Oleh AM Fatwa
Perintis Berdirinya MUI DKI
tahun 1973
Ulama dan partai politik memiliki tujuan yang mulia untuk perbaikan kehidupan masyarakat. Ulama mengacu pada otoritas intelektual dan spiritual di mana masyarakat menjadikannya sebagai rujukan kehidupannya. Sementara itu, partai politik memiliki peran dan otoritas untuk menentukan eksistensi kepemimpinan untuk menciptakan keteraturan kehidupan masyarakat dengan melaksanakan fungsinya, seperti melaksanakan manajemen konflik.
Dalam Islam, kepemimpinan merupakan sebuah kemestian untuk menjamin integrasi dan kohesi sosial. Dalam konteks ini, peran partai politik dalam proses penentuan eksistensi kepemimpinan menjadi sebuah kewajiban. Oleh karena itu, yang diharapkan adalah peran dan otoritas masing-masing ulama dan partai politik yang dapat menciptakan kehidupan aman, tertib, teratur, nyaman, dan tenteram.
Dilema peran
Belakangan ini, peran ulama dihadapkan pada dua pilihan dilematik antara partai politik dan pembangunan umat. Dalam kenyataannya, terjunnya ulama ke dalam partai politik umumnya menyebabkan tidak fokusnya atau bahkan terabaikannya perhatian ulama pada pembangunan umat. Padahal, pembangunan umat memerlukan totalitas perhatian dari para ulama agar umat tidak kehilangan rujukan keteladanan dalam kehidupannya.
Di sisi lain, partai politik yang diharapkan sebagai media untuk lebih memperbaiki dan memberdayakan kehidupan umat justru sering menjadi bagian dari masalah yang perlu diselesaikan oleh ulama. Akibatnya, partai politik bukan menjadi media solusi, tetapi justru menjadi bagian dari problem. Bahkan, peran ulama dalam partai politik yang diharapkan mampu memberi warna moral bagi dinamika politik ternyata tidak juga terwujud secara maksimal.
Akibatnya, kesan bahwa politik sebagai praktik yang kotor tetap melekat dalam memori masyarakat seiring dengan perilaku menyimpang yang diperlihatkan oleh beberapa politikus. Kondisi tersebut menunjukkan anomali peran ulama. Satu kaki berpijak di politik praktis, tapi kaki yang lain masih berpijak pada ranah dakwah.
Akibatnya, gerak transformasi yang seharusnya diperankan oleh ulama secara maksimal berjalan lamban, bahkan bisa mengorbankan dua-duanya, yaitu politik praktis dan dakwah. Dalam kondisi demikian, ulama dalam partai politik telah mempersempit ruang perannya yang begitu luas dan universal.
Peran ulama yang awalnya melampaui sekat-sekat partai politik menjadi terfokus pada prosesi suksesi kepemimpinan sesuai dengan kepentingan partai politik. Karena itu, ketika ulama terlibat dalam politik praktis, sesungguhnya ia telah mempersempit ruang amal dan pengabdiannya bagi umat. Ia mengotak-kotakkan dirinya dalam sekat-sekat partai politik dan menjadi bagian partisan visi dan misi partai tertentu.
Padahal, visi dan misi seorang ulama begitu luas, mulia, dan universal. Keuniversalan peran ulama berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan partai politik. Ketika ulama menyekat dirinya dalam partai politik tertentu, tugas universal keumatan dengan sendirinya terdistorsi.
Lebih dari itu, keterlibatan ulama dalam partai politik rentan bagi terjadinya politisasi umat dengan menjadikan umatnya sebagai kekuatan yang dimobilisasi bagi kepentingannya dengan mengabaikan etika universal keulamaannya.
Sumbangsih ulama
Peran ul ama dalam pemberdayaan umat sesungguhnya akan menjadi amal jariah bagi partai politik ketika para ulama berhasil memberi landasan dan penjaga moral politik bangsa.
Pemberdayaan yang dilakukan oleh para ulama melalui dakwah atau gerakan sosial bisa melahirkan generasi yang mumpuni secara moral bagi seluruh kegiatan masyarakat di berbagai level kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Peran ulama tersebut telah dibuktikan dalam sejarah negeri ini. Hadirnya para tokoh agama (ulama) yang menjadi perintis perjuangan dan pendorong pembebasan masyarakat dari segala bentuk kebodohan dan keterbelakangan adalah bukti konkret sumbangsih ulama bagi negeri ini.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keberadaan para ulama yang menjadi jembatan beragam kepentingan dalam masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu. Dan, itu akan terus terpelihara ketika ulama mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang mengayomi, bukan mengadili. Mengayomi terkait dengan kepentingan banyak orang, sementara mengadili tertuju pada kepentingan tertentu. Peran ulama sebagai pandu moral bagi aktivitas masyarakat telah diakui masyarakat selama ini.
Hal itu akan tetap efektif apabila ulama mampu menjadi panutan bagi seluruh umat, bukan bagi kelompok tertentu. Keistikamahan ulama dalam menjalankan fungsinya sebagai pandu moral masyarakat akan menjadi salah satu nilai lebihnya yang menciptakan kenyamanan dan kesejukan dalam kehidupan. Karena itulah, umat akan selalu merindukan dan membutuhkan kehadirannya. Partai politik dan pembangunan umat merupakan dua ranah yang membutuhkan peran ulama. Hal itu akan terwujud apabila ulama mampu memerankan diri secara proposional dan universal.
Universalitas peran ulama berlangsung ketika ulama tidak menyekat dirinya dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepentingan partai politik. Keterlibatan ulama dalam partai politik pada kenyataannya telah membuat dirinya terfragmentasi sesuai kepentingan partainya. Wajarlah jika masyarakat mengaitkan apa yang dikatakan ulama itu dengan kepentingan politiknya. Ulamapolitikus, yaitu ulama yang, karena punya massa, kemudian terjun atau dilibatkan dalam dunia politik praktis, cenderung dijadikan alat politis partai.
Partai politik mebutuhkan politikus-ulama, yaitu kader partai yang memiliki kualitas intelektual yang mumpuni, alim, dan integritas moral yang tinggi sehingga mampu mewujudkan visi dan misi politiknya bagi kepentingan umat. Para ulama yang concern dalam pemberdayaan umat menjadi kekuatan profetis (transformatif) bagi dinamika kehidupan nasional dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral dan spiritual. Bukan sebaliknya, menjadi alat legitimasi atas kepentingan kelompok tertentu.
Universalitas dan integritas yang dimiliki ulama telah menyebabkan kehadirannya menjadi tempat bersimpuh semua kepentingan masyarakat dari berbagai kepentingan politik. Ketika ulama mampu memerankan itu secara efektif, tugas partai politik dan pembangunan umat dengan sendirinya sudah dijalankan. Ini disebut: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Opini Republika 15 Januari 2010