Kenaikan gaji pejabat pun menjadi sorotan, jika tak boleh disebut digugat. Jadi topik bahasan di pelbagai media massa berkali-kali…
Saat ini, gaji total Presiden, seperti data Bagian Anggaran Departemen Keuangan (2005), senilai Rp 62,74 juta, gaji Wakil Presiden Rp 42,16 juta, Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI dan pejabat setara lainnya Rp 18,8 juta. Gaji Ketua DPR, menurut data itu pula, senilai Rp 30,90 juta, dan Wakil Ketua DPR Rp 26,77 juta.
Itu gaji standard pejabat negara, yang berintegritas dan punya kejujuran (insya Allah) tinggi—dan tak mau menerima ini-itu tanpa legalitas. Menurut rencana, gaji pejabat tinggi negara itu bakal dinaikkan 10%-20%.
Tak heran semua ingin mengkritiknya, lantaran sehari-hari beras masih mahal—atau dalam bahasa ekonomi, “hanya bisa diperoleh melalui pengorbanan dengan rupiah lebih banyak.”
Di Solo dan Yogyakarta—pusat kegiatan bisnis di wilayah eks-Mataram, harga beras sudah naik lebih 15%. Harga beras mutu rendah sudah mencapai Rp 6.500/kg,dan hanya bisa dinikmati kalangan priyayi dan kelompok berpenghasilan agak tinggi.
Bagaimana dengan kaum buruh atau pekerja harian yang sehari kerja dan dua hari menganggur…Bagaimana dengan tukang becak yang berkeluarga, punya dua anak dan hanya mampu meraih penghasilan di bawah Rp 10.000 per hari?
***
Bukankah mereka itu warga bangsa ini, tetangga kita? Kecuali mau menjadi individualis, dan jika kesulitan tak perlu minta tolong? Suatu kali Slamet Gundono, seorang seniman, dalam pentas wayang suketnya bercerita:
Orang kita ini rasa sosialnya tinggi, rasa pedulinya mumpuni, rasa kesetiakawanannya tak tertandingi…Hanya celakanya itu muncul justru saat khusus: Pemilihan kepala desa, pemilu legislatif atau Pilkada. Saat ada maunya, pendekatannya tak seperti biasanya? Tak wajar!
Ha, ha, ha... suatu yang lucu bukan? Lucu sering dianggap segala sesuatu realitas yang bengkok atau melenceng dengan standard normal dan wajar, karena konstruksi sosial dan sejarah, sehingga bisa memicu syaraf tawa…
Beberapa kali saya bertemu Barry, mantan wartawan koran ternama dan konsultan pengelolaan sepakbola, baik saat di Depok maupun saat bekerja di Yogyakarta dan Solo. Ia suka bicara kisah lucu soal hidup, yang bersumber dari kerabat atau saudara dekatnya.
Dikisahkannya, kerabat dekatnya yang berprofesi pengacara itu paranoid jika mobil di garasinya tak diganti dalam enam bulan. Merasa minder, jika mobilnya masih yang itu (meski tetap model mutakhir) dalam suatu pertemuan dengan para koleganya—padahal semua merk terbaik, misalnya Mercy kelas terbaru, Audi kelas terbaik, BMW luks teranyar atau Jaguar pernah dimilikinya.
***
“Ia paranoid, hidupnya banyak dikejar gengsi,” kata Barry suatu kali. Saat enam bulan mobilnya belum diganti, ia selalu menenggelamkan kepalanya di belakang sopir seperti nervous—kikuk dan tak merasa tenang. “Saya ‘gak enak sama kawan-kawan, terhina, jika masih pakai [mobil] yang ini,” kata Barry menirukan orang sedarahnya.
Ia pun cemas karena orang itu masih sedarah dengan dirinya. Dikhawatirkannya, kejaran gengsi bakal menjebaknya ke sikap dan perbuatan tercela—bukan tak mungkin suatu saat ia bakal menyeretnya ke perilaku yang melawan hal yang normal.
Khawatirnya pula, orang itu bisa bunuh diri! Barry tak mau itu—dan bilang kepada orang sedarahnya itu. Tatkala kehidupannya sudah cenderung miring-miring, dan mulai tabrak nurani saat membela kliennya…
”Hiduplah wajar dan biasa-biasa saja, nanti harga dirimu pun bakal kau jual. Semunya kau jual…,” kata mantan komentator sepakbola itu. Suatu yang lucu bukan? Lucu barangkali abnormalitas yang bisa membuat perasaan geli dan memicu katawa-ketiwi…
***
Hingga suatu kali, Slamet Gundono dalam beberapa pertunjukan terakhirnya pun terus menyindir, agar nurani ini tak pandir dan kadar kehidupan wajar tak berada di titik nadir. Tetap agak sinis, siapapun bisa meringis. Lucu tak habis-habis.
Pun saat pertemuan terakhir dengan Barry beberapa waktu lalu, ia pun tertawa-tawa mengenang perilaku kerabatnya, dan apalagi ulah yang sama bisa terjadi pada siapa saja, terutama yang tak mau hidup wajar. “Coba kau lihat sekeliling kau, tabu pun sudah dimakannya, betul ada kan?”katanya diikuti tawanya, ha, ha, ha...
Kemudian Barry meneruskan ceritanya,” Dia [kerabat sedarahnya] kini bisa hidup wajar, lebih tenang, dan makin percaya diri walaupun tak mengikuti trend mobil mewah. Dia bisa mengenang hari lalunya sebagai hal lucu…”
Barangkali di lingkup kecil kita, ada gambaran yang tak sejalan dari standard normal, abnormalitas. Misalnya Jarkoni (bisa berujar tak bisa nglakoni). Bikin saja sebagai bahan untuk tertawa. Hidup ini singkat, seperti digambarkan puisi Chairil Anwar,”…sebelum siang membentang/Kami sudah tenggelam hilang…”, bikin sederhana saja!
Jadi tertawalah sekuat tenaga ha, ha, ha… - Oleh : YA Sunyoto, Wartawan SOLOPOS
Opini Solo Pos 01 Februari 2010
31 Januari 2010
Sederhana saja, bikin tertawa…
Thank You!