05 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Perlunya Bank Payment dan Settlement di Indonesia

Perlunya Bank Payment dan Settlement di Indonesia

Clausewitz: "If the leader is filled with high ambition and if he pursues his arm with audacity and strength of will, he will reach them in spite of all obstacles." Itulah sebenarnya esensi dari keunggulan perbankan di mana pun. Tugas utama bagi perbankan adalah memuluskan perdagangan atau merupakan 'oli' bagi terjadinya aktivitas perekonomian. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efisien bagi nasabah. Untuk itu, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Itu adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efisien itu, barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu.


Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran itu berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman. Kompetisi dalam jaringan perdagangan pada gilirannya juga menciptakan kompetisi dalam jaringan pembiayaan termasuk pembiayaan melalui perbankan.
Menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari pengertian itu, dapat dijelaskan secara lebih luas lagi bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan. Rochet dan Tirole (2003) dan Guthrie dan Wright (2007) mengatakan: "Network competition does not necessarily improve the structure of prices". Biaya perdagangan dengan demikian juga sangat tergantung dari biaya pembayaran perbankan. Kompetisi dalam perdagangan dipastikan juga menuntut kompetisi dalam pembiayaan perbankan. Permasalahannya adalah tidak adanya jaminan bahwa kompetisi dalam jaringan perbankan akan memperbaiki struktur harga dari pembiayaan itu sendiri. Untuk itu, biaya pembayaran justru sangat tergantung kepada adanya economies of scale dari perbankan yang memfokuskan usaha pada bidang pembayaran. Untuk mendukung hal tersebut, arsitektur perbankan bukan hanya berupaya mendesain kompetisi antarjaringan pembiayaan, melainkan memperlancar munculnya perbankan yang berorientasi skala ekonomi dalam bidang pembiayaan. Fakta itu didukung penelitian Chakravorti dan Rosen (2006) yang mengatakan: "The reduction in the total price improves overall welfare even when the resulting price structure is welfare dominated by the price structure when only one network exists." Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang. Dengan demikian, dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan tempo dulu mungkin penukaran uangnya dilakukan antarkerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran itu sekarang dikenal dengan nama pedagang valuta asing (money changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen sistem pembayaran nasional (SPN) ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya, BI juga mesti menetapkan kebijakan terkait dengan pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN. Untuk mencapai transaksi pembayaran yang semakin efisien, sistem pembayaran nasional (SPN) harus berdasarkan inside money atau transfer dari utang sehingga efisiensi akan semakin meningkat dengan adanya system netting dan tidak adanya cost of capital untuk memperlancar pembayaran. McAndrews dan Potter (2002): "Outgoing transfers as a linear function of the payments a bank receives from all other banks." Dengan demikian, bank pembayaran akan bersifat sentral dengan diikuti beberapa bank lainnya. Dengan semakin banyak jumlah bank pengikut dalam sistem bank utama pembayaran, dengan sendirinya kemampuan perbankan dalam melakukan outgoing transfer juga akan semakin meningkat. Untuk menopang strategi tersebut, biaya overdraft juga harus bersifat variabel dalam rangka mengurangi mismatch. McAndrews dan Rajan (2000): "Daylight over-drafts result because of a mismatch in timing between incoming funds and outgoing payments." Dengan demikian, risiko likuiditas dan risiko penyerahan diharapkan dapat dikurangi. Kejadian itu pernah terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu. Di sinilah peran dari Bank Indonesia semakin penting. Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran sistem pembayaran nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung infrastruktur yang andal (robust). Jadi semakin lancar dan andal SPN, akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar, muaranya adalah stabilitas nilai tukar. BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI memiliki kewenangan memberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Dengan menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antarbank melalui infrastruktur BI-real time gross settlement (BI-RTGS). Permasalahannya sistem penyerahan antarbank bukan tanpa risiko. Fed Chairman Ben S Bernanke pada Januari 2009 mengatakan, "..these developments have prompted banks to become protective of their liquidity and balance sheet capacity and thus to become less willing to provide funding to other market participants, including other banks. As a result, both overnight and term interbank funding markets have periodically come under considerable pressure, with spreads on interbank lending rates over various benchmark rates rising notably." Pepatah mengatakan jangan meletakkan telur dalam satu keranjang. Untuk itu, diversifikasi risiko likuiditas dan penyerahan haruslah dilakukan. Untuk setiap pasar aset, ada baiknya Bank Indonesia membuat sub-sub sistem pembayaran seperti adanya sistem penyerahan khusus bagi sistem pasar modal yang dilakukan perbankan tertentu seperti BCA. Dengan berjalannya waktu, bank-bank yang terbukti memiliki kompetensi sebagai bank pembayaran di pasar modal dapat memperluas cakupannya sebagai bank pembayaran dan penyerahan pada pasar aset lainnya. Belajarlah dari Clausewitz.

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
Opini Media Indonesia 6 Januari 2010