, ungkap Valentin Voloshinov (1895-1936), adalah medium ideologi dan tidak mungkin bisa dipisahkan dari ideologi. Namun, ideologi dalam domain ini tidak diartikan sebagai ilusi mental yang mencerminkan kenyataan ekonomi yang bersifat material. Ideologi dalam bahasa merupakan sistem tanda yang terkonstruksi secara sosial, sehingga dari situ kesadaran manusia menjadi mungkin lahir.
Susno, agaknya, mengabaikan pengertian bahasa semacam itu. Susno sekadar mengetahui bahwa dia sedang berada dalam kekuasaan dan menggunakan pilihan kata untuk mengokohkan kekuasaannya sendiri. Susno hanya paham bahwa bahasa adalah perkakas untuk mengidentifikasi status. Dalam wilayah kebahasaan itu Susno tanpa bisa dicegah lagi terpelanting pada arena pertarungan yang mengharuskan kelompok-kelompok sosial menjalankan keberpihakan.
Cicak (KPK) yang dievaluasi sebagai lembaga independen yang berhasil memberantas korupsi justru diremehkan Susno. Fabel “cicak melawan buaya” yang dimaksudkan Susno untuk meneguhkan kekuasaannya menjadi bumerang yang menghantamnya. Tapi, siapa yang dapat meredam ketika fabel antikorupsi itu sudah telanjur menancap mapan dalam kesadaran masyarakat sipil? Dengan sedikit berseloroh, Susno dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR sempat berujar jika hak paten diterapkan, maka seharusnya dia mendapatkan keuntungan finansial yang besar.
Pada skandal Century, Susno tak hanya sebagai pencipta fabel “cicak melawan buaya”, melainkan sebagai pembawa kotak Pandora yang pada saat Susno terpojok atau akan dihabisi kariernya, maka kotak itu sengaja dibukanya. Tak mengherankan jika Susno merasa sebegitu berkuasa karena rahasia tentang siapa saja yang menerima dana talangan itu bakal dibukanya. Inikah yang menjadikan Susno bisa terbebas dari tudingan telah melakukan pelanggaran kode etik dan diselesaikan secara internal oleh institusi kepolisian? Entahlah. Hal yang jelas adalah siapa pun yang membawa kotak Pandora pasti merasa sangat berkuasa karena segala rahasia yang akan melahirkan malapetaka berada dalam genggamannya. -

Oleh : Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Undip Semarang
Opini SOlo Pos 21 Januari 2010