Oleh Veri Nurhansyah Tragistina
Pojok ”Ole-ole” Pikiran Rakyat (23/01) mengingatkan kita bahwa dalam beberapa bulan ke depan pasar swalayan di Jawa Barat bakal dibanjiri produk-produk Cina. Atas kondisi ini, menurut Si Kabayan—tokoh dalam pojok tersebut—nasionalisme kita sebagai masyarakat akan diuji.
Apa yang diungkapkan si Kabayan dalam ”Ole-ole” terlihat sederhana. Namun, pada kenyataannya, hal itu sangat relevan dengan kondisi dunia usaha tanah air belakangan ini. Seperti diketahui, mulai awal tahun ini Indonesia mesti mengimplementasikan kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang telah disepakati lima tahun silam.
Walaupun telah disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan. Banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari bahwa Indonesia belum siap untuk itu. Oleh karena itu, jika ACFTA ini terus diimplementasikan tanpa renegosiasi ulang jelas akan sangat mencemaskan eksistensi produk dan pengusaha dalam negeri.
Oleh karena itu, Pemprov dan DPRD Jabar telah merekomendasikan penundaan pelaksanaan ACFTA kepada pemerintah pusat. Rekomendasi ini sebagai wujud kecemasan atas masa depan pengusaha daerah—terutama industri tekstil dan makanan minuman—yang terancam oleh hadirnya produk-produk Cina.
Namun pada sisi lain, kita juga tentu tidak dapat berpaling dari kesepakatan ini. Siap tidak siap, dalam beberapa bulan ke depan, pelaku usaha negeri ini mesti bertarung ketat dengan produk-produk Cina.
Nasionalisme
Melihat realitas ini, wacana nasionalisme konsumen seperti disentil harian ini menjadi sangat penting. Wacana ini sering dipandang sebagai usaha terakhir di tengah keputusasaan kita dalam menghadapi serbuan produk-produk asing. Melalui wacana dan gerakan ini, masyarakat distimulus untuk sadar atas made in label produk yang hendak mereka beli. Sehingga, mereka secara sukarela memprioritaskan produk dalam negeri dibandingkan dengan produk asing.
Wacana dan gerakan menabur benih nasionalisme konsumen ini sebenarnya telah mengemuka sejak setahun lalu. Ketika itu, Presiden Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2009 Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang mulai berlaku pada Maret 2009.
Tujuan Inpres ini adalah menstimulus masyarakat atas pentingnya mengonsumsi produk dalam negeri. Jika ini dapat tercapai diharapkan akan menyebabkan efek positif bagi dunia usaha terutama dalam hal meningkatkan produksi dalam negeri, menyerap tenaga kerja yang lebih besar dan tentu saja berujung pada berputarnya roda perekonomian nasional.
Inpres ini, pada awalnya, terlihat akan diimplementasikan secara militan. Hal ini dapat dibuktikan dari peluncuran gerakan dan logo ”100 persen Cinta Indonesia” oleh Presiden Yudhoyono di Pameran Inacraft April 2009. Presiden bersama jajarannya giat berkampanye akan pentingnya mengonsumsi produk dalam negeri terutama dalam hal menstimulus pertumbuhan dan eksistensi pengusaha-pengusaha dalam negeri.
Namun pada babak selanjutnya, gerakan tersebut ternyata kembang-kempis. Sosialisasi mengenai pentingnya mencintai produk dalam negeri hilang bak ditelan bumi. Bahkan, dari segi perilaku dan keteladanan, para pejabat pemerintah yang semestinya menjadi ujung tombak gerakan ini justru banyak yang ”mangkir”. Mereka lebih doyan menggunakan produk-produk luar untuk menunjang aktivitas hariannya. Maka wajar saja, tujuan dari gerakan ”100 persen Cinta Indonesia” ini tak memiliki magnitude yang luas di seantero negeri.
Pada titik ini, kita mesti perlu belajar dari Amerika Serikat. Ketika terjadi krisis finansial global pada 2007 hingga 2009 silam, para pelaku usaha kecil di Negeri Paman Sam, bersatu mendorong masyarakat agar membeli produk-produk dalam negeri (businessweek.com, 27/2/2009). Gerakan ini dilakukan secara masif dan sistemik mulai dari pembuatan logo hingga kampanye door-to-door. Efeknya, gerakan ini mampu mengedukasi sekaligus menstimulus masyarakat AS untuk mengonsumsi produk-produk dalam negerinya.
Gerakan seperti inilah yang gagal dilakukan pemerintah kita. Gerakan mencintai produk dalam negeri hanya sekadar wacana tanpa usaha sistemik yang menyentuh grass roots. Pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, wacana ini menjadi komoditas politik dari masing-masing calon untuk merebut hati rakyat semata.
Masih tinggi
Implementasi kebijakan yang kurang masif seperti ini patut disayangkan. mengingat nasionalisme masyarakat atas produk dalam negeri terbilang masih tinggi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian G. Benny Sunardi (2008) yang berusaha melihat kecenderungan sikap masyarakat terhadap produk dalam negeri. Penelitian tersebut menunjukkan, sebagian besar responden memiliki preferensi sikap yang tinggi atas pentingnya mengonsumsi produk dalam negeri. Mereka juga menyatakan membeli produk-produk asing dapat mematikan eksistensi produk-produk dalam negeri.
Sayangnya, akibat pemerintah kurang gencar melakukan kampanye ”cinta produk dalam negeri”, kecenderungan tingginya nasionalisme konsumen tersebut terlihat seperti tidak ada gunanya. Masyarakat kita akhirnya terbenam pada pragmatisme dalam menjalani aktivitas konsumsinya. Bahkan, banyak di antara kita yang gagal mengidentifikasi mana produk dalam negeri mana produk asing.
Untungnya, di tengah kurang gencarnya pemerintah dalam mengampanyekan ini, masih banyak elemen masyarakat yang giat berkampanye baik secara online ataupun langsung ke tengah masyarakat. Mereka secara sukarela menyebarkan virus ”cinta produk Indonesia” agar dapat menstimulus kecintaan masyarakat kita dalam mengonsumsi produk dalam negeri. Tindakan seperti inilah yang patut kita tiru, sebagai wujud kepedulian kita atas eksistensi produk dan pengusaha dalam negeri di masa depan.***
Penulis, peminat kajian ekonomi-pemasaran program studi Ilmu Administrasi Niaga, Universitas Indonesia.
Opini Pikiran Rakyat 01 Februari 2010
31 Januari 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » ACFTA & Wacana Nasionalisme Konsumen
ACFTA & Wacana Nasionalisme Konsumen
Thank You!