PILBUP Kendal yang dijadwalkan Minggu, 6 Juni 2010, masih dalam hitungan bulan. Tetapi soal siapa kira-kira yang layak menduduki kursi Kendal 1, harus diwacanakan mulai sekarang.
Minimal menyangkut kriteria ideal untuk calon pemimpin daerah lima tahun ke depan harus diungkap ke publik. Bahkan figur-figur yang dinilai memiliki kapasitas untuk itu harus dimunculkan.
Masyarakat sendirilah, melalui orsos/ormas, orpol, organisasi kepemudaan, juga media massa yang harus berinisiatif mewacanakan, mengungkap ke publik, dan memunculkan soal kriteria ataupun figur calon.
Bisa melalui survei, diskusi atau dialog, polling, atau forum-forum ilmiah lainnya. Di sisi lain, figur-figur yang merasa punya tiket untuk ikut berlaga memperebutkan pilihan rakyat juga harus berani tampil ke permukaan.
Sikap Widya Kandi Susanti, Ketua DPC PDIP, yang pagi-pagi sudah memproklamasikan diri, “Saya akan maju nyalon dalam pilkada”, atau Tandang Suryanto (guru SMP) yang sudah mengambil formulir untuk mengumpulkan bukti dukungan massa, patut diapresiasi.
Sikap malu-malu tapi mau, atau bersikap tidak butuh tapi di lapangan melakukan manuver-manuver penggalangan dukungan, sudah tidak zamannya di tengah iklim keterbukaan di mana usung-mengusung atau dukung-mendukung calon menjelang pilkada sudah menjadi hal yang tak perlu ditutup-tutupi.
Satu dan lain hal adalah untuk membantu rakyat, yang notabene adalah pengguna (user) jasa calon bupati yang kelak terpilih memimpin.
Karena bupati sejatinya adalah pelayan publik sehingga masyarakat harus sejak awal diberi kesempatan untuk membanding-bandingkan kapasitas, kapabilitas, rekam jejak, kecakapan, sekaligus kecukupan masing-masing bakal calon, sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan kepada figur yang dinilai memenuhi kriteria.
Dalam konteks keterbukaan menentukan pilihan, sungguh tidak bijaksana membiarkan rakyat terjebak dalam keterpaksaan ibarat membeli kucing dalam karung.
Sudah telanjur dipilih tapi ternyata tidak bisa memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Rakyat harus menunggu lima tahun lagi, sebuah periode yang tidak pendek, untuk bisa mengganti dengan bupati yang lebih mumpuni dan bisa memenuhi keinginan orang banyak.
Menurut konstelasi politik di lembaga legislatif, hanya ada tiga partai yang memiliki tiket mengajukan bakal calon secara mandiri. Masing-masing Partai Golkar (10 kursi, 61.584 suara atau 13,3 persen), PDIP (8 kursi, 48.531 suara atau10,5 persen), dan PKB (8 kursi, 68.287 suara atau 14,7 persen). Jumlah keseluruhan kursi 50 (total 410.178 suara).
Di luar ketiga partai tersebut, partai-partai lain harus berkoalisi untuk bisa mengajukan bakal calon alternatif. Pada pilkada tahun ini terbuka akses bagi perorangan untuk maju tanpa harus melalui partai, asalkan memiliki bukti awal dukungan 32.000 warga. Dan jalur ini tampaknya bakal ramai.
Bagi partai-partai yang tidak memenuhi syarat mengajukan bakal calon secara mandiri, hanya tersedia dua pilihan. Pertama, mengusung (dengan cara berkoalisi dengan partai lain), atau pilihan kedua, mendukung calon yang diusung partai lain.
Jika karena satu dan lain hal sebuah partai harus mendukung (calon yang diusung partai lain), itu pun merupakan pilihan yang realistis, setelah berkaca pada kemampuan yang dimiliki. Karena pada dasarnya politik membutuhkan kebersamaan, tentunya dengan kesediaan mengesampingkan gengsi dan ego politik golongan.
Tidak masalah mendukung konsep politik (atau calon) partai lain, sepanjang mengandung nilai kemaslahatan atau membawa kebaikan bagi rakyat.
Tidak perlu saling sikut di internal partai demi pemaksaan kepentingan dan kehendak perorangan atau kelompok, seolah-olah harus mengajukan calon sendiri.
Sebaliknya perlu dikembangkan sikap menghargai pendapat orang lain, dan menghindari klaim kebenaran sepihak.
Dalam situasi harus mendukung calon yang diusung partai lain, maka pertanyaan yang perlu dicarikan jawaban adalah, kepada siapa atau calon partai apa dukungan itu akan diberikan?
Pilkada atau pilbup bukanlah tujuan melainkan sebuah ikhtiar untuk menentukan nasib rakyat lima tahun ke depan, dan memutuskan ke mana perahu besar bernama Kabupaten Kendal yang berpenumpang 1.067.487 orang itu akan dibawa. Sudah barang tentu rakyat harus dibawa ke arah kemajuan, dan perahu besar itu tidak boleh mandek.
Pilkada atau pilbup semata-mata soal kenegaraan, lebih spesifik lagi soal kemajuan atau kemandekan suatu daerah, masalah keduniaan semata.
Tidak berhubungan sama sekali dengan soal dosa atau pahala, tak ada keterkaitan dengan surga atau neraka.
Karena itu satu-satunya acuan untuk menentukan siapa yang layak didukung adalah kapasitas, kapabilitas, rekam jejak, kecakapan, sekaligus kecukupan seorang calon.
Dalam konteks itulah perlunya calon-calon, dari parpol ataupun perorangan, untuk berani meninggalkan sikap malu-malu tapi mau. (10)
—Sakdullah Mas’ud, Ketua Fraksi PAN, Ketua Komisi A DPRD Kendal
Wacana Suara Merdeka 15 Januari 2010