31 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Redupnya Ikon Kota Susu

Redupnya Ikon Kota Susu

BOYOLALI dulu dan saat ini tak banyak berubah. Patung sapi tampak kokoh berdiri di setiap sudut kota. Patung-patung itu pun berjejer teratur. Ada satu kesamaan: patung-patung itu dicat hitam putih, dan bisa disebut sebagai simbol daerah ini.

Sepintas menegaskan bahwa di dalamnya terdapat usaha peternakan yang begitu berkembang, sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi bagi warga daerah itu. Diakui, sebutan sebagai salah satu sentral peternakan di Jawa Tengah tak bisa dipisahkan dari identitas daerah ini. Terutama usaha tani sapi perah. Boyolali pun terkenal dengan julukan sebagai kota susu.


Iklim yang sejuk karena topografi wilayahnya yang terletak di ketinggian 200-1.500 meter di atas permukaan laut (dpl), sangat mendukung keberadaan peternakan sapi perah di daerah ini. Budidaya sapi perah di Boyolali tersebar di enam kecamatan yakni Cepogo, Boyolali, Mojosongo, Musuk, Selo, dan Ampel.
Menurut penelitian, dalam susu sapi terdapat beberapa unsur yang dibutuhkan tubuh. Pertama, air, yang merupakan komponen terbesar karena 87 % dari keseluruhan komponen susu. Air tersebut sebagian dihasilkan dari air yang diminum oleh sapi setiap harinya.

Kedua, lemak. Kadar lemak normal yang terkandung dalam susu berkisar 3,45 . Kadar lemak sangat menentukan nilai gizi dari air susu. Berat jenis susu berada pada kisaran 0,93 dan berarti lebih ringan dari berat jenis air. Hal ini menyebabkan lemak akan mengapung dan membentuk lapisan di permukaan air susu apabila didinginkan.

Ketiga adalah protein, yang kadarnya rata-rata 3,20 % , karena 26,50 % dari bahan kering susu adalah protein. Protein dalam air susu juga merupakan penentu kualitas air susu sebagai bahan yang layak untuk dikonsumsi.

Keempat, laktosa, yaitu bentuk karbohidrat yang terdapat dalam susu. Bentuk ini tidak terdapat dalam bahan makanan yang lain. Kadar laktosa dalam susu adalah 4,60 %. Laktosa terbentuk dari glukosa dan laktosa, dan laktosa itulah yang membuat rasa susu menjadi sedikit manis. Kelima, vitamin dan enzim. Kadar vitamin dalam susu tergantung dari pakan yang diberikan pada sapi setiap harinya dan waktu laktasinya.

Vitamin diukur dengan satuan internasional unit (IU). Vitamin yang larut dalam susu termasuk vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin A, provitamin A, vitamin D, dan yang terpenting adalah vitamin B1 dan B2, asam nikotinat, dan asam pantotenat. Enzim berfungsi untuk mengolah susu menjadi bahan lain, dan yang terkenal antara lain peroxydase, reductase, katalase, dan phospatase. Adanya pemanasan menyebabkan enzim tidak berfungsi lagi.

Tercatat pada tahun 2007, total produksi susu yang dihasilkan peternak sapi perah di enam kecamatan (Cepogo, Boyolali, Mojosongo, Musuk, Selo, dan Ampel) mencapai 31.177.928 liter dengan rata-rata per hari 75 ribu-80 ribu liter. Angka itu merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Selama ini, susu asal Boyolali menopang kebutuhan industri pengolahan susu (IPS) yang berada di beberapa kota di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jakarta. Susu Boyolali juga me-menuhi kebutuhan susu segar di wilayah sekitar kabupaten itu sendiri, seperti Solo, Klaten, dan Semarang.

Namun sayang, produksi susu yang berlimpah tersebut belum didukung secara maksimal oleh industri pengolahan susu. Proses pemasaran produksi susu dari peternak selama ini ditangani oleh koperasi unit desa (KUD) di masing-masing kecamatan.

Harga susu sapi perah di Boyolali pun masih jauh dari kisaran harga yang layak. Saat ini, harga susu dari peternak hanya Rp 2.750-Rp 2.850 per liter. Padahal, harga susu yang layak semestinya mendekati Rp 3.500.

Selain itu harga yang ditetapkan masing-masing KUD tidak sama. Dari KUD susu disetorkan ke Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Selanjutnya dari GKSI, dipasarkan ke industri pengolah susu di luar Jateng, seperti PT Sari Husada di Yogyakarta, PT Nestle di Jawa Timur, dan PT Indomilk di Jakarta. Kondisi inilah yang membuat peternak sapi di Boyolali kian merugi. Harga jual susu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk membeli pakan ternak.

Mereka pun tak berdaya menghadapi ketentuan yang ditetapkan industri pengolahan susu. Terutama soal penetapan harga jual susu segar di tingkat peternak. Akibatnya, kini peternakan sapi perah tengah terancam. Tak sedikit dari mereka yang beralih ke usaha penggemukan sapi. Hal itu disebabkan terlalu rendahnya harga susu. Produksi susu di kabupaten itu pun kian tergerus.

Kabupaten Boyolali yang terkenal dengan susu sapi, kini mulai redup. Selain kendala pengolahan industri susu, juga penetapan harga yang tidak sebanding dengan ongkos pakan ternak. Selayaknya bagi pemerintah mengusahakan pengolahan susu internñyang dekat dengan produksi. (10)

— Muhammad Khotib Am, peserta bakti sosial Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang di Tlatar Kabupaten Boyolali
Wacana Suara Merdeka 1 Februari 2010