14 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Membangun Kota Budaya

Membangun Kota Budaya


Oleh TJETJE H. PADMADINATA
ADALAH Wali Kota Bandung, Dada Rosada, yang sudah sejak lama terobsesi untuk menyelenggarakan semiloka tentang Bandung Kota Budaya. Sebagai seorang Muslim, terlebih dahulu dia menyelenggarakan semiloka tentang Bandung Kota Agamis. Agama dulu baru yang lain. 



Ada berbagai paham, aliran, pengertian, tafsiran, batasan di dunia tentang apa itu kebudayaan (culture). Cakupan kesatu sangat luas, kebudayaan adalah segala produk budi-akal manusia. Cakupan kedua terbatas, kebudayaan adalah jiwanya peradaban, kebudayaan adalah perangkat lunak (software) peradaban. Aliran keduayang terbatas ini, (1) Membedakan (bukan memisahkan) antara kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization). (2) Kebudayaan adalah jiwanya peradaban, bersifat an sich, intrinsik, perangkat lunak, nonteknologi, proses produknya mengenal pasang-surut. (3) Kebudayaan mencakup adat-kebiasaan, moral-etika, kesenian (art), sastra, tata laksana beragam. Kalau itu adalah kebudayaan, peradaban adalah ragawi, bersifat instrumental, perangkat keras (hardware), teknologi, proses-produknya selalu maju dan meningkat.
Kota Bandung didirikan oleh Wiranatakoesoemah II pada 25 September 1810, bukan untuk lembur singkur tetapi untuk dayeuh maneuh, dayeuh kadeudeuh, dayeuh kameumeut, dayeuh kareueus! Konon kabarnya, waktu Gouverneur General Hermann Willem Daendels melakukan inspeksi bersamaan dengan pembuatan jalan raya pos Anyer-Panarukan, dia berucap, "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd." (Pastikan, ketika aku datang lagi ke sini, sebuah kota telah terbangun). Maka patok pertama dipancangkan di tempat ini (Bandung, bandungan) untuk membangun dayeuh anyar karena dayeuh kolot (Krapyak?) suka kebanjiran. Sejak itu Bandung terus tumbuh menjadi kota dan akan terus berkembang!
Bandung adalah sebuah kota (city), masyarakat kota (urban society), budaya kota (urban culture), gesellshaft, industrial, rasional, lugas. Julukan Parijs van Java berkonotasi kota budaya dan pendidikan. Kota Bandung pernah juga dipersiapkan untuk dijadikan ibu kota Hindia-Belanda. Namun, batal karena Hindia Belanda keburu gulung tikar dengan pendudukan balatentara Dai Nippon di Indonesia.
Akulturasi global bukanlah hal baru bagi masyarakat Kota Bandung, itulah sebabnya salah satu identitas (ciri mandiri) dari masyarakat Kota Bandung adalah open mindedness (jembar manah jeung panalar). Dengan Sunda sebagai mayoritas penduduk, pergaulan di Kota Bandung sudah terbiasa bergaul dengan yang non-Sunda, Timur Asing, Eropa, dan lain-lain. Jika Sunda ingin menjadi kultur dominan di Kota Bandung, orang-orang Sunda harus punya daya kompetisi tinggi dan akrab pula dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Orang-orang Sunda harus berani dan mampu melakukan reevaluasi dan redefinisi untuk selanjutnya melakukan revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai budaya Sunda yang kiranya masih valid sekarang dan yang akan datang. Carilah adu-manis (harmoni) antara renaissance dan aufklaerung (enlightenment)! Dari sekadar imitatif-adaptif, tingkatkanlah menjadi inovatif-kreatif! Tantangan hari ini adalah dongeng indung sebelum tidur sudah berganti tayangan televisi.
**
KESENIAN tradisional Sunda, untuk tetap ada memerlukan (1) Kreasi kalangan seniman Sunda itu sendiri, (2) fasilitas, subsidi, proteksi pemerintah, (3) apresiasi masyarakat, (4) donasi pengusaha, (5) publikasi pers. Improvisasi, inovasi, kreasi baru harus dimungkinkan, tetapi jangan memakai label lama yang paten.
Kota Bandung sebagai tujuan wisata. Wisata budaya, wisata sejarah (heritage), wisata alam, wisata fashion, wisata kuliner?
Adab budaya manusia berproses dari takhayul ke agama terus ke ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat kota umumnya lebih banyak melihat ke depan daripada memandang ke belakang, leuwih loba nyawang ka hareup batan nyoreang ka tukang. Itulah sikap dan orientasi dasar kaum modernis-reformis, bukan melupakan sejarah tetapi tidak memutar balik jarum sejarah. Sedangkan positifnya kelompok konservatif adalah untuk mengingatkan akan purwawiwitan-purwadaksina. Modernis-reformis dan konservatif, kedua-duanya adalah baik dan berguna untuk masyarakat.
Membangun kebanggaan kota bisa dimulai dari hal-hal yang kecil tetapi riil di tengah-tengah kehidupan masyarakat itu sendiri, misalnya dari cara membuang dan mengolah sampah yang tidak gegabah. Di kompleks-kompleks perumahan, di perkantoran, di persekolahan, di jalan-jalan (tertib dan sopan-santun berlalu lintas). Kita berbangga diri kalau aparatur pemerintahan tidak melakukan komersialisasi pelayanan publik dan perizinan (apalagi arogan dan korup), kita berbangga diri jika warga Kota Bandung tahu dan mengerti bahwa hormat kepada otoritas (respect for the authority) itu merupakan bagian dari demokrasi dan civil society. Kita berbangga diri kalau kontrol sosial di Kota Bandung adalah murni (bukan pemerasan). Dan itu adalah kualitas manusia Kota Bandung yang harus dicapai!
Impian (panyileukan, cita-cita, dream) kita tentang Kota Bandung adalah masyarakat kota yang punya harga diri, kehormatan, bermartabat. Pride and dignity (kebanggaan dan harga diri), itulah impian kita! Untuk mencapai impian tersebut kita harus mampu meningkatkan (1) budaya lisan menjadi budaya tulisan, (2) rasa (romantik) menjadi daya (dinamik), (3) ritualisme dan simbolisme menjadi hal-hal yang praktis dan efektif dalam kehidupan sehari-hari, serta (4) kepemimpinan personal menjadi kepemimpinan institusional. Kalau Jepang berhasil dengan Restorasi Meiji, apakah masyarakat Bandung Kota mampu dan berani menggerakkan restorasi-modernisasi Sunda dengan tetap menghormati kelompok-kelompok adat-tradisional? Kebudayaan, lantas apa lagi kalau bukan kepatutan?
Memasuki dan dalam tahun 2010 ini, "Srangenge medal bareng jeung medalna seuweu-siwi Kota Bandung....!" Insya Allah. ***
Penulis, pengamat politik.
Opini Pikiran Rakyat 15 Januari 2010