24 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Kebaikan sistemik…

Kebaikan sistemik…

Raden Mas Suloyo, anggota kelompok jagongan di kampung kami rupanya sedang terkena demam siaran langsung sidang Pansus kasus Bank Century di DPR. “Ah… bukan cuma saya, sampeyan-sampeyan kan juga suka menyaksikan sidang itu ta? Siaran langsung di TV itu memang berdampak sistemik,” kata Denmas Suloyo. Nah itu dia. Kata ”sistemik” rupanya sudah menjadi salah satu perbendaharaan baru yang sedang digemari Denmas Suloyo ketika berbicara.



”Dampak sistemik itu apa ta Denmas? Kok panjenengan sekarang suka dengan kata itu,” tanya Mas Wartonegoro, karibnya malam Minggu kemarin di News Cafe, tempat biasa kami ngudarasa.
”Kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Balai Pustaka, kata “sistemik” itu tidak ada. Yang ada adalah “sistemis” artinya, sesuatu yang bertalian atau berhubungan dengan sistem atau susunan yang teratur,” kata Denmas Suloyo layaknya seorang intelektual.
”Wek e e e e... nganggo kamus barang. Tapi saya kok tetap tidak mudheng ta Denmas. Yang gampang sajalah, sistemik itu tadi maksudnya gimana,” timpal Mas Wartonegoro.
”We lha panjenengan-panjenengan ini kok angel men dikandhani ya. Ya pokoknya sistemik itu begitu itu... sesuatu yang berdampak meluas... berdampak berantai... berefek domino... begitulah pokoknya,” kata Denmas Suloyo setengah jengkel.
”Menurut sampeyan, apa rapat Pansus pemeriksaan para saksi di DPR dalam kasus Bank Century itu juga berdampak sistemik ke masyarakat karena lama-lama kok membosankan, njelehi, ra cetha,” kata Mas Wartonegoro.
”Nah justru itu yang saya ingin bahas. Para priyagung yang terhormat di DPR itu semakin tidak terhormat. Perilaku mereka terkadang tidak etis, nunjuk-nunjuk, sok berkuasa, melarang saksi menjawab kalau belum disuruh bicara, wis pokokmen arogan. Belum lagi di antara para anggota eker-ekeran dhewe... ini benar-benar bisa berdampak sistemik,” kata Denmas Suloyo panjang lebar.
”Dampak sistemik yang bagaimana?” pancing saya.
”Ya banyak. Itu bisa mempengaruhi perilaku masyarakat, bisa membuat citra buruk DPR dan mungkin bisa pula menggoncangkan tata pemerintahan kita. Lha mbok ya bicara yang baik, sopan pakai tata krama. Kalaupun keras, ya yang wajar-wajar sajalah, tidak usah berteriak-teriak. Pokoknya saya berharap Pansus ini bisa menebarkan kebaikan yang sistemik...” kata Denmas Suloyo.
”Wah ini kalimat baru lho Denmas, “kebaikan yang sistemik”. Apa pula ini maksudnya,” tanya saya.
”Yah, sebisa mungkin rapat Pansus kasus Bank Century itu nantinya akan membawa kebaikan kepada semua pihak. Bukannya membuat kisruh keadaan. Malah kalau mungkin orang per orang yang ada di sana memberi contoh soal kebaikan sehingga perilaku yang baik itu ditiru oleh rakyat. Rakyat menjadi senang karena kebaikan itu pada dasarnya kan fitrah seluruh umat manusia ta...” kata Denmas Suloyo.

Rantai kebaikan
Begitulah. Kebaikan, pada dasarnya memang bisa ditebarkan secara sistemik kepada siapa saja dan oleh siapa saja termasuk anggota DPR yang sedang ”manggung” di pentas Pansus Bank Century itu. Apakah dia anggota parlemen, seorang pejabat, orang kaya atau miskin, semua bisa menularkan rantai kebaikan. Sudah menjadi kodratnya kebaikan berbuah kebaikan.
Seperti kisah yang belum lama ini dikirimkan seorang kawan kepada saya melalui email. Teman saya menulis kisah tentang seorang pria yang menolong wanita lanjut usia yang sedang kebingungan di pinggir jalan karena ban mobilnya kempes. Hari sudah agak gelap. Pria itu melihat sang nyonya sedang membutuhkan pertolongan. Maka pria itu menghentikan mobilnya di depan mobil Mercedes Benz wanita itu.
Meskipun pria itu tersenyum, wanita itu tampak ketakutan. Sebab tak ada seorangpun berhenti menolongnya selama beberapa jam ini. Apakah pria ini akan melukainya? Pria itu kelihatan tak baik. Ia kelihatan miskin dan kelaparan.
”Saya di sini untuk menolong Anda, Nyonya. Masuk ke dalam mobil saja supaya Anda merasa hangat! Nama saya Bryan Anderson.”
Bryan merangkak ke bawah bagian sedan, mencari tempat untuk memasang dongkrak. Keluar dari kolong mobil, ia tambah kotor dan tangannya terluka. Ketika pria itu mengencangkan baut-baut roda ban, wanita itu menurunkan kaca mobilnya dan mencoba ngobrol. ”Saya sangat berutang budi atas pertolongan Anda,” kata wanita itu.
Sang nyonya menanyakan berapa yang harus ia bayar sebagai ungkapan terima kasihnya. Berapa pun jumlahnya tidak menjadi masalah bagi wanita kaya itu. Bryan tak pernah berpikir untuk mendapat bayaran. Ia menolong orang lain tanpa pamrih. Ia biasa menolong orang yang dalam kesulitan, dan Tuhan mengetahui bahwa banyak orang telah menolong dirinya pada waktu yang lalu.
”Kalau Anda ingin membalas kebaikan saya, jika nanti Anda melihat seseorang yang memerlukan bantuan, bantulah dia. Dan ingatlah kepada saya,” katanya sambil tersenyum lalu pergi.
Beberapa kilometer dari tempat itu sang nyonya melihat kafe kecil. Ia turun sekadar mencari makanan kecil, dan menghangatkan badan. Restoran itu tampak kotor. Sang pelayan mendatangi wanita dan membawakan handuk bersih untuk mengelap rambut wanita tua yang basah itu.
Pelayan itu tersenyum manis meskipun ia tak dapat menyembunyikan kelelahannya berdiri sepanjang hari. Sang nyonya melihat pelayan itu sedang hamil hampir delapan bulan.
Wanita lanjut itu heran bagaimana pelayan yang sederhana ini memberikan pelayanan sangat baik kepada orang asing seperti dirinya. Wanita lanjut itu pun ingat kepada Bryan. Setelah menyelesaikan makanannya, ia membayar dengan uang kertas US$100, setara dengan Rp 900.000-an. Pelayan wanita itu dengan cepat pergi untuk memberi uang kembalian. Namun ketika kembali, wanita itu sudah pergi.
Pelayan itu tambah bingung ketika melihat sesuatu tertulis pada lap di meja. Ada butiran air mata ketika pelayan itu membaca apa yang ditulis wanita tadi: ”Engkau tidak berutang apa-apa kepada saya. Saya juga pernah ditolong orang. Seseorang yang telah menolong saya, berbuat hal yang sama seperti yang saya lakukan. Jika engkau ingin membalas kebaikan saya, inilah yang harus engkau lakukan: Jangan biarkan rantai kebaikan berhenti padamu.” Di bawah lap itu terdapat empat lembar uang kertas US$ 100 lagi, atau sekitar Rp 3,6 juta betapa kagetnya dia.
Malam itu ketika ia pulang dan setelah semuanya beres ia naik ke ranjang. Ia memikirkan tentang uang dan apa yang telah ditulis wanita tua tadi. Bagaimana wanita baik hati itu tahu tentang berapa jumlah uang yang ia dan suaminya butuhkan? Dengan kelahiran bayinya bulan depan, sangat sulit mendapatkan uang sebesar itu. Ia tahu betapa suaminya khawatir tentang keadaan mereka, dan ketika suaminya sudah tertidur di sampingnya, pelayan wanita itu memberikan ciuman lembut dan berbisik pelan, “Segalanya akan beres. Aku mengasihimu Bryan Anderson!” - Oleh : Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS

Opini SOlo Pos 25 Januari 2010