14 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Pahlawan Masa Depan

Pahlawan Masa Depan

Sejak kita merdeka, dari lima mantan RI-1 hanya Ibu Mega yang mengakhiri masa jabatannya tanpa kekisruhan. Lain-lainnya, betapa pun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan. Itu menandakan, betapa pun besar pujian orang luar mengenai demokrasi kita, sejujurnya kita masih dalam tahap belajar berdemokrasi.

Kata sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975), bila menginginkan rezim demokrasi berjalan memuaskan, etika dan kemampuan intelektual jajaran pimpinannya harus demikian tinggi hingga rakyatnya tidak merasa dipaksa mematuhi kepemimpinannya. Namun fakta sejarah menunjukkan, jarang sekali ada rezim demokrasi semulus itu.


Maka ingar-bingar politik yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya wajar karena masih begitu banyak ketidakberesan dalam tata negara maupun tata masyarakat kita. Prakarsa RI-1 membentuk tim-tim untuk menembus berbagai jalan buntu, khususnya di bidang hukum, seharusnya mendapat acungan jempol. Sebab nyata-nyata ada kebuntuan. Sebut saja soal mafia hukum. Namun ada saja yang menghendaki agar digunakan jalur resmi yang sudah ada. Mungkin banyak yang menginginkan status-quo. Sayang bahwa pendapat demikian justru datang dari pihak-pihak yang seharusnya mengadakan pendobrakan. Tindakan satgas yang membongkar ketidakwajaran di lapas, misalnya, yang mencerminkan gelagat mafia hukum, malahan dianggap mencari kepopuleran. Padahal dengan tindakan itu, rakyat semakin tahu hal-hal yang melanggar rasa keadilan.

Menyemai tunas-tunas baru

Ibarat berkebun, sekitar dua pertiga tanaman mungkin sudah rusak; karena tua atau karena sebagian besar kena hama. Itulah gambaran masyarakat kita--menua atau sebagian kehilangan nilai-nilai dan norma. Tukang kebun berusaha menyelamatkannya, bukan hanya dengan obat pembasmi hama, tetapi segala macam cara diupayakan. Itulah yang dilakukan RI-1 ketika mencanangkan program ganyang mafia hukum. Tindakannya seperti membangunkan harimau tidur. Terdengar aum banyak harimau di mana-mana. Bagaimana kelanjutannya, ikuti saja prosesnya agar kita belajar siapa-siapa yang bisa disebut mafia. Bukan hanya di bidang hukum, melainkan juga di bidang-bidang lain.

Kalau tadi disebutkan ibarat tanaman di kebun yang mungkin dua pertiganya sudah rusak, karena dari hampir 235 juta penduduk Indonesia, lebih dua pertiganya terdiri dari orang-orang dewasa. Selebihnya anak-anak. Yang kemungkinan terkontaminasi kebiasaan buruk adalah yang dewasa. Mereka inilah yang terkena efek domino perbuatan yang melanggar aturan berbangsa dan bernegara. Tetapi bangsa ini belum mati langkah. Harapan masih bisa kita letakkan di pundak anak-anak, yang 1-2 generasi lagi akan bertanggung jawab terhadap nasib bangsa dan negara ini.

Maka rasanya kita bisa memasang strategi dengan menarik fokus ke usaha asah-asih-asuh yang ideal untuk anak-anak yang sekarang jumlahnya mendekati 75 juta orang.

Anak-anak sebagai prioritas

Kalau ingin menilai kemajuan suatu bangsa dan mendapat gambaran bagaimana masa depannya, perhatikan usaha negara dan rakyatnya membesarkan dan mengatur pendidikan anak-anaknya. Kesimpulan itu diperoleh dari pertemuan konsultasi yang difasilitasi UNICEF, Badan PBB untuk Anak-anak, di Singapura bulan Januari 2009, tepat satu tahun lalu. Pertemuan tersebut dihadiri 150 akademisi, pembuat kebijakan, para menteri keuangan, dan pejabat tinggi negara dari wilayah Asia Timur dan Asia Pasifik.

Profesor Kishore Mahbubani dari National University of Singapore's Lee Kuan Yew, tempat penyelenggaraan pertemuan, mengemukakan pendapat dan pengamatan menarik. Menurut dia, gejala kehancuran Uni Soviet sudah terlihat dari melemahnya seluruh indikator kesejahteraan anak. Dia katakan, kondisi anak-anak adalah pertanda jelas tentang bagaimana masa depan suatu bangsa. Dia menambahkan, dari krisis ekonomi satu dasawarsa yang lalu dapat dipetik pelajaran tentang bagaimana menyusun kebijakan terbaik untuk mengamankan dan melindungi program-program kesejahteraan anak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan itu menegaskan bahwa apa pun yang terjadi, kesejahteraan anak harus mendapat prioritas utama. Katanya lebih lanjut, ada tiga hal penting untuk melindungi kesejahteraan anak dan upaya mencapai Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs}: meningkatkan kapasitas dan kemampuan fiskal, termasuk reformasi pajak dan memerangi korupsi di dalam tata pemerintahan; kebijakan alokasi dana yang tepat-efektif-cerdas yang langsung ditujukan pada kelompok sasaran; dan reformasi kelembagaan.

Mengenai kesejahteraan anak, Sri Mulyani mengatakan bahwa masalahnya bukan hanya menyangkut pangan, melainkan juga pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penghapusan kondisi-kondisi yang membahayakan tumbuh-kembangnya anak.

Anakku, pahlawanku

Masyarakat secara serempak dan spontan mengusung gagasan agar Gus Dur(alm) diangkat menjadi pahlawan nasional. Alangkah idealnya seandainya spirit yang sama mengusung gagasan untuk memfokuskan perhatian pada kepentingan anak-anak Indonesia, siapa pun anak itu; tidak peduli dari suku atas ras mana, dari kota atau desa, dari gedongan atau anak jalanan. Faktanya, di antara anak-anak usia wajib belajar, 7-15 tahun, 2,2 juta belum menikmati pendidikan dasar sembilan tahun. Dari hampir 13 juta anak usia 16-18 tahun, sekitar 5,5 juta tidak bersekolah. Dari 25 juta anak usia kuliah, 19-24 tahun, hanya 4,3 juta sempat kuliah.

Maka lain kali bila bertemu muka dengan seorang anak, tataplah sorot matanya yang bening, dan pikirkan bahwa di balik sorot mata itu tersimpan jiwa dan pikiran yang bisa dikembangkan seluas-luasnya, yang berpotensi membawa negeri ini ke tingkat kemajuan yang kita idamkan. Sebagai prasyarat, ulurkan tangan demi asah-asih-asuh yang memadai. Satu-dua generasi lagi mudah-mudahan kita bisa dengan bangga mengatakan, merekalah pahlawan-pahlawan nasional kita.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini MEdia Indonesia 15 Januari 2010