Kekhawatiran adanya benturan peradaban yang dulu sempat diramalkan seorang Samuel Huntington tidak sepenuhnya terbukti. Ada yang lebih mengkhawatirkan daripada sekadar benturan peradaban tersebut. Yaitu keadaan dunia itu sendiri yang makin menua dengan bebannya yang makin berat.
Permasalahan dan isu yang ada menunjukkan segudang permasalahan kemanusiaan. Mulai ledakan penduduk dunia yang tidak terkontrol, tingkat kematian ibu dan anak yang masih tinggi, jumlah penderita HIV, penyakit pandemi yang disebabkan virus seperti H5N1, krisis pangan hingga benturan keras perebutan sumber daya alam antarbangsa melalui perusahaan-perusahaan swasta yang mewakilinya. Isu yang terbaru dan membawa dampak langsung pada kehidupan manusia adalah perubahan iklim disebabkan adanya global warming, hutan tropis yang berkurang, dan mencairnya es di kutub. Adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan tergilasnya budaya dan kearifan lokal berganti dengan penetrasi budaya bangsa lain. Ini juga sebuah permasalahan serius.
Bangsa-bangsa lain begitu perhatian terhadap isu-isu ini. Mereka berusaha merespons dan mengatasi permasalahan. Sigap menyiapkan bangsanya untuk mengantisipasi dan terus meningkatkan daya saingnya jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Sementara itu, Indonesia masih terikat dan terpenjara dengan keadaannya sendiri. Semua hal dipolitisasi dengan berbagai tujuan untuk kepentingan pragmatis jangka pendek.
Jika melihat keadaan Indonesia sekarang ini, sepertinya bangsa yang sebenarnya besar ini belum siap untuk menjadi bangsa dan negara maju. Bangsa yang maju adalah apabila peran pemerintah tidak dominan. Kenyataannya, di bumi Nusantara ini, peran negara sangat dominan. Atau bahkan rakyat tidak terlalu terpengaruh ada atau tidaknya sebuah pemerintahan. Dengan meminjam istilah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Allah telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luar biasa menakjubkan. Siapa pun pemerintahnya, bagaimana cara memerintahnya, kenyataannya rakyat tetap mampu hidup cari makan sendiri.
Rakyat yang telah lama menyelesaikan masalahnya sendiri belakangan digiring untuk mengikuti sebuah perhelatan akbar yang bernama politik. Melek politik adalah sebuah keharusan. Namun, tidak perlu juga masyarakat menjadi partisan hanya gara-gara politik dan menghabiskan energinya di ranah ini. Partisan membuat masyarakat terkotak-kotak. Lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan daripada kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa.
Kita tidak tahu persis kenapa ini terjadi di sebuah bangsa yang mengaku berketuhanan yang maha esa. Sederet permasalahan rasanya tidak akan pernah berhenti mengantre untuk diselesaikan. Mulai hilangnya semangat kebangsaan, hukum yang sudah kehilangan keadilannya, moralitas yang dipertanyakan hingga makin lemahnya daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Budaya feodal yang menganggap pemimpin sebagai wakil Tuhan yang tidak pernah salah dan adanya sikap pejah gesang ndherek panjenengan serta sikap yang pasrah dan nrimo yang fatalis adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama.
Belum lagi keadaan dengan orientasi pada materi cenderung berlebihan. Bisa jadi Indonesia menjadi bangsa paling materialistis di dunia. Dengan demikian, banyak yang menempuh berbagai cara untuk mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi. Akhirnya, menggunakan jalan pintas dan korupsi dipandang sebagai hal yang lumrah dan biasa. Bahkan seorang koruptor pun sudah tidak merasa hina dan malu. Lembaga publik pun dibelokkan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Itulah yang menjelaskan kenapa lembaga publik sering tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Yang mengkhawatirkan adalah politik tidak didedikasikan untuk
memperjuangkan kepentingan publik (rakyat). Namun, masih sekadar dijadikan sebagai alat berebut kekuasaan. Politik sebagai kendaraan untuk memperebutkan kekuasaan ini sudah membudaya di bangsa ini. Biasa apabila dalam pergantian pengurus sebuah partai atau organisasi selalu sibuk dengan keributannya sendiri. Ini terjadi karena adanya orientasi kekuasaan yang diperebutkan. Bahkan tidak segan menggunakan cara-cara yang mengingkari hati nurani. Menghabisi lawan baik secara fisik maupun menghabisi karakternya (character assassination). Fatsun dan kesantunan berpolitik telah mulai bergeser.
Budaya politik yang elegan dan santun menjadi budaya politik yang
Machiavelis. Politik jadi memuakkan di mata rakyat karena sering diikuti intrik kekuasaan dan gelimang uang yang dipertanyakan asal usulnya. Sistem demokrasi yang kita ambil sepertinya menyisakan banyak pertanyaan. Apakah masyarakat kita sudah siap dengan sistem demokrasi seperti sekarang yang kebablasan. Nilai demokrasi yang awalnya baik bisa berubah karena dinodai perilaku para politisinya sendiri.
Ini semua terjadi karena adanya ketakutan-ketakutan. Takut kalau kehilangan jabatan dan kedudukan. Takut kehilangan materi. Takut kalau kehilangan pengaruh dan kekuasaan. Budaya takut itulah yang sekarang ini merasuk dan menyelimuti hati bangsa Indonesia.
Simpul kesadaran spiritual baru
Dengan mengambil semangat 1 Muharram 1431 H dan 1 Januari 2010, kita semua berharap adanya hijrah dan transformasi berupa munculnya sebuah simpul kesadaran spiritual baru. Simpul kesadaran ini bisa ada di mana saja, di kelompok masyarakat apa saja. Tidak tersekat pada agama, suku, golongan, maupun partai politik tertentu.
Simpul kesadaran spiritual baru mempunyai kesadaran yang sama didorong nilai-nilai ilahiah yang universal untuk memperjuangkan dan membela sebuah kebenaran. Tidak ada rasa takut pada siapa pun maupun dalam keadaan apa pun.
Menggunakan hati sebagai cermin untuk berkaca dalam setiap mengambil keputusan dan tindakan. Kekuatan yang seperti itu tidak ada yang mampu membendungnya. Solidaritas sosial yang tumbuh dari masyarakat dan terus berkembang tanpa ada yang kuasa menghentikannya. Simpul kesadaran spiritual itu terbukti mampu menggalang kekuatan bersama. Seperti kekuatan masyarakat yang meminta mengusut kasus Bibit-Chandra, kasus Prita, hingga kasus Mbah Minah dan tiga butir kakaonya. Sekarang tinggal menunggu kasus Century.
Apabila ada 'ketidakberesan' dalam mengungkap kasus ini, yang dihadapi adalah kekuatan rakyat. Rakyat akan melawan dengan kekuatan spiritual yang tidak akan bisa dilumpuhkan.
Simpul kesadaran spiritual baru adalah sebuah kesadaran yang mampu mencerabut dirinya dari seluruh hiruk-pikuk yang terjadi untuk melihat secara keseluruhan dengan cara pandang yang jernih dan komprehensif (helicopter view). Dengan demikian, mampu melihat sebuah kebenaran secara objektif dan berpihak pada kebenaran itu sendiri. Menempuh jalan spiritual bukanlah pelarian dari hiruk-pikuk permasalahan itu sendiri. Ini adalah kontemplasi sebagai sebuah perjalanan (suluk) untuk menjemput jalan terang dari Tuhan.
Refleksi nilai-nilai ketuhanan
Kekuasaan itu dipergilirkan. Tuhan memberikan kekuasaan kepada yang dikehendaki dan mencabut kekuasaan dari yang Dia kehendaki. Apabila melihat ini, kekuasaan adalah bukan sesuatu yang harus diperebutkan dengan cara-cara yang hina, melainkan dijalankan dengan tetap mengemban amanah dari yang memberi kekuasaan itu sendiri, yaitu yang Maha Kuasa. Ketika berpolitik pun orientasinya bukan semata-mata untuk kekuasaan. Ada tujuan yang lebih daripada itu, yaitu sebagai sebuah perjalanan untuk menjemput jalan terang dari Tuhan. Kalau jalan spiritual yang ditempuh, yang ada adalah politik yang santun, elegan, berbudaya penuh dengan kesalehan sosial bukan budaya politik seperti sekarang ini.
Oleh Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional
Opini Media Indonesia 6 Desember 2009
05 Januari 2010
» Home »
Media Indonesia » Budaya Politik dan Politik yang Berbudaya
Budaya Politik dan Politik yang Berbudaya
Thank You!