Oleh BAMBANG SIGAP SUMANTRI
Pangeran Mangkubumi bagi penduduk Yogyakarta umumnya mungkin lebih banyak dikenal sebagai jalan besar yang merupakan ujung utara kawasan Malioboro. Jalan itu juga penghubung utama menuju Keraton Yogyakarta. Nama itu memang merupakan pendiri kota budaya, sebuah daerah istimewa di negeri ini.Dari Mangkubumi itulah, ruh keistimewaan dimulai. Pangeran Mataram ini dikenal sebagai pemberani, kreatif, dan memiliki jiwa yang ingin bebas. Raden Mas Sujana, nama lain Mangkubumi, merupakan satu-satunya pangeran yang sanggup menuntaskan pemberontakan Mas Said. Karena Raja Mataram saat itu, Susuhunan Paku Buwono II, mengingkari janji memberinya hadiah, Mangkubumi pun lalu memberontak.
Terjadi peperangan antara Mangkubumi dan Paku Buwono II yang dibantu Belanda selama bertahun-tahun. Akhirnya, untuk meredakan perang, diadakan Perjanjian Giyanti yang membelah Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Mangkubumi kemudian bertakhta sebagai Sultan di Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.
Mungkin bukan sebuah kebetulan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X, Raja Keraton Yogyakarta sekarang ini, sebelumnya juga bernama Pangeran Mangkubumi.
Kompas pernah menanyakan secara khusus kepada Sultan HB X ketika akhir tahun 2003 sedang bersiap untuk mencalonkan diri menjadi presiden melalui konvensi Partai Golkar. Dalam suatu kunjungan di Merauke tahun itu, ia mengungkapkan angka Jawa yang paling besar itu sembilan, tidak ada 10 (maksudnya gelar HB X).
”Begitu 10, ya, nol kembali. Ya, mungkin maknanya tanggung jawab
Tampaknya, begitulah yang dihadapi Sultan HB X saat ini dalam upaya merampungkan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan DIY (RUU Keistimewaan DIY). Terus menemui hambatan kendati sudah lebih dari 10 tahun ”babat alas” mencari bentuk keistimewaan bagi Yogyakarta.
Dari segi sejarah, politik, dan sosial, masyarakat atau ilmuwan sosial sudah lama mengakui Yogyakarta mampu menunjukkan kekhususan dibandingkan dengan daerah lain. Sejarah Yogyakarta tak terlepas dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yogyakarta sudah lama menjadi negara mandiri (kerajaan). Namun, ketika kemerdekaan tahun 1945, Yogyakarta langsung menyatakan diri sebagai bagian NKRI. Itu salah satu contohnya.
Di bidang ekonomi, Yogyakarta juga mempunyai keistimewaan sejak awal. Ketika menjelang perjanjian Giyanti tahun 1755, Gubernur Jenderal Belanda Hartingh sebenarnya menawari Mangkubumi menjadi raja di Surabaya, tetapi ia dengan tegas menolaknya. Ia lebih memilih Yogyakarta.
Pilihan yang dilakukan Mangkubumi terbukti visioner. Dengan letaknya yang strategis, Yogyakarta jauh sebelum kemerdekaan sudah dipakai sebagai ajang kegiatan
Misalnya, Yogyakarta dipilih menjadi tempat Kongres I Boedi Oetomo tahun 1908 karena beberapa pertimbangan. Alasan yang mengemuka, Yogyakarta dengan pemerintahan swapraja dinilai sebagai tempat ”jantung Pulau Jawa berdenyut”. Kotanya mudah dicapai dengan kereta api ataupun angkutan darat lain.
Tahun 1916, RMA Woerjaningrat, seorang Bupati Nayaka di Surakarta, terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo. Walaupun tiga kali ketua pengurus besarnya berada di Surakarta, pengurus besar mengadakan rapat di Yogyakarta. Dalam laporan tahunan 1917-1918, dari 17 rapat pengurus besar, tercatat hanya dua kali rapat diadakan di Surakarta, selebihnya diadakan di Yogyakarta.
Dalam istilah guru besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Prof Dr Mudrajad Kuncoro, Yogyakarta memiliki potensi menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi daerah sekitarnya.
Dengan posisi yang menjadi sentral (
Hal ini sejalan dengan rencana jangka panjang pemerintah yang hendak memindahkan Bandara Adisutjipto yang berada di kawasan padat penduduk dan tak bisa dikembangkan ke Kabupaten Kulon Progo. Setiap tahun, jumlah penumpang yang melalui bandara itu meningkat. Tahun 2004, bandara itu kedatangan penumpang sebanyak 1.187.464 orang dan tahun 2008 sudah meningkat menjadi 1.339.504 orang.
Maskapai penerbangan yang membuka jalur melalui Yogyakarta juga terus bertambah. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan di Bandara Achmad Yani, Semarang, dan Bandara Adisumarmo, Solo. Banyak penduduk Cilacap, Purwokerto, Banyumas, atau Pacitan, semuanya berada di pesisir selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur, turun di Yogyakarta jika naik pesawat.
Bahkan, banyak pula penduduk Magelang, Temanggung, Solo, dan Boyolali. Ini bukan hanya karena masalah jarak fisik, tetapi juga karena frekuensi penerbangan maskapai yang menuju Yogyakarta jauh melebihi Semarang dan Solo.
Itu artinya gagasan
Opini Kompas 19 Januari 2010