Khomsahrial Romli
Guru Besar Ilmu Komunikasi IAIN Raden Intan Bandar Lampung
Sebentar lagi di beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Lampung akan melaksanakan pesta rakyat melalui pilkada seperti Kota Bandar Lampung, Kabupaten Way Kanan, Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Kota Metro.
Menyukseskan pilkada dan memenangkan pilkada membutuhkan analisis untung rugi dan kalkulasi ekonomi yang akurat, yakni bagaimana mengurangi risiko biaya sosio-ekonomi dan sosio-politik, dan ini semuanya bagaimana kelincahan marketing politik untuk memasarkan kandidat kepada masyarakat.
Ketika kita membicarakan marketing biasanya selalu identik dengan penjualan ataupun dunia bisnis, tetapi ternyata tidak selalu demikian. Ilmu marketing pun nyatanya bisa diadopsi pada berbagai macam bidang termasuk politik. Bahkan, jawara ilmu marketing dunia Philip Kotler mengatakan marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis semata (Kotler & Levy, 1969).
Dalam pemasaran politik dikenal salah satunya adalah publistitas politik. Publisitas merupakan upaya memopulerkan diri kandidat yang bertarung. Ada empat bentuk publisitas yang dikenal dalam khazanah komunikasi politik. Pertama, dikenal sebagai pure publicity, yakni memopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya.
Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut memopulerkan diri. Misalnya saja dengan tampil menjadi pembicara di sebuah forum yang diselenggarakan pihak lain, menjadi sponsor gerakan antinarkoba, turut berpartisipasi dalam pertandingan olahraga di sebuah daerah kantung pemilih dan lain-lain.
Ketiga, tie-in publicity yakni dengan memanfaatkan extraordinary news (kejadian sangat luar biasa). Misalnya saja peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga imbasnya memperoleh simpati khalayak. Sebuah peristiwa luar biasa, dengan sendirinya memikat media untuk meliput. Sehingga partisipasi dalam peristiwa semacam itu, sangat menguntungkan kandidat.
Keempat, paid publicity sebagai cara memopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan spot, iklan kolom, display ataupun juga blocking time program di media massa. Secara sederhananya dengan menyediakan anggaran khusus untuk belanja media.
Apabila telah dilaksanakan semua sehingga kita dapat kenali musuh, kenali diri sendiri, kemenangan tidak akan terancam. Kenali lapangan, kenali iklim, maka kemenangan akan lengkap (Sun Tzu).
Ada 6 (enam) jenis riset berikutnya yang penting dilakukan adalah riset marketing politik untuk memantau perkembangan opini publik.
Pertama, focus group analysis, dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan. Idealnya 12--14 bulan sebelum pemilihan. Riset dilakukan dengan membentuk empat sampai lima group diskusi yang masing-masing terdiri dari 8 sampai 12 orang.
Kedua, benchmark survey, untuk mengetahui perincian kekuatan dan kelemahan kontestan-kontestan yang bersaing. Pada survei ini diketahui juga peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dan tantangan atau ancaman yang mesti diantisipasi. Idealnya banchmark survey ini dilakukan 10 hingga 12 bulan sebelum pilkada dengan melibatkan 500 sampai 1.200 responden.
Ketiga, focus group analysis after benchmark, dengan melibatkan beberapa grup yang terdiri dari 8 sampai 12 partisipan, untuk mendiskusikan secara mendalam hasil benchmark survey.
Keempat, trend survey yang dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll. Hal ini dilakukan beberapa bula setelah benchmark poll, ketika kampanye sedang berjalan dimana masing-masing kontestan sudah menjalankan strateginya. Survei ini melibatkan 500 sampai 1.200 pemilih.
Kelima, dial meter atau tes pasar tentang iklan kontestan dan iklan pesaing berdasarkan hipotesis kandidat sebelum iklan disiarkan. Tes ini biasanya melibatkan 30 sampai 40 orang partisipan untuk melihat bagaimana respons partisipan terhadap iklan yang akan disiarkan.
Keenam, tracking polls, biasanya dilakukan pada minggu terakhir kampanye untuk mengetahui kecendrungan terakhir publik. Biasanya dilakukan dengan melibatkan 400 responden dengan menukar 100 responden setiap 2 malam. Tujuan tracking polls ini adalah untuk mengeluarkan "jurus terakhir" dari kandidat untuk memperebutkan kursi Pilkada.
Strategi 'Marketing' Politik
Supaya hasil marketing politik lebih maksimal, maka kandidat sebaiknya di samping berkutat pada pemanfaatan akses media massa dan riset politik belaka, tetapi perlu ditambah dengan pola atau strategi lain yang lebih kreatif dan inovatif. Karena sejatinya aktivitas marketing politik tidak hanya terpaku pada 2 hal itu saja tapi masih banyak yang lain.
Pertama, karena marketing politik lebih daripada sekadar komunikasi politik, menurut Lees-Marshmant (2001), ia mesti diaplikasikan pada seluruh roses organisasi parti politik. Tidak hanya pada momentum menjelang pilkada atau tahapan pemilu saja ia diejawantahkan, tetapi harus sedini mungkin, misalnya pada tahap bagaimana memformulasikan produk politik lewat penciptaan simbol, image, platform, isu politik hingga program kerja.
Kedua, dalam menerapkan marketing politik seyogianya menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya pada teknik marketing, tetapi juga sampai pada strategi marketing mulai dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, serta desain produk hingga ke market intelligent dan pemrosesan informasi.
Ketiga, dalam menerapkan marketing politik hendaknya juga melibatkan disiplin ilmu komunikasi, sosiologi, dan psikologi. Hal ini karena produk politik merupakan fungsi dari pemahaman komunikasi dan sosiologis mengenai simbol dan identitas, sedangkan faktor psikologisnya adalah kedekatan emosional dan karakter seorang pemimpin hingga pada aspek rasionalitas platform partai.
Keempat, penerapan konsep marketing politik jangan hanya berhenti hingga pemilihan umum tapi juga harus terus berlanjut setelah itu, yaitu proses lobi politik di parlemen. Justru di situlah efektivitas marketing politik dipertaruhkan.
Yang pasti, jika masing-maisng kandidat peserta pilkada ingin mendulang sukses dan meraih dukungan sebanyak-banyak dari rakyat dan masyarakat, penggunaan marketing politik (political marketing) yang efektif dan komprehensif sejak dini menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau tidak, Anda komunitas politik siap-siap gigit jari.
Ketokohan
Sebagai bahagian dari proses politico-economicizing telah terjadi pergeseran pola manajemen politik dari dominasi institutional (pemerintah dan partai politik) ke consumer oriented, yakni kekuatan massa (people power) melalui partisipasi sosial. Masyarakat sebagai konsumen politik akan membeli produk politik yang dianggap menguntungkan. Memilih kandidat sama dengan membeli barang.
Oleh karenanya, promosi, sosioalisasi dan "uji petik" kandidat yang akan dipilih sama dengan barang yang akan dipakai. Di sini kualitas kandidat menjadi faktor utama, dan pentingnya ketokohan dan panutan. Ketokohan yang dapat membaca maunya pemilih (mind reading), berempati dengan menunjukkan simpati kepada pemilih potensial dan pendukung emosional. Ketokohan juga diwujudkan pada pola pikir kewajaran dengan memperlakukan massa pendukung dan penentang kita secara proporsional, dan berkemampuan membangun dialog interaktif dengan cara lebih banyak mendengar apa maunya konstitutan.
Apabila mampu membangun suasana dialogis yang berkesinambungan, kandidat akan mampu menangkap peluang "pasar pemilih potensial" yang di hari "H" akan menjadi pemilih efektif. Adalah wajar jika kandidat menggunakan berbagai cara untuk membuka askses pada sumber daya politik berupa pusat informasi (information desk) bagi yang mempromosikan kandidat yang dijalankan oleh tim sukses. Terbentuknya berbagai "center, klub, front aksi", yang dibangun dan disponsori oleh kandidat merupakan upaya-upaya mencari cara dan format yang tepat sehingga melalui R & D (Research and Development) ini diharapkan dapat menghasilkan data akurat tentang pemetaan politik diri dan lawan.
Dalam konteks seperti ini faktor partai pendukung menjadi essential but not enough yakni penting tetapi tidak cukup menjamin, karena ketokohan kandidat akan menentukan karena yang dijual bukan politik ke kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy), bukan melalui perpanjangan partai yang dalam kamus politik dikenal "kedaulatan partai" (partycracy).
Selanjutnya, kandidat mengedepankan visi dan misi yang marketable, merupakan koridor tuntutan yang akan dicapai dalam upaya menarik hati pemilih sebagai kustomer. Untuk itu diperlukan memfokuskan pengalokasi potensi sumber suara pendukung politik dengan strategi membangun image kandidat. Berbagai potensi kandidat dipasarkan dengan menggunakan "merek" yang mudah dikenal (marketable branding) yang melekat/inherent pada diri kandidat. Keunggulan kandidat menjadi produk yang mudah dijual (saleable candidate) melalui sarana promosi, memanfaatkan berbagai sarana (political market places). Sebagian kandidat ada yang melakukan riset pasar untuk mencari kantong-kantong pendukung tradisional/basis massa loyal dan pendukung potensial/basis massa rasional.
Pilkada sebagai suatu proses transaksi political trading dalam jangka panjang dapat dikategorikan sebagai political investment. Agar tidak terjadi kolaborasi kohesif-negatif antara pemilih dengan kandidat setelah kemenangan dicapai yang akan syarat dengan politik balas budi (rewarding politics) dan berpotensi KKN, dibutuhkan adanya accountable politics, yakni etika politik yang diinstitusionalisasikan dengan kekuatan hukum positif bersanksi (law enforcement).
Jika tidak terbangun moral politik yang baik dan benar, sukses pilkada hanya dalam pelaksanaan pilkada (3 bulan) akan tetapi tidak menghasilkan pemimpin yang sukses membangung pascapilkada (5 tahun). Jadi pilkada bukan ditujukan hanya mendukung kondusifnya iklim politik jangka pendek dengan melihat Pilkada berjalan dengan aman.
Pascapilkada yang perlu dibangun adalah "memagari" bupati/wali kota terpilih dengan pagar hukum sehingga arah pembangunan sesuai dengan koridor hukum positif dan tujuan moral sosial. Kandidat terpilih diharapkan mampu membangun hubungan dengan konstituen dalam jangka panjang dengan jaringan berskala translokal. Sangat memungkinkan apabila sukses (memimpin dengan baik, dan mengelola administrasi dengan benar), akan mempermudah membangun political marketing.
Opini Lampung Post 01 Februari 2010