Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada Rabu 30 Desember 2009. Keppres tersebut mengatur ruang lingkup tugas Satgas sekaligus menunjuk personel yang mengisi Satgas tersebut.
Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum adalah Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, Sekretaris Satgas Denny Indrayana. Anggota Satgas terdiri atas Wakil Jaksa Agung Darmono, Herman Effendi dari Mabes Polri, mantan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Mas Achmad Santosa mewakili kalangan profesional, serta Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Hussein.
Presiden SBY memberikan waktu kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk bekerja selama dua tahun. Presiden mengharapkan satgas ini terus berupaya menjaga agar penegakan hukum berjalan baik, termasuk untuk memberantas perilaku yang menyimpang dan merusak rasa keadilan dan mengganggu penegakan hukum .
Mafia hukum merupakan salah satu elemen yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses hukum. Distrust dan mistrust yang berkembang di masyarakat atas proses hukum Chandra dan Bibit ditengarai karena adanya mafia hukum. Mengapa mafia dalam penegakan hukum kita masih terus terjadi?
Tak sulit menjawabnya. Salah satu jawabannya adalah ketika niat baik untuk menjaga kewibawaan hukum belum membumi dan mengakar di hati para aparatur penegak hukum itu sendiri. Bahkan yang sering terjadi adalah perselingkuhan hukum. Hukum diperjualbelikan oleh mafia atau Markus (makelar kasus).
Jual beli perkara hanya salah satu bentuk praktik mafia peradilan. Dalam skala lebih luas, mafia peradilan adalah jejaring yang berupaya memperdagangkan kewenangan hukum. Kasus Bibit dan Chandra adalah contoh nyata para mafioso hukum telah membeli kewenangan para penegak hukum yang memiliki kekuasaan di negeri ini.
Kalau sudah begini, maka aksi mafia hukum yang bergerak di berbagai ranah hukum memang semakin jelas saja. Sebelumnya publik hanya mengira-ngira berbagai dugaan akan adanya mafia tersebut. Tetapi kartu truf yang dibuka oleh Mahkamah Konstitusi saat membuka rekaman sadapan percakapan telepon Anggodo, mengisyaratkan bahwa mafia hukum tersebut memang hadir secara masif di negeri ini.
Mafia hukum itu bukan hanya melibatkan para pelaku kejahatan. Mereka, jika benar, berhubungan erat dan dekat dengan petinggi hukum baik dari kejaksaan maupun kepolisian juga pengadilan. Meski demikian, para penegak hukum tampaknya terus mencari pembenaran untuk mempertahankan gengsi lembaga dengan oknum-oknumnya yang terlibat jejaring mafioso itu. Gambaran seperti dalam reality show itu menunjukkan betapa dahsyat kekuatan para pengusaha hitam di negeri ini. Mereka bukan saja memperdaya oknum pejabat, tetapi ikut berupaya melumpuhkan atau mendelegitimasi lembaga pemberantas korupsi produk reformasi (KPK).
Menurut Rifqi S Assegaf & Josi Katharina (2000), semakin tertutup pengadilan, mafia peradilan akan semakin menemukan puncak kekuatannya. Penikmat mafia peradilan adalah pengkhianat paling nyata cita-cita dasar hukum untuk menciptakan ketertiban, menghadirkan keadilan. Di tangan gangster peradilan, hukum lahir sebagai produk yang dapat diperjualbelikan dan akhirnya dinistakan. Akibatnya, segala bidang kehidupan terimbas. Penistaan hukum akan mengakibatkan nistanya seluruh sendi kehidupan, penistaan masyarakat keseluruhan, penistaan kemanusiaan kita sebagai bangsa Indonesia.
Kita tentu tidak berharap jika program pemberantasan mafia hukum sebagai prioritas Presiden SBY akan menjadi pepesan kosong. Atau, bahkan yang lebih menyedihkan jika kebijakan itu disusun hanya untuk memoles citra seorang Presiden supaya terkesan serius dalam memberantas korupsi. Agar program pemberantasan mafia hukum bisa efektif dan tidak sekadar simbol, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
Pertama, adanya sanksi tegas dan prosesnya cepat pada setiap pejabat yang tersangkut kasus-kasus hukum dan markus dalam semua lini. Selanjutnya, reformasi total di semua lembaga peradilan untuk membersihkan lembaga peradilan dari mafia hukum dan Markus yang sudah merusak sistem hukum. Sebab, selama ini lingkungan peradilan justru banyak melahirkan mafia hukum khususnya dari polisi, jaksa, dan hakim.
Kedua, kewenangan Satgas semestinya diperluas tidak hanya melakukan koordinasi, evaluasi, dan koreksi. Sebab, kebanyakan pelaku kejahatan hukum (korupsi, suap dan lainnya) adalah oknum pejabat hukum. Sangat mungkin, Satgas akan menghadapi perlawanan yang luar biasa. Mereka yang dituduh sebagai pelaku mafia hukum akan melakukan perlawanan, baik melalui prosedur maupun di luar prosedur hukum. Bahkan, bila tidak hati-hati, perlawanan akan dilakukan dengan melibatkan institusi asal dan dijadikan polemik di masyarakat melalui opini.
Ketiga, pola rekrutmen yang bersih, transparan, dan akuntabel di setiap lembaga peradilan untuk memperoleh personel dan SDM yang memiliki kapasitas, integritas, dan moralitas yang tinggi. Maraknya praktik mafia peradilan di lingkungan lembaga peradilan sekaligus mencerminkan gagalnya lembaga pengawas semacam Komisi Kejaksaan atau Komisi Kepolisian. Masalahnya, komisi-komisi semacam ini lahir dan diisi oleh orang-orang dari sebuah rekrutmen yang buruk sekaligus wewenang yang terbatas.
Keempat, pengawasan eksternal dari masyarakat umum, LSM, media massa, akademisi terhadap setiap proses peradilan mulai dari tingkat bawah. Hal ini tentu dilakukan secara efektif, efisien, terorganisasi dengan baik serta konsisten, misalnya membuka jaringan pemantau peradilan yang lebih luas, melibatkan seluruh komponen masyarakat, Ormas, Parpol, serta benar-benar bisa dirasakan masyarakat terutama masyarakat yang menjadi korban mafia hukum. Dukungan publik bagi Satgas sangat penting, sehingga publik tidak akan melihat sebelah mata.
Kelima, keberhasilan pemberantasan mafia hukum harus memperhatikan kesejahteraan para pejabat hukum. Bila kesejahteraan tidak diperhatikan, pemberantasan mafia hukum bisa jadi hanya slogan sesaat.
Negeri ini harus diselamatkan dari para koruptor dan mafia hukum. Mafia bisa diberantas hanya bila ada keberanian untuk menggunakan kekerasan hukum yang dikomandoi nurani dan akal budi. Tidak dikerdilkan oleh rezim bukti dan prosedur. -
Oleh : Muh Abu Nasrun Kepala SD Muhammadiyah 1 Solo
Opini SOlo Pos 6 Januari 2010
05 Januari 2010
Satgas mafia hukum, pepesan kosong?
Thank You!