Oleh ATIP TARTIANA
Gerakan politik yang membuat tak nyaman tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus bergulir. Kali ini, Komisi II DPR segera mengagendakan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 (UU 22/2007) tentang Penyelenggara Pemilu. Revisi UU tersebut ditargetkan selesai tahun ini.
Salah satu aturan yang dianggap perlu direvisi adalah mekanisme perekrutan, seleksi, pengangkatan, dan pemberhentian anggota KPU. Gagasan yang cukup menyedot perhatian publik disuarakan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo. Arif menegaskan, perlunya perubahan beberapa pasal terkait persyaratan calon anggota KPU. Persyaratan yang diusulkan Arif di antaranya anggota KPU adalah orang yang memiliki kemampuan memadai dalam menyelenggarakan pemilu, baik yang berstatus sebagai anggota partai politik (parpol) maupun bukan anggota parpol, setelah diseleksi DPR dan diangkat serta ditetapkan oleh presiden.
Gagasan Arif yang menimbulkan polemik adalah kemestian masuknya unsur parpol dalam tubuh KPU. Arif bahkan mengharuskan keterlibatan parpol dalam proses perekrutan anggota KPU. Calon anggota KPU harus mendapat rekomendasi pimpinan pusat yang mendapat kursi di DPR. Tiap parpol merekomendasikan seorang calon anggota KPU dan jumlah calon anggota KPU adalah sama dengan jumlah parpol yang mendapat kursi DPR. Dengan masuknya unsur parpol dalam keanggotaan KPU, katanya, sistem pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu diharapkan akan kembali berjalan efektif.
Arif boleh saja meyakini kalau independensi KPU tißßßßdak ditentukan dari bersihnya KPU dari unsur keanggotaan parpol. Kenyataannya, memang dari sekian banyak komisioner yang tersebar di berbagai daerah, ada di antaranya yang kemudian terbukti tidak sanggup memegang teguh sikap independensinya, antara lain karena ”masuk angin” sehingga mendapat sanksi dikeluarkan dari keanggotaannya. Namun, jika setiap anggota KPU jelas-jelas berangkat melalui rekomendasi parpol peraih kursi DPR, kehadirannya di KPU diyakini akan merepresentasikan parpol pemberi rekomendasi secara terikat.
Kerawanan
Jika gagasan Arif disepakati DPR, setiap ruang kerja anggota KPU kelak dipastikan akan menyerupai ruang fraksi dalam Gedung DPR. Dapat dibayangkan, dalam setiap pleno KPU akan terjadi pertarungan kepentingan antarparpol seperti halnya yang terjadi dalam sidang DPR. Oleh karena itu, keyakinan Arif bahwa keberadaan unsur parpol dalam KPU akan melahirkan sistem ”semua mengawasi semua” di dalam tubuh KPU dapat dikatakan tak masuk akal, meminjam selorohan peneliti Centre for Electoral Reform (Cetro) Refly Harun.
Hadirnya kepentingan parpol dalam rapat pleno KPU berpotensi sulit menyentuh substansi persoalan sehingga berujung alot dan selesai di luar target. Padahal, ada banyak materi pleno KPU yang berpotensi alot dan bahkan melahirkan benih konflik di tubuh KPU seperti proses pencalonan dalam pemilu, pembagian jadwal kampanye, dan penetapan perolehan suara. Potensi konflik antarkomisioner bahkan bisa muncul sejak awal, misalnya dalam penentuan Ketua KPU. Maklum, setiap parpol diyakini memiliki kepentingan agar komisioner asal parpolnya menjadi ketua KPU.
Ini sungguh berbahaya dalam penyelenggaraan pemilu yang menuntut ketepatan waktu sesuai dengan tahapan, jadwal, dan program yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, jika dibiarkan menggelinding masuk dalam revisi UU 22/2007, gagasan Arif tidak hanya menebar ancaman serius bagi kelancaran penyelenggaraan pemilu, tetapi juga lebih jauh pada keajekan tatanan demokrasi negeri ini.
Bagaimanapun, implementasi demokrasi menuntut keterlibatan berbagai pihak dengan peran masing-masing. Kalau sejak awal menempatkan diri sebagai kontestan pemilu, parpol semestinya tak perlu menjadi panitia atau wasit. Memaksakan unsur parpol masuk dalam lembaga kepanitiaan pemilu merupakan upaya pembersihan sekaligus pelecehan terhadap kekuatan politik nonparpol untuk berperan langsung dalam tubuh KPU. Penyelenggaraan pemilu merupakan urusan elite parpol an sich! Di titik inilah kerawanan demokrasi mengancam bangsa ini.
Sangat boleh jadi kalau dari sekian banyak anggota KPU, ada di antaranya yang mengecewakan parpol (tertentu). Namun, hal itu tentu tak semestinya menjadi pembenaran untuk menggusur kekuatan politik nonparpol dari kursi komisioner yang kemudian diisi orang-orang dari unsur parpol. Ini tentu bukan berarti kita tak mengakui kapasitas orang-orang parpol. Sangat boleh jadi, banyak orang parpol yang memiliki kapasitas mumpuni dalam menyelenggarakan pemilu. Masalahnya, pemilu tidaklah cukup mengandalkan kemampuan manajerial, tetapi juga spirit independensi. Nah, spirit independensilah yang dinilai sangat sulit ditemukan dalam tubuh parpol. Argumentasi apa pun tak bisa meluluhkan fatsun politik bahwa parpol dalam menghadapi pemilu pasti akan partisan alias tidak independen.
Lagi pula, memasukkan unsur parpol dalam keanggotaan KPU sesungguhnya menabrak konstitusi kita yang menegaskan spirit independensi dalam tubuh KPU. Tengok saja, dalam UUD 1945 Bab VIIB Pasal 22E Ayat 5 disebutkan, pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (baca: independen). Jadi, tidaklah elok menyelipkan pasal dalam UU 22/2007 yang membuka ruang bagi unsur parpol dalam keanggotaan KPU selama UUD 1945 yang berkaitan dengan pasal tersebut belum diamendemen.***
Penulis, pegiat diskusi pada Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Jabar, dosen FISIP Universitas Pasundan.
Opini Pikiran Rakyat 25 Januari 2010