05 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Meretas Pemikiran Retradisionalisme

Meretas Pemikiran Retradisionalisme

DALAM spektrum pemikiran, ide yang digelontorkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semasa hayatnya menjadi injeksi positif bagi perkembangan pemikiran keislaman anak muda, terutama pada kalangan nahdliyyin. Gus Dur telah menancapkan fondasi pemikiran untuk menghargai keragaman etnis, agama, dan bahasa di Indonesia. Bersama Nurcholish Madjid (Cak Nur), Gus Dur telah menanamkan pemikiran yang begitu luas berpengaruh, terutama di kalangan intelektual muda yang kemudian menjadi anak didiknya di Nahdlatul Ulama.


Yang membedakan dari Cak Nur, Gus Dur membangun pemikiran keagamaannya dengan menyandarkan diri pada tradisi. Sementara Cak Nur mengawali pembaharuan pemikiran keagamaan dengan lebih banyak merujuk pada modernitas sebagai kerangka kerjanya. Para pemerhati pemikiran keagamaan di Indonesia kemudian mencoba menelusuri kerangka epistemologi apa yang sesungguhnya tengah diusung oleh Gus Dur.

Greg Barton, sejauh pengetahuan saya yang mula-mula mengidentifikasi pemikiran Gus Dur. Dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Barton yang juga sahabat dan penulis buku biografi Gus Dur, mengelompokkan Gus Dur dalam gerbong Islam liberal. (Barton: 1999).

Liberalisme yang dimaksud Barton dalam bukunya tersebut sesungguhnya mengacu pada apa yang disebut sebagai satu konteks yang islami dari pandangan liberal dari sejumlah intelektual muslim. Barton menunjukkan bahwa kategorisasinya itu merujuk pada agenda yang diusung oleh Gus Dur. Beberapa di antaranya adalah keteguhan Gus Dur untuk membuka wacana ijtihad dan kebebasan berpikir dalam Islam.

Barton beranggaan bahwa tradisi liberalisme Islam di Indonesia dengan cukup gemilang berhasil mengakurkan kesarjanaan Islam klasik dengan teori-teori sosial dan metode analisis dari Barat. Islam liberal juga bisa dilihat dengan merujuk pada tinanda bahwa ada persepsi tentang pemilahan antara agama dan negara, penghargaan terhadap keragaman serta berkawan dengan ide-ide demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Yang terjadi kemudian, Gus Dur disejajarkan dengan Cak Nur, Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi sebagai pemikir muslim liberal Indonesia. Saya kira ada yang luput dari pengamatan Barton. Bagaimana ia memahami ide pribumisasi Islamnya Gus Dur? Dari sinilah kita masuk pada pencarian genre berikutnya yang berakar pada tradisi.

Atas dasar pembacaan yang kurang komprehensif yang dilakukan Barton, maka Gus Dur Studies merambah arah baru, yakni soal tradisi. Latar belakang keilmuan Gus Dur yang sangat lekat dengan dunia pesantren mengilhami satu genre baru dengan menempatkan tradisi sebagai konteks yang hidup. NU, sebagai konteks dimana Gus Dur berinteraksi, sering diidentikkan dengan kelompok tradisional yang  konservatisme. Kelompok ini dianggap sulit mengapresiasi gagasan-gagasan pembaharuan. Namun, situasi ini mulai berubah ketika Gus Dur menjabat Ketua mum PBNU. Geliat intelektual berubah cukup pesat.

Yang terekam saat itu adalah sebuah pengembangan wacana-wacana keagamaan yang sangat fantastis. Stigmatisasi sebagai kelompok tradisional yang hanya berurusan dengan hal yang berbau mistis, sudah tidak lagi nampak. Mereka justru memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka, dan peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan sosial.  Konsekuensi dari sikap ini adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran. Yang menjadi aktor disini tentu kebanyakan adalah generasi muda NU yang mendapatkan berkat naiknya Gus Dur menjadi pimpinan PBNU.

Tradisi untuk senantiasa berpikir kritis dan menentang segala bentuk kemapanan, menggiring komunitas muda NU untuk terus menerus melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama yang tidak relevan dengan perkembangan zaman, dimodifikasi dan disesuaikan dengan gerak masyarakat yang semakin dinamis.

Satu hal yang tetap mereka jadikan pijakan dari berbagai bentuk inovasi pemikiran itu adalah keteguhannya untuk tetap berpegang pada tradisi. Karenanya, Gus Dur yang memberikan jalan bagi perkembangan pemikiran dalam komunitas muda ini  sebenarnya mengemban misi yang masuk dalam kategori pemikir post-tradisionalisme Islam.

Menurut Marzuki Wahid (2000) post-tradisionalisme Islam yang dimaksudkan adalah gerakan lompat tradisi. Artinya gerakan ini berangkat dari suatu tradisi yang secara terus- menerus berusaha memperbarui tradisi tersebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas. Karena intensifnya berdialog dengan kenyataan modernitas, maka terjadilah loncatan dalam kerangka pembentukan tradisi baru yang sama sekali berbeda dari tradisi sebelumnya.

Post-tradisionalisme Islam di Indonesia merupakan sebuah kontruksi intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya lokal Indonesia dan bukan dari tekanan luar yang berinteraksi secara terbuka bukan hanya dengan berbagai jenis kelompok masyarakat tetapi juga mengondisikan mereka berkenalan dengan pemikiran-pemikiran luar yang bukan berasal dari dalam kultur tradisionalisme.(Tashwirul Afkar, 2000; 24-30)

Meski begitu kemudian muncul upaya untuk melihat kembali keterkaitan Gus Dur dengan post-tradisionalisme Islam. Lontaran ini pernah diungkapkan oleh Ahmad Suíaedy, Direktur Wahid Institute. Sudah bisa dipastikan bahwa Gus Dur adalah pengawal tradisi agama (baca : tradisionalis).

Tradisi itu oleh Gus Dur kemudian dibaca, ditafsiri dan kemudian dikritisi. Tradisi adalah warisan kultural yang sangat berharga. Dia tidak menginginkan tradisi itu hanya sebagai barang mati yang tidak mampu memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia. Makanya, dia melihat kalau tradisi yang ia maksud haruslah merupakan suatu yang berakar tetapi juga elastis terhadap dinamika sosial.

Argumentasi Gus Dur soal pribumisasi Islam misalnya, membuktikan kalau ia mencoba mendialogkan agama dengan persoalan kehidupan keseharian. Dia berupaya untuk membangkitkan tradisi dan tidak melompatinya. Karena itu, menurut penulis, Gus Dur berada pada jalur retradisionalisme Islam. Istilah ini merujuk pada sebuah artikel Gus Dur yang berjudul ìReideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politikî. Tulisan ini dimuat kembali dalam buku Islam Kosmopolitan (2007; 193).

Menurut Gus Dur, nilai-nilai Islam yang menjiwai kehidupan kaum muslimin dicoba dihidupkan dengan mengaitkannya dengan kerangka ideologis. Namun, ideologinya tidak merupakan ideologi politik, melainkan kultural. Di sinilah kemudian menunculkan retradisionalisasi yang dimaknai sebagai langkah di mana tradisi masa lalu direkatkan dan dikaitkan satu sama lain dengan sebuah kerangka tradisi yang utuh, antara tradisi dan ideologi, walaupun hanya ideologi kultural, lalu terjadi kaitan simbiosis untuk saling mendukung dan saling menguatkan. Di sinilah Gus Dur melakukan semacam al-tajdid min al-daakhil alias pembaharuan dari dalam.

Tradisi ini, harus pula dipahami dalam konteks Islam seperti yang ada dalam pandangan kelompok NU, bukan Islam radikal. Jadi retradisionalisme itu semacam pengukuhan lebih keras dan sempit terhadap tradisionalisme itu sendiri. Saya kira di sinilah sesungguhnya Gus Dur berada. Tentu saja pencarian jalur intelektual Gus Dur yang saya lakukan bukanlah hasil akhir yang memuaskan. Gus Dur adalah teks yang selalu terbuka dan menarik untuk dikaji.

— Tedi Kholiludin, mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW Salatiga
Wacana Suara Merdeka 6 Januari 2010