24 Januari 2010

» Home » Kompas » Sisi Ironis Pertambangan

Sisi Ironis Pertambangan

Pertambangan masih menjadi primadona penggerak ekonomi Pulau Kalimantan. Aktivitas penambangan pola shovel dan truk, 24 jam berlangsung tanpa henti.
Hutan sebagai sumber daya alam (SDA) yang vital untuk kehidupan justru dilupakan. Belum lagi bicara karbon, satu hektar hutan mampu menyerap karbon 200-350 ton. Memang ironis, aktivitas eksplorasi pertambangan sering kali berbenturan dengan konservasi SDA.
Bicara soal Kalimantan, dalam hal kerusakan lingkungan, siapa yang harus bertanggung jawab?


Keserakahan
Pemanfaatan SDA untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup manusia, alam masih bersahabat. Namun, saat SDA dijadikan komoditas tanpa batas, alam punya jawaban sendiri. Saat ini, harga hasil tambang sebagai komoditas bergerak begitu fluktuatif. Bukan hanya atas perhitungan statistik penawaran dan permintaan, tetapi juga lebih pada permainan spekulan dalam pasar komoditas tambang. Tidak disadari pelaku penambangan, kondisi ini menyeret semua aktivitas pertambangan masuk ke ruang keserakahan.
Sejak UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sampai diberlakukan otonomi daerah, izin kuasa penambangan (KP) hanya berjumlah 650-an. Akibat terbukanya kebijakan, diperkuat ekstrimnya harga komoditas pertambangan, jumlah KP kini hampir 8.000-an, di luar yang ilegal. Dulu, sebagian komoditas pertambangan, seperti batu bara, ditempatkan sebagai energi vital dan strategis sehingga pemerintah pusat terlibat. Kini, batu bara dinilai sekadar komoditas.
Pada dasarnya, secara teknis, aktivitas pertambangan mustahil dapat dioperasikan pada luasan konsesi kecil. Ada batasan minimal untuk infrastruktur opera- si penambangan , khususnya untuk praktik penambangan yang baik. Saat luasan kecil dipaksakan operasi, mulailah terjadi kerusakan di sekitar areal tambang yang berpotensi merusak bentang alam. Pertambangan yang awalnya dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan, sekarang terbalik akibat eksploitasi SDA yang sama sekali tak mengindahkan lingkungan. Kualitas lingkungan mengalami penurunan, bahkan menuju kehancuran.
Berbeda dengan penambang skala kecil, penambang skala besar, pemilik kontrak karya (KK), dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) lebih mampu mengendalikan dampak kerusakan lingkungan. Sebetulnya, faktor manusia berperan penting karena rencana eksplorasi dan eksploitasi, sampai penutupan tambang, selalu diaudit pihak-pihak kompeten. Namun, meningkatnya jumlah KP tak dapat dihindarkan saat harga batu bara terus naik.
Ini lebih diperparah oleh pemilihan kepala daerah secara langsung yang membutuhkan biaya besar. Muncul sikap pragmatis sebagian kepala daerah yang terpilih untuk mengejar keuntungan. Perhitungan tatanan unsur lingkungan diabaikan. Kegiatan investasi hanyalah jalan legal memperbesar pendapatan asli daerah, selain untuk keuntungan pribadi/kelompok. Daerahpun berlomba mencari alternatif penerimaan daerah.
Bagi pemda memang tak mudah menemukan alternatif potensi daerah yang secara instan membawa hasil signifikan. Kekayaan alam yang ada di depan mata akhirnya memicu semaraknya izin tambang baru. Perilaku keserakahan ”raja kecil” tidak dapat dihindarkan, bahkan pemerintah pusat kehilangan kendali.
Dukungan politis pemda, sikap abai terhadap ekosistem, kurangnya tenaga inspektur tambang, serta eksplorasi dan eks- ploitasi pertambangan mengakibatkan morfologi dan fisiologi berubah tanpa rencana, pencemaran sungai, pemotongan vegetasi serampangan, dan munculnya potensi erosi dan longsor. Optimalisasi SDA meleset. Dalam jangka panjang, selain masalah lingkungan, muncul pula masalah sosial, ekonomi, maupun budaya yang seolah jadi tanggung jawab ”raja kecil” berikutnya.
Solusi ke depan
Masalah Kalimantan akibat aktivitas pertambangan yang kurang terkontrol sudah sedemikian kompleks. Namun, upaya memperbaiki harus terus diperjuangkan. Solusinya, mustahil terselesaikan dengan keluarnya UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009, ataupun peraturan pemerintah yang sampai saat ini belum semuanya keluar.
Saat ini perlu audit lingkungan tambang secara lebih menyeluruh, memperbesar jumlah inspektur tambang. Dari jumlah izin usaha pertambangan (IUP), bahkan perlu sekitar 1.000 inspektur tambang untuk lima tahun ke depan. Selain itu, pemerintah pusat ataupun daerah harus tegas, tanpa kompromi, mendorong penegakan hukum, terutama kepada pengusaha yang jelas-jelas merusak lingkungan.
Berlakunya UU Minerba terbaru mengharuskan laporan izin KP, lokasi, kandungan, dan luasan agar wilayah pertambangan (WP) segera diselesaikan pemerintah pusat, berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Informasi WP, wilayah pertambangan negara (WPN), dan wilayah pertambangan rakyat harus secepatnya keluar sebagai masukan dalam tata ruang nasional. Pola lelang menjadi transparan.
Di sini, good governance akan terwujud. Akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat menjadi tiga prinsip penting. Ini lebih akan mempertegas untuk menilai legalitas suatu tambang sehingga tak ada lagi kompromi dan tawar menawar dalam urusan IUP. Akhirnya, dengan berkurangnya dampak kerusakan lingkungan, tujuan konservasi akan tercapai, kepentingan nasional dalam mencadangkan komoditas yang bernilai vital dan strategis dapat dikendalikan, khususnya untuk memenuhi kepentingan kebutuhan nasional, selain tentunya kepentingan politis atas WPN yang berada di wilayah perbatasan negara.
Singgih Widagdo Direktur Indonesian Coal Society (ICS)
Opini Kompas 25 Januari 2010