18 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Dukungan Amanat UU Lingkungan

Dukungan Amanat UU Lingkungan

Berulangnya bencana lingkungan dipicu oleh penanganan sesaat tanpa disertai langkah proaktif, sistemik, dan komprehensif dalam menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan

BERULANGNYA bencana lingkungan nampaknya dipicu oleh penanganan sesaat ketika terjadi bencana tanpa disertai langkah proaktif, sistemik, dan komprehensif dalam menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan.
Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2009, Pemerintah Kota Semarang memulai meluncurkan program Car Free Day (Hari Bebas Kendaraan) di Simpanglima dan Jalan Pahlawan.


Kegiatan itu diteruskan di Jalan Pemuda pada akhir November dan pertengahan Desember.
Hari Bebas Kendaraan dimaksudkan untuk mengurangi beban pencemaran udara dan kemacetan dari kegiatan transportasi. Beberapa parameter pencemaran udara seperti CO dan PM, di ruas jalan Jalan Pandanaran, Ahmad Yani, Majapahit, Siliwangi, Brigjen Sudiarto telah melampaui ambang batas. Kemacetan juga terjadi di ruas-ruas jalan tersebut ditambah dengan ruas Jalan Teuku Umar, Jalan Diponegoro terutama di tanjakan Siranda.

Namun demikian harus diakui kalau Car Free Day di Kota Atlas ini sebagaimana yang terjadi di Jalan Thamrin, Jakarta baru mengalihkan arus dan volume kendaraan dari satu tempat ke tempat lain. Masih belum semanjur semboyan pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah. Kenyamanan yang dirasakan oleh para pecinta sepeda, kelompok sepatu roda, penggemar skate board di jalur Hari Bebas Kendaraan menjadi beban penghuni jalan sekitar jalur itu dalam bentuk kemacetan dan polusi. 

Car Free Day memang bukan tujuan tetapi sarana untuk menginspirasi warga kota untuk merubah pola berkendaraan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum, kendaraan bersama (car pool) atau non motorized transport seperti sepeda dan jalan kaki.

Program ini akan berhasil jika disertai dengan penyediaan sarana transportasi publik yang nyaman (comfortable), terjangkau (affordable), dan terpercaya (reliable). Di samping itu juga perbaikan infrastruktur tranportasi yang memberi ruang dan pohon-pohon peneduh bagi pengguna sepeda dan pejalan kaki.

Tanggal 8 September 2009, rapat paripurna DPR mengesahkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Beberapa perubahan substansial yang diamanatkan UU baru ini di antaranya kewajiban pemerintah menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan, izin lingkungan,  kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), ketentuan tentang eco-region, daya dukung lingkungan, dan daya tampung lingkungan serta kewenangan PPNS melakukan penahanan. 

Perubahan substansial ini tentu saja menggembirakan karena sekaligus memperkuat kelembagaan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Namun demikian di sisi lain juga terbersit kekawatiran, akankah UU yang cukup ideal ini bisa dilaksanakan.

UU PPLH yang sangat prolingkungan ini sebenarnya menghendaki kelembagaan yang kuat yakni perubahan bentuk Kementerian menjadi Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam atau paling tidak dibentuk sebuah badan yang memiliki kewenangan operasional seperti Bapedal pada era Menteri Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmadja. 

Dengan kewenangan yang begitu luas yang dimandatkan oleh UU PPLH, diperlukan seorang menteri yang kuat dan berpengaruh (powerful dan influential person). Di luar dugaan banyak kalangan, Presiden SBY menunjuk Gusti Muhamad Hatta, seorang akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin menakhodai Kementerian Lingkungan Hidup.

Latar belakang akademik bidang kehutanan dan keterlibatannya di Pusat Studi Lingkungan cukup menunjang tugas-tugas Prof Gusti. Namun jika dilihat rekam jejaknya di tingkat nasional, agaknya perlu dukungan dan kerja keras dalam mengemban amanat UU PPLH dan menjawab tantangan lingkungan yang makin besar.

Kurun waktu tahun 2009 kita banyak belajar dari proses pengambilan keputusan tentang pabrik semen di Sukolilo, Pati. Sejak awal, pemerintah sangat berharap kehadiran pabrik semen yang diperkirakan banyak menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan  ekonomi. Namun di sisi lain, muncul pula kekhawatiran dari kelompok-kelompok masyarakat akan hilangnya mata pencaharian seiring dengan surutnya suplai air akibat kegiatan penambangan batu kapur di pegunungan Kendeng Utara.

Gubernur Jateng mengesahkan studi kelayakan lingkungan tepat tanggal 31 Desember 2008. Kelompok masyarakat yang merasa kepentinganya tidak diakomodasi tetap bersikukuh menolak kehadiran pabrik semen. Konflik di antara pihak yang pro dan kontra pun tidak bisa dihindari sampai akhirnya pabrik semen menyatakan menunda rencana pembangunanya dan mengalihkan ke Tuban.

Konflik tersebut menyisakan kekecewaaan yang mendalam, sampai Gubernur menyatakan tidak akan cawe-cawe jika terjadi sesuatu pada masyarakat yang menolak. Kendati pabrik semen telah mundur, persoalan pun belum serta merta selesai.

Pemerintah Kabupaten Pati mengajukan banding atas putusan PTUN Semarang yang membatalkan izin penambangan batu kapur di Kecamatan Sukolilo. Sampai sekarang, sedulur sikep dan kelompok-kelompok peduli lingkungan masih belum merasa aman jika di Pegunungan Kendeng Utara tidak akan dibangun pabrik semen.

Tanggal 7-18 Desember kembali digelar Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark. Dalam skala global perundingan ini berharap banyak komitmen Amerika Serikat sebagai emiter terbesar (36,1%) dan komitmen negara-negara maju anex 1 menurunkan emisi CO2 sebesar 24-25% pada tahun 2020 dari level emisi tahun 1990.

Kegagalan mencapai target ini akan memicu kenaikan suhu global mencapai 2 derajat Celcius. Hal itu berarti mempercepat terjadinya bencana lingkungan global yang mengancam negara-negara berkembang karena posisi geografis dan masih rendahnya kemampuan keuangan dan teknologi.

Indonesia menargetkan penurunan emisi 26% pada tahun 2020. Sebuah target yang tidak begitu mudah direalisasikan mengingat kebakaran hutan sebagai sumber emisi terbesar dari tahun ke tahun masih tidak terkendali. (10)


— Sudharto P Hadi, guru besar manajemen lingkungan Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 19 Januari 2010