Dengar-dengar––bahasa Jawanya krungu-krungu, bahasa Belandanya horenhoren––, DPR mau bikin pansus lagi. Pansus Susno Duadji. Pasalnya, mantan Kabareskrim itu bersaksi yang meringankan terdakwa Antasari Azhar.
Maka demi kebenaran, demi kejujuran, demi bangsa, demi rakyat, bahkan demi Tuhan perlu dibentuk pansus untuk klarifikasi. Namun krungu-krungu juga, anggaran biaya satu pansus bisa miliaran rupiah. Padahal Pansus Bank Century saja belum jelas juntrungannya, malah kita disuguhi adegan saling caci-maki antarsesama anggota Pansus.
Meskipun setelahnya mereka bersalaman dan berangkulan, yang timbul dalam benak saya adalah ketidakpercayaan apakah Pansus ini benar-benar mampu mengungkapkan kebenaran? Di sisi lain, juga krungu-krungu, katanya buku Gurita Cikeas sangat dicari orang yang ingin tahu sampai berapa besar korupsi yang dilakukan oleh keluarga Cikeas dan kronikroninya? Krungu-krungu, kata televisi, buku itu dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.
Walaupun dibantah oleh Kejaksaan Agung, nyatanya memang di toko-toko buku tidak ada. Namun, beberapa hari terakhir, saya lihat buku Gurita Cikeas dijual asongan di setiap perempatan jalan di Jakarta. Ratusan, mungkin ribuan eksemplar. Namun sejauh ini saya belum melihat ada penumpang kendaraan yang membeli buku itu. Saya juga tidak menemukan yang sudah membelinya di antara teman-teman saya.
Saya jadi tidak percaya lagi, benarkah buku ini begitu dicari oleh masyarakat? Saya sendiri tidak membeli karena saya pikir isinya tidak jauh-jauh dari apa yang selama ini diperbincangkan hebat sekali di televisi. Untungnya di televisi juga ada sinetron. Saya tidak suka sinetron. Khayal, isinya kebohongan melulu dan tidak jauh-jauh dari persoalan harta, warisan, cemburu, dan fitnah.
Saya suka menegur istri saya kalau dia sedang asyik menonton sinetron. Namun dia menjawab, “Berita televisi isinya juga sama. Gak jauh-jauh dari duit, cemburu sosial, dan fitnah. Tetapi nonton sinetron santai, gak pusing seperti nonton berita.”
Namun akhirnya setiap malam percekcokan rumah tangga itu selesai ketika pukul 21.30 WIB Reynaldi Arwana mulai acara krungu-krungu-nya. Anehnya, dalam acara itu Tukul dan tamu-tamunya juga saling mengejek dan mencela, tetapi tidak ada yang sakit hati. Malah semua tertawa, termasuk saya dan istri yang menonton di rumah. Mengapa beda banget dengan diskusi di Pansus?
Zaman Dulu
Di tahun 1950-an, waktu saya masih di SD dan SMP, saling maki dan saling fitnah juga saya baca setiap hari di koran-koran. Begitu juga saya sering mendengar almarhum eyang kakung saya yang mantan aktivis Sarikat Islam dan ibu saya yang anggota DPRD Kota Tegal berdiskusi soal politik ketika itu.
Zaman itu adalah zaman demokrasi liberal (sebelum Bung Karno pada 1959 mendekritkan kembali ke UUD 1945). Setiap partai politik punya koran sendiri. PNI (nasionalis) punya Suluh Indonesia, PSI (sosialis) punya Pedoman, dan PKI (komunis) punya Harian Rakyat.
Partai lain juga punya, tetapi saya lupa nama-namanya. Koran-koran itu saling memaki, mengkritik, dan kabinet juga silih berganti, jatuh-menjatuhkan, bahkan ada kabinet yang hanya berumur tiga bulan. Namun ketika itu belum ada televisi dan radio juga hanya ada RRI. Gejala krungu-krungu sudah ada, tetapi tidak terlalu bikin pusing orang awam karena tidak diartikulasikan oleh media massa televisi yang daya pengaruhnya jauh lebih besar dari media cetak dan radio.
Di zaman sekarang yang sudah ada puluhan stasiun televisi di Indonesia (tidak termasuk televisi kabel), dampak krungu-krungu itu jelas jauh lebih dahsyat. Wapres Boediono––bersama Presiden SBY––yang sudah jelas-jelas dipilih oleh lebih dari 60 persen rakyat dalam pemilu yang mulus, aman, bebas dari kekerasan, dan sah menurut konstitusi bisa diminta mundur hanya oleh 30 orang anggota Pansus yang di antara mereka sendiri pun masih saling mencaci-maki.
Apalagi hanya seorang menteri yang namanya Sri Mulyani. Silakan saja seluruh dunia menobatkannya sebagai menteri keuangan terbaik sedunia, tetapi Pansus lebih hebat. Padahal dasarnya hanya krungu-krungu karena pemeriksaan memang belum tuntas. Mentalitas krungu-krungu inilah yang merupakan salah satu “penyakit” bangsa kita sekarang. Baru dengar-dengar sedikit sudah bereaksi. Opini publik cepat sekali terbangun dan masyarakat, dengan dipelopori para elite politik dan pakar/pengamat asli maupun jadi-jadian, cepat sekali bergerak.
Unjuk rasa, bikin petisi, bakar ban, dorong-dorongan lawan polisi, lempar-lempar kaca, rusak-rusakan dan semua konflik etnik, religi, dan antargolongan yang terjadi di era Reformasi ini, semua hanya bersumber pada krungu-krungu. Celakanya, kalau untuk merusak cukup bersumber pada krungu-krungu, untuk membangun tidak bisa hanya berdasar krungu-krungu.
Untuk membangun perlu ada penelitian, analisis dampak lingkungan, rencana anggaran dan seterusnya, yang makan waktu lama karena perlu pemikiran yang serius. Nah, dalam keadaan kehancuran bangsa ini sejak lebih dari 10 tahun yang lalu belum pulih total, kita sudah mau hancur-hancuran lagi, yang konon demi rakyat sampai demi Tuhan itu. Terus apa yang hendak kita capai sebenarnya?(*)
Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia
Opini Okezone 15 Januari 2010
14 Januari 2010
Mentalitas Krungu-Krungu
Thank You!