Namun, setahun kemudian, Presiden Obama menghadapi hal sangat ironis, yakni kekalahan telak Partai Demokrat dalam pemilihan Gubernur Virginia, New Jersey, dan Senator di Massachusetts, selain poll opini publik tentang dirinya dan kebijakannya yang cenderung menurun.
Menurut poll The Economist, orang Amerika Serikat (AS) masih menyukai Presiden Obama, tetapi bukan kinerjanya. Kolumnis EJ Dionne (2010) menjelaskan, fenomena ini sebagai kegagalan kaum liberal mengalihkan narasi kaum konservatif tentang diri Presiden Obama, atau yang lainnya, seperti Alvin Felzenberg (2010), seorang ahli Ilmu Politik, menyatakan bahwa orang Amerika mencintai Obama dan keluarganya, tetapi kini semakin meragukan kadar kompetensinya.
Pandangan-pandangan di atas sesungguhnya menjadi bahan perbincangan ahli Ilmu Politik Aaron Wildavsky (1975) pada masa lalu. Menurut Wildavsky, Amerika memang hanya memiliki seorang presiden, tetapi ia memiliki dua presidensi (two presidencies); satu yang mengurusi persoalan domestik dan yang lainnya lebih berkenaan dengan urusan pertahanan dan politik luar negeri. Sejak usainya Perang Dunia II, Presiden AS tampak le- bih berhasil menguasai persoalan yang menyangkut pertahanan dan hubungan luar negeri ketimbang mampu mengendalikan kebijakan domestiknya.
Pandangan Wildavsky seakan mendapatkan contoh konkretnya dalam setahun masa jabatan Presiden Obama yang membutuhkan keseimbangan baru. Sebagai mana lazimnya, setiap partai di AS memiliki preferensi kebijakan yang sedikit sekali perubahannya dan mempermudah presiden menyesuaikan diri dibandingkan dengan persoalan luar negeri.
Perkembangan dunia kini semakin sulit ditanggapi perubahannya. Visi kolektif tentang tatanan dunia yang ada masih jauh dari sempurna dan tidak menjamin perlindungan terhadap konflik besar yang bisa sewaktu-waktu muncul antara kekuatan-kekuatan negara besar di dunia (the world’s great powers). Untuk membentuk tatanan global abad ke-21 yang lebih baik, AS terus- menerus berupaya membentuk aneka rangkaian kerja sama. Menurut Zbigniew Brzezinski (2010), Presiden Obama berhasil meredefinisikan pandangan dunia AS dan mengoneksi negara dan strateginya dengan konteks historis abad ke-21 yang muncul agar mudah mengatasi tantangan geopolitik serta masalah global lainnya. Namun, karena Presiden Obama memang dituntut memfokuskan diri kepada persoalan domestik definisi besarnya tentang politik luar negeri, AS pun rentan dalam implementasinya.
Ia memang berhasil mendongkrak citra AS di dunia, tetapi tingginya angka pengangguran di AS juga mengancam reputasinya sebagai tokoh moderat yang bisa mengatasi resesi ekonomi AS. Walaupun masih terlalu dini untuk bisa mengukur secara pasti keberhasilan Presiden Obama mewujudkan prioritasnya, ada beberapa persoalan urgen jangka pendek yang dapat dimanfaatkan untuk menguji kemampuannya dan keteguhannya membentuk kembali paradigma politik Amerika dan mengatasi persoalan ekonomi dalam negerinya.
Kreativitas strategis
Jelas, AS kini membutuhkan sebuah program penyediaan lapangan pekerjaan yang kokoh, tidak cukup sekadar memfokuskan diri kepada soal layanan kesehatan (health care). Paket stimulus 787 miliar dollar AS ditujukan untuk menghentikan kecenderungan pengangguran yang saat itu mencapai 7,6 persen, kini angka tersebut mencapai 10 persen sehingga Presiden Obama tidak bisa keluar terlalu cepat dari program stimulus ekonominya. Masalah lain yang dihadapi Partai Demokrat adalah legislasi layanan kesehatan telah sempat di karikaturkan oleh publik sebagai program pemerintahan besar (big government) yang akan menyangkut tingkat perpajakan yang tinggi dan pasti menyebabkan kekalahan di dalam pemilihan umum sela November 2010.
Sebagaimana halnya dengan Presiden Franklin D Roosevelt (FDR), Presiden Obama mewarisi AS yang sedang mengalami resesi berat. Seperti FDR, Presiden Obama menyudahi kampanyenya dengan janji akan bertindak tegas terhadap para bankir tamak dan menegaskan prospek keuntungan bagi segelintir orang tidak akan lagi bisa mendiktekan nasib orang-orang lainnya. Namun, rakyat AS lalu menilai dan merasa curiga bahwa Presiden Obama sesungguhnya tidak tulus karena ia membutuhkan bantuan dana kampanye dari Wall Street.
Setahun kemudian, baru setelah Partai Demokrat mengalami kekalahan di Massachusetts, Presiden Obama menindaklanjuti janjinya dan berupaya mengajukan Jobs Bill (Undang-Undang Penyediaan Lapangan Kerja) dalam bentuk undang-undang stimulus yang meliputi penangguhan pajak usaha kecil yang menyediakan lapangan kerja dan bagi kalangan yang berupaya membuat rumahnya menjadi lebih hemat energi.
Tema pembatasan anggaran biaya akan mewarnai State of the Union address-nya di Kongres. Defisit tahun ini sebesar 1,4 triliun dollar AS jelas menambah jumlah utang nasional sebesar 12 triliun dollar AS dan Presiden Obama merencanakan sebuah komisi bipartisan untuk memberi
Sekalipun Presiden Obama menjanjikan pembenahan kapitalisme AS, banyak kalangan yang berpandangan bahwa tujuan kaum progresif tidak akan tercapai karena sejarah AS menunjukkan keniscayaan aktivisme terorganisasi berkelanjutan serikat buruh dan kelompok penganggur dalam kadar tinggi untuk bisa mewujudkan sebuah perubahan struktural. Tidak akan pernah ada legislasi hak-hak sipil yang bisa diundangkan tanpa adanya sebuah gerakan massa yang berhasil guna.
Di masa pemerintahan Obama ironisnya justru kalangan lain yang berhasil melakukan penghimpunan, menyebut dirinya Tea Party Movement (gerakan Tea Party) dan memprotes Presiden Obama, anggaran federal, paket stimulus, serta kemungkinan naiknya perpajakan di masa yang akan datang. Nama ”Tea Party” merujuk kepada sejarah AS, yaitu Boston Tea Party melawan pemajakan oleh kolonial Inggris. Dan akronim ”T E A” adalah singkatan kata taxed enough already (sudah cukup di pajak).
Suzie S Sudarman Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia
Opini Kompas 25 Januari 2010