Oleh H. DANNY SETIAWAN
Partai Golkar baru saja membuka babak baru kiprah politiknya melalui mekanisme pergantian kepengurusan untuk periode lima tahun ke depan. Pergantian ini tentu mengisyaratkan suasana baru Partai Golkar dalam mewarnai perjalanan perpolitikan di Indonesia. Bukan saja karena ketua umumnya dimenangkan seorang pengusaha yang juga mantan menteri pada kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009, tetapi juga karena proses pergantian itu berlangsung dalam suasana politik yang diwarnai berbagai tantangan.
Proses demokratis yang sarat kepentingan ketika dua pengusaha-politisi, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh berebut suara, mencerminkan telah terjadinya pergeseran orientasi partai, terutama bila dibandingkan dengan iklim internal ”partai” pada masa Orde Baru. Aroma money politic pun tidak bisa dihindari mengemuka mewarnai suasana kompetisi. Pengaruh pergulatan dua pengusaha papan atas ini seolah telah membawa Partai Golkar untuk membuka lembaran baru pada kiprah politik yang diperankannya sejak, masa kelahiran Partai Golkar sekitar empat puluh tahun silam.
Sebagai kendaraan politik yang bisa dibawa ke mana pun, Golkar akan banyak bergantung kepada nakhoda yang menjadi pengendali utamanya. Golkar di bawah Jusuf Kalla tentu akan berbeda dengan Golkar dalam kendali Aburizal Bakrie. Kita juga dapat memprediksi jika pada pertarungan ketua umum beberapa waktu lalu dimenangkan oleh Surya Paloh. Ke mana arah perjalanan Golkar akan ditentukan oleh siapa pengendali utama dan ke mana orientasi politiknya, meskipun partai ini masih memegang kuat visi dan misi partai.
Dari kemenangan Aburizal Bakrie, kita dapat membaca ke mana kira-kira perahu Golkar akan berlayar. Namun tidak mudah memetakan, apakah perjalanan lima tahun ke depan akan memberikan jaminan berjayanya kembali Golkar. Beban yang harus dipikul partai berlambang beringin ini cukup berat. Sejak reformasi politik tahun 1998 yang ”memaksa” Golkar menegaskan eksistensinya sebagai partai politik, muncul sejumlah permasalahan terutama yang berkaitan dengan kiprah para kadernya dalam proses kekuasaan.
Tampilnya Aburizal Bakrie sebagai orang nomor satu partai yang pernah berkuasa di era Orde Baru ini, langsung ataupun tidak langsung, akan berimplikasi pada suasana dan orientasi Golkar, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, tanpa terkecuali di Jawa Barat. Di satu sisi, ada yang berspekulasi bahwa Golkar akan lebih mandiri karena kemampuan ekonomi individu ketua umumnya yang sangat bisa diandalkan. Akan tetapi di sisi lain, kehadiran pengusaha sebagai nakhoda partai politik juga dapat mengundang spekulasi yang berbeda, seperti munculnya kekhawatiran akan terjadinya pergeseran orientasi partai, dari ideologis-politis menjadi pragmatis-ekonomis.
Mungkin dalam konteks pragmatisme inilah munculnya isu konflik antara Ketua Umum Golkar dan Menkeu Sri Mulyani dalam wilayah kasus Bank Century. Boleh jadi kontroversi seperti itu justru sengaja dimunculkan dalam rangka pemanasan ketua umum baru sebelum merumuskan strategi baru yang akan dimainkan untuk kepentingan Pemilu 2014. Sebab mendesain kemenangan pada suatu pemilu itu harus dirancang sejak lima atau bahkan sepuluh tahun sebelumnya. Maka jika tafsir ini ada benarnya, inilah saatnya Golkar untuk memulai kembali berbenah diri.
Refleksi dulu dan kini
Secara historis, sebetulnya Golkar telah mengantongi pengalaman mengelola partai yang sangat kaya. Sejak awal kekuasaan Orde Baru, Golkar telah memulai kiprahnya mengamankan cita-cita dan usaha pembagunan Orde Baru. Golkarlah yang merumuskan strategi pembangunan dan siasat kekuasaan hingga Orde Baru dapat berkuasa lebih dari seperempat abad.
Empat puluh tahun lalu Golkar didirikan oleh komponen utama bangsa, ABRI, Korpri, serta ormas-ormas pendukung utama lainnya, seperti SOKSI, MKGR, Kosgoro, dan Angkatan ’45. Mereka bagian penting yang memberikan kontribusi signifikan dalam mengelola kekuasaan saat itu. Peran-peran politik yang dimainkannya secara tidak langsung telah melegitimasi sejarah kekuasaan dalam mengantarkan bangsa ini menuju tatanan baru setelah terbebas dari penjajahan.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Golkar berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu. Secara perlahan-lahan bangsa ini dihantarkan memasuki era pembangunan. Sukses Pemilu 1971 telah mendorong semangat baru pemerintahan Soeharto untuk menyederhanakan partai-partai politik melalui kebijakan fusi tahun 1973. Proses politik pun berjalan dari pemilu ke pemilu yang diikuti hanya dua partai politik dan satu golongan karya. Masyarakat pun dapat mewujudkan partisipasi politiknya dalam jumlah partai yang relatif sederhana.
Sukses Golkar yang pernah diprediksi akan berlangsung sepanjang usia Soeharto itu kini tinggal sejarah.
Oleh karena itu, dalam semangat perubahan inilah Golkar memikul beban politik yang tidak sederhana. Sejak reformasi tahun 1998, perjalanan politik Indonesia berubah total. Gairah politik masyarakat tumbuh sangat menakjubkan. Hanya dalam hitungan bulan, partai-partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan. Pilar-pilar demokrasi yang sebelumnya terpasung kaku mulai ditegakkan. Sesuai dengan tuntutan demokrasi pula komponen ABRI dan Korpri yang sebelumnya menjadi salah satu lapisan kekuatan Golkar mulai direposisi pada tempatnya yang harus netral. Dalam situasi seperti inilah secara berangsur kekuatan Golkar mulai melemah.
Kekuasaan negara yang berpusat pada otoritas presiden tidak serta-merta menopang kekuatan Golkar. Ia tidak lagi menjadi ”anak tunggal” penguasa yang dapat menempatkan partai-partai politik lainnya sebagai pengikut setia hampir semua kebijakan politik yang diambilnya. Bahkan secara internal pun Golkar mulai menuai konflik kepentingan yang sulit dihindari. Ketidakpuasan beberapa elite Golkar yang merasa terkungkung kekuasaan saat itu mulai berani melakukan koreksi dan introspeksi. Bahkan seiring dengan arus kebebasan yang mulai merebak, banyak di antaranya yang sengaja mendirikan partai politik baru atau ikut bergabung dengan partai politik lain, seperti Hanura, Gerindra, Demokrat, dan partai politik baru lainnya.
Selain itu, Golkar mulai kehilangan karisma yang menjadi perekat kohesifitas politik di antara sesama kader. Menurunnya kualitas keteladanan serta inkonsistensi sikap sejumlah pimpinan dan kader Golkar, pada gilirannya sangat berdampak pada penurunan kualitas konstituen pada umumnya. Menguatnya semangat pragmatisme serta menurunnya gairah pengabdian untuk ikut membesarkan partai pelan-pelan telah ikut menenggelamkan wibawa partai di mata masyarakat. Dalam suasana seperti inilah upaya merevitalisasi Partai Golkar menjadi sesuatu yang tidak sederhana.
Perubahan
Sejak awal, di antara kekuatan Golkar yang sangat menjanjikan di masa depan adalah dimilikinya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang dapat dibanggakan. Kader-kader terdidik Golkar tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kemampuan akademis dan praktisnya relatif seimbang. Oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan oleh para pemimpin partai adalah menempatkan kader-kader terbaiknya pada posisi-posisi yang layak sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya, tanpa harus terpenjara oleh kepentingan-kepentingan subjektif primordial, perasaan suka atau tidak suka, atau pertimbangan picik apakah seseorang itu bagian dari kelompok pendukung atau barisan opisisi.
Seleksi objektif dan profesional dalam penempatan jajaran kepengurusan, otomatis akan memperkuat bangunan partai ke depan. Rontoknya kader-kader muda potensial dari jajaran partai justru akan mempersempit langkah, khususnya dalam menghadapi persaingan dengan partai-partai baru yang lebih profesional. Sebagai instrumen pendidikan politik, parpol sejatinya sanggup memberikan teladan kepada masyarakat tentang arti penting demokrasi. Pentingnya sikap terbuka dan demokratis tidak hanya sebatas alat komunikasi politik untuk mewujudkan ambisi kekuasaan, tetapi harus menjadi pilar dalam upaya mencerdaskan politik bangsa.
Selain itu, perubahan konstruktif akan ditentukan oleh konsistensi para elite dalam mewujudkan visi dan misi partai. Visi misi partai ini idealnya dirumuskan terutama untuk kebutuhan kendali orientasi sekaligus memelihara komitmen pengabdian, dan bukan untuk mewujudkan ambisi sekelompok kecil elite partai. Oleh karena itu, visi misi partai harus menjadi acuan program yang dikembangkan secara realistis untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih sejahtera. Orientasi inilah yang dalam jangka panjang akan menjadi investasi sosial yang sangat mahal dalam melakukan perubahan positif menuju partai yang lebih berwibawa di mata publik.
Seiring dengan perubahan struktur masyarakat yang pada sepuluh tahun terakhir memperlihatkan iklim yang semakin demokratis, perlu pula dipertimbangkan untuk mengubah gaya kepemimpinan partai, dari gaya birokratis menuju pola kepemimpinan yang lebih demokratis populis. Kepemimpinan partai bukan saja akan berkaitan dengan organ-organ partai, tetapi juga akan menyentuh struktur sosial yang lebih luas. Perubahan gaya kepemimpinan ini tidak serta-merta menafikan norma-norma yang berlaku secara formal. Kepemimpinan demokratis populis dapat diperankan para pemimpin partai dengan tetap memelihara aturan-aturan normatif partai yang telah disepakati.
Inilah beberapa poin strategis yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan para pemimpin Partai Golkar ke depan. Dalam skala mikro, pokok-pokok pikiran yang mungkin dipandang klise oleh sebagian orang ini dapat dimulai dari ikhtiar bersama para peamimpin partai dalam skala yang lebih kecil, mulai dari pembenahan kelembagaan partai tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Di Jawa Barat misalnya, Golkar di bawah kepemimpinan Bung Yance Irianto dan jajarannya dapat melakukan berbagai terobosan dan pembaharuan sistem untuk mewujudkan sistem kepartaian modern, baik menyangkut struktur kelembagaannya maupun tatanan sumber daya manusianya.
Berat memang, tetapi harus dimulai. Selamat berjuang, semoga kejayaan Golkar yang tampak semakin memudar selama ini dapat berangsur pulih kembali dan pada gilirannya dapat berjaya kembali.***
Penulis, mantan Ketua Dewan Penasihat Golkar Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 6 Januari 2010