Lukman Hakim
Wali Kota Metro
Dalam politik, momentum begitu penting. Ia bisa membuat orang mendapat kekuasaan, dan pada saat yang sama ia juga bisa membuat orang kehilangan kekuasaan. Meski, persoalan sesungguhnya adalah pada kualitas operasional dari kekuasaan itu sendiri.
Kemarin kita melihat berbagai elemen rakyat turun ke jalan. Ada momentum seratus hari SBY-Boediono; juga ada isu Century. Keduanya terakumulasi dan melahirkan aksi massa. Gejolak tersebut pada dasarnya merupakan suatu bentuk pencarian makna demokrasi yang belum selesai, ketika pranata hukum dan politik belum benar-benar mampu menjadi "kendaraan" bagi rakyat menuju peri kehidupan yang lebih baik.
Semua level pemerintahan, pusat dan daerah, sekarang dalam keadaan yang terus berubah dengan iklim keterbukaan yang condong semakin bebas. Persaingan politik meluas. Pemilu maupun pemilihan kepala daerah seakan tak cukup menampung hasrat persaingan yang bukan cuma antara "juara bertahan" dan "penantang"; melainkan juga antara elemen-elemen politik yang semakin banyak tumbuh dan sedang mengejar eksistensi.
Demokrasi melahirkan ekses asimetri politik. Hukum belum sepenuhnya hadir sebagai "wasit" yang adil untuk semua. Karena itu, kekuasaan harus selalu siap terhadap perubahan-perubahan tersebut. Tinggalkan mimpi tentang stabilitas dan segala bentuk kenyamanan. Gejolak politik yang acap terjadi sekaligus manifestasi pencarian terhadap cara memaknai diskontinuitas dan persaingan dalam demokrasi. Itulah setidaknya potret yang dibingkai dalam seratus hari pemerintahan SBY-Boediono.
Seratus hari sungguh tak memadai untuk memvonis gagal pemerintahan. Dengan beragam masalah: korupsi, kemiskinan, pengangguran, kejahatan, kerusakan lingkungan, serta problem global lainnya, rasanya tak masuk akal berharap semua akan teratasi dalam seratus hari. Toh setelah lima tahun berkuasa, SBY masih dipilih lagi. Namun, ada kasus Century yang penyelesaiannya tak bisa cepat dan terang. Dampak sistemiknya adalah pada ketidakpastian terhadap kekuasaan.
Dalam seratus hari pemerintahan, yang terpenting adalah arah yang ditempuh dan strategi dalam mengelolanya. Pemberdayaan merupakan strategi yang hanya bisa berjalan dengan kesabaran dan kehati-hatian. Pemberdayaan bukan sekadar jargon perubahan. Seiring dengan pemberdayaan, harapan rakyat pun meningkat. Stabilitas pada masa lalu yang identik dengan kelambanan, telah diganti dengan munculnya harapan-harapan di berbagai tempat. Itu yang harus dibaca dan direspons pemerintahan.
Periode Kedua
Setelah periode pertama pemerintahan SBY, secara umum perubahan dapat kita rasakan. Kemandirian daerah melalui otonomi terus dibangun. Iklim demokrasi terus dijaga. Meski dinilai belum maksimal, hasrat korupsi di kalangan birokrasi dikurangi dan ditekan dengan mekanisme punishment dan pengawasan yang lebih ketat. Kita saksikan banyak kepala daerah terjerat korupsi dana APBD dan harus berurusan dengan hukum.
Format hubungan pusat dan daerah memberi ruang yang luas munculnya kreasi dan inovasi secara bottom up. Pemerintah daerah bisa lebih leluasa menyusun agenda dan program pemberdayaan masyarakat di daerahnya. Meski harus diakui, membangun karakter dan budaya birokrasi yang baru tidak cukup dalam waktu singkat, terlebih dengan kondisi dan karakter daerah-daerah yang beragam.
Tak cuma dalam birokrasi, dalam dunia bisnis pun, membangun tradisi perusahaan merupakan pekerjaan rumit yang tak cukup waktu lima--sepuluh tahun. Sementara, reformasi birokrasi menjadi pekerjaan yang belum selesai, dan ini membutuhkan komitmen kuat dari kepemimpinan politik.
Beberapa daerah mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam mengisi ruang otonomi tersebut. Strategi pemberdayaan mampu dilaksanakan secara disiplin dan berkesinambungan sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh rakyat. Tantangan memang tak sedikit, karena perubahan sungguh memerlukan pemahaman semua pihak untuk meninggalkan kebiasaan lama dan membangun tradisi baru. Ironis, jika ada sebagian pihak yang justru memelihara kebiasaan lama, bahkan memanfaatkan kebebasan dan otonomi untuk kepentingan sesaat.
Dalam kasus Century, kita melihat bahwa potensi penyalahgunaan wewenang bisa terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Semacam virus, moral hazard bisa menyebar kemana-mana. Bahwa kemudian kasus tersebut sampai mengundang aksi turun ke jalan berbagai elemen rakyat, itu menjadi koreksi bersama semua pihak yang memiliki kewewenangan dan seharusnya bisa segera mengurai masalah tersebut; terlepas siapa yang terlibat.
Lima tahun pertama periode Presiden SBY, arah perubahan telah kelihatan. Ekspektasi rakyat terhadap kepemimpinannya pun terbukti tinggi. Pemilu menjadi penanda, bahwa pilihan rakyat belum bergeser. Kalau kemudian seratus hari menjadi ukuran, setelah lima tahun rakyat memberi kepercayaan--dan berlanjut periode kedua--tentu itu menjadi ukuran yang tidak memadai. Menilai kinerja periode kedua ini adalah, bagaimana ia mempertahankan, melanjutkan, dan menyempurnakan agenda periode pertama.
Namun, inilah realitas politik. Bahwa kekuasaan ditandai dengan tanggung jawab, otonomi, risiko, serta ketidakpastian. Kekuasaan mungkin bukan lagi suatu lingkungan yang menyenangkan, melainkan sejatinya ia merupakan lingkungan yang manusiawi. Yang dibutuhkan adalah, bagaimana manfaat kekuasaan dapat dirasakan rakyat seluas-luasnya; bagaimana kekuatan rakyat bisa dihimpun menjadi keunggulan dengan strategi pemberdayaan; bagaimana potensi bangsa bisa diintegrasikan untuk menghadapi persaingan dengan bangsa lain; dan bagaimana persoalan-persoalan yang muncul bisa diselesaikan melalui jalur semestinya, tanpa harus menimbulkan kegaduhan yang tak perlu.
Sekali lagi, pemberdayaan merupakan strategi, khususnya terhadap lembaga-lembaga demokrasi yang kini dituntut semakin matang dan efektif untuk menjadi solusi permasalahan bangsa.
Opini Lampung Post 01 Februari 2010